Jumat, 07 Februari 2014

PERTUMBUHAN INSTITUSI SOSIAL POLITIK: SAMUDRA PASAI, MALAKA, BANTEN, DAN MATARAM



PERTUMBUHAN INSTITUSI SOSIAL POLITIK:
SAMUDRA PASAI, MALAKA, BANTEN, DAN MATARAM


A.    Pendahuluan.

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara (Indonesia) ternyata telah memberikan berbagai perubahan sosial (change of social) dalam tatanan masyarakat dan mengarah kepada aspek politik. Perubahan-perubahan itu tampak dari bahasa, pendidikan, serta sosial politik. Perubahan dalam bahasa ditandai dengan perobahan nama yang diberikan bernuansa islami, seperti nama orang : Abdul, Syah, Malik serta nama-nama benda yang diambil dari bahasa arab. Demikian juga pendidikan islam yang memuat tentang syariah, tashawuf, dan lembaga pendidikan. Dari segi politik dan pemerintahan juga terwarnai dengan nuansa islam dengan adanya gelar-gelar pejabat pemerintahan bernuansa Timur Tengah ditambah lagi sistem pemerintahan yang menggunakan aturan kekhalifahan.
Tumbuh dan berkembangnya Islam di Nusantara sekaligus menjadi cikal bakal pertumbuhan institusi sosial politik. Di beberapa daerah telah terbangun pusat-pusat pemerintahan baik di Sumatera,  Malaka, Banten, dan Mataram. Daerah-daerah yang memiliki dinasti (kerajaan) itu turut juga menyuburkan institusi sosial politik.
Di Sumatera dan sekitarnya, sejak keruntuhan Sriwijaya muncul kerajaan-kerajaan Islam seperti, Pedir, Pasai, Tamiang, Siak, Indragiri, Rokan, Jambi, dan Malaka. Adapun di Jawa, setelah keruntuhan Majapahit beridir kerajaan Islam seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Jepara dan Kudus.
Dalam makalah ini akan diketengahkan pertumbuhan institusi politik dari masing-masing daerah tersebut. Institusi sosial politik itu akan membahas tentang letak kerajaan, nama institusi, sepak terjang institusi, perkembangan, serta rintangan yang dihadapi hingga kemundurannya.


B.     Kondisi Sosial Politik Nusantara setelah Islam masuk.
Membicarakan tentang kondisi sosial politik di Nusantara setelah masuknya Islam harus terlebih dahulu memahami tentang Islam di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan bahwa Nusantara (Indoensia) merupakan bagian dari daerah yang berada di kawasan Asia Tenggara. Kemajuan sosial politik di Nusantara ini merupakan rentetan sejarah panjang dari titisan kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan itu.
Data ini diperkuat dengan berita Cina jaman dinasti T’ang yang dapat memberikan gambaran bahwa ketika itu telah ada masyarakat Muslim di Kanfu (Kanton) dan daerah Sumatera.[1] Keberadaan pedagang-pedagang Islam di Asia Tenggara ketika itu mungkin belum memberikan pengaruh pada kerajaan-kerajaan yang ada. Setelah pecahnya pemberontakan petani Cina Selatan terhadap Kaisar Hi-Tsung (878-889 M) yang menyebabkan banyak orang Islam dibunuh maka mulailah mereka mencari perlindungan ke Kedah (pada saat itu Kedah termasuk wilayah kekuasaan Sriwijaya). Hal ini berarti orang Islam telah mulai melakukan kegiatan politik yang tentunya membawa akibat pada kerajaan di Asia Tenggara dan Cina. Syed Naquib al-Attas mengatakan bahwa sejak abad VII orang Islam telah mendirikan perkampungan di Kanton dengan derajat keagamaan yang tinggi dan menyelenggarakan pemerintahan perkampungan sendiri di Kedah dan Palembang.[2] Nampak jelaslah bahwa kerajaan yang ada di Nusantara ini bermula dari rentetan sejarah di atas.
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Disamping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan.[3]  Kerajaan-kerajaan dan wilayah itupun berada dalam situasi politik dan kindisi sosial budaya yang berbeda-beda. Seperti halnya di Jawa yang dikuasai oleh budaya Hindu-Buddha. Sehingga pulau-pulau di belahan Nusantara seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi Islam masuk dengan masa waktu yang berbeda.
Kedatangan Islam sejak abad VII sampai abad XII di beberapa daerah Asia Tenggara (termasuk Indonesia pen,.) dapat dikatakan baru pada tahap pembentukan komunitas muslim yang terutama terdiri daripada pedagang. Abad XIII sampai abad XVI, terutama dengan munculnya kerajaan bercorak Islam, merupakan kelanjutan dari penyebaran Islam. perlu dibedakan antara tahap kedatangan, penyebaran, dan pembentukan struktur pemerintaha atau kerajaan. Ketiga tahap tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang, tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Islam. pada gelombang pertama, penyebaran Islam menghadapi masyarakat yang bercorak Hindu-Budha, yang masyarakatnya masih memiliki struktur pemerintahan semacam desa atau kesatuan desa dengan kepercayaan dinamisme dan animisme.[4]
Ini menarik untuk dikaji, sebab akluturasi dua dimensi budaya yang ada telah terkombinasi dalam aspek sosial politik. Budaya Hindu-Buddha dan budaya Islam secara serempak mampu berjalan pada awalnya, namun sedikit-demi sedikit budaya Buddha mulai terkikis. Sebelum masuknya Islam ke Nusantara kondisi soial pribumi telah tertanam ajaran Hindu-Buddha. Kebudayaan Hindu-Buddha itu, telah dijadikan dasar masyarakat setempat sebagai pandangan hidup sosial. Tidak hanya itu, bahkan kerajaan yang adapun di Nusantara telah terkontaminasi oleh budaya Hindu-Buddha. Ini bisa dibuktikan dengan adanya kerajaan di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja yang beragama Hindu. 
Setelah Islam masuk, maka terjadilah proses islamisasi di kepulauan Nusantara muncul sebagai gejala politik. Konversi raja-raja Melayu di Nusantara ke dalam agama Islam merupakan kekuatan politik yang berperan sangat signifikan dalam pengislaman masyarakat kerajaan Nusantara. Dalam perkembangan berikutnya, setelah Islam mulai berakar dalam masyarakat, peran saudagar Muslim dalam penyebaran Islam digantikan dan diambil oleh ulama. Mereka bertindak sebagai guru dan penasehat raja atau sultan.[5]  Dengan demikian maka posisi ulama terangkat derajatnya ditengah-tengah kerajaan. Ini menjadikan cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan yang berhaluan Islam.
Kalau ditilik mata rantai kerajaan-kerajaan Melayu, maka terlihat bahwa setelah ulama menjalin kerjasama dengan dinasti Usmani ternyata ada hubungan yang baik antara ulama yang ada dengan dinasti tersebut. Mereka mengarahkan kerajaan agar selalu meminta pandangan-pandangan politiknya kepada dinasti Usmaniah.
Penguasa kerajaan-kerajaan Melayu Nusantara meminta justifikasi kekuasaan mereka kepada dinasti Usmani, sehingga putusan-putusan politik yang dikeluarkan oleh kerajaan dapat dianggap Syar’i. para penguasa muslim Nusantara pada umumnya ingin bahwa entitas politik mereka diakui oleh otoritas politik keagamaan Timur Tengah sebagai bagian dari dar al Islam (wilayah Islam). karena itu, bisa difahami mengapa Kesultanan Aceh dan kesultanan-kesultanan lainnya di Nusantara menyatakan diri sebagai vassal state (negara pengikut atau protektorat)  Khilafah Usmani.[6]
Pentingnya posisi ulama di kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki arti bahwa Islam memegang per[7]anan penying dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Dalam proses ini, Islam mengalami proses pelembagaan dan menjadi bagian yang inheren dalam sistem sosial dan pembentukan budaya. Islam muncul sebagai landasan ideologi kekuasaan. Di sini, ulama berperan sebagai pengesah kekuasaan raja.[8]
Kalau dikaji secara sosial kemasyarakatan, maka kombinasi sistem kerajaan antara ulama dan raja ternyata memberikan dua kekuatan baru dalam mengatur masyarakat. Hubungan ini mempunyai dua keuntungan sekaligue secara timbal balik.bagi raja (sultan) dan ulama. Raja dapat jsutifikasi kekuasaannya melalui bahasa-bahasa agama,  sesuatu yang sangat diperlukan baginya untuk memperoleh dukungan rakyat; sebaliknya, ulama memperoleh hak-hak dan kedudukan khusus bagi istana, sehingga lebih mudah menyampaikan pesan-pesan oral kepada raja dan masyarakat.[9]
Dalam mengemban tugas sebagai ulama dan penasehat di kerajaan, ternyata memberikan peluang tumbuh suburnya mazhab yang dianut oleh ulama itu, yaitu mazhab sunni. Konsekuensinya, Islam yang ada adalah Islam yang lunak atau akomodatif, tentunya termasuk dalam kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi stempat yang akgirnya terbawa sampai pada penerimaan masalah ideologi negara.[10]



C.     Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara
Berbagai jalur proses Islamisasi di Nusantara seperti dalam uraian di atas, khususnya secara sosio-politik telah melahirkan institusi-institusi politik, baik institusi politik yang lahir melalui jalur perkawinan, maupun yang lahir dari buah proses Islamisasi yang simpatik itu sendiri. Dari sini terlihat seperti terlihat dalam sejarah lahirlah kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Di Sumatera juga terdapat kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh.[11] Harus diakui bahwa saluran-saluran yang telah terpakaikan dalam Islamisasi itu walaupun perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf pendidikan, dan kesenian bersifat sosial namun titik akhirnya berujung kepada politik dalam kerajaan.
Kondisi/kedaan Nusantara pada saat masuknya Islam di Indonesia dibagi kepada dua gelombang; gelombang pertamapenyebaran Islam menghadapi masyarakat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yang masyarakatnya masih memeiliki struktur pemerintah semacam desa atau kesatuan desa dengan kepercayaan dinamisme dan animisme. Pada gelombang kedua, yang dimulai sejak abad XII, penyebaran Islam lebih mantap dan meluas. Hal ini bisa dilihat pada berdirinya kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada abad XIII di Pesisir Utara Aceh Utara, tepatnya di daerah Lhoksumawe.[12]
Untuk itu lahirlah kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Nusantara, seperti :Samudera Pasai, Malaka, Banten, dan Mataram.
1.      Samudera Pasai
pasai
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Lokasinya kira-kira termasuk wilayah Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, teks klasik Melayu tentang kerajaan tersebut, Sultan Malik al-Saleh adalah raja muslim pertama Kerajaan Samudera Pasai.[13] dari Hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuh dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak bersebarangan di muara sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.[14]
 Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculan sebagai kerajaan Islam, diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M dan seterusnya.[15]
     Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai abad ke 13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan meninggal pada bulan ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.[16]
     Malik al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melaui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjan-sarjan Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Huogranye, J.P.Molquette, J.L.Moens, J. Hushoff Poll, G.P.Rouffaer, H.K.J. Cowan dan lain-lain.[17]
Merah Silu (nama awal Malik al-Saleh) diislamkan oleh Syekh Ismail yang datang dari Mekah melalui Malabar (India Selatan). Setelah memeluk agama Islam, Merah Silu berganti nama dengan Sultan Malik al-Saleh dan Samudera Pasai selanjutnya bernama Samudra Dar al-Islam.[18] demikianlah asal muasal dan biografi raja pertama Samudera Pasai yang telah berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di bumi Nusantara.
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 itu sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.[19]  Jadi, kerajaan Samudera Pasai merupakan episode dari kelanjutan kerajaan Sriwijaya. Sebab kemunduran Sriwijaya ternyata dimanfaatkan untuk mendirikan kerajaan Islam di Aceh.
Perekonomian yang berlangsung selama kerajaan Samudera Pasai berdiri berasal dari aspek maritim dan perdagangan. Hal ini difahami dengan adanya keberlangsungan pedagang-pedagang yang melaksanakan transaksi bisnis. Sehingga kemajuan ekonomi (economical growth) telah mampu menopang kestabilan politik dan sosial pemerintahan.
Dengan dilandasi dengan ajaran Islam yang murni ditambah lagi dengan peran ulama yang aktif dalam menebar pesona Islam di tengah-tengah masyarakat Aceh dan sekitarnya ternyata telah menjadikan Aceh tersohor sampai ke Timur Tengah. Hubungan dagang, religiusitas serta hukum syariat yang erat ini ternyata telah menopang lajunya operasional pemerintahan Samudera Pasai diperkirakan sejak tahun 1207- 1524 M, dengan dinasti kerajaan sebagai berikut:
“Sultan Malik al-Saleh memerintah sampai 1207 M, Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326M), Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345M), Manshur Malik az-Zahir (1345-1346M), Ahmad Malikal-Zahir (1346-1383M), Zain al-Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah (1402 -?), Abu Zaid Malik al-Zahir (?-1455M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M), Zain al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik az-Zahir (1501-1513 M), dan Sulatan yang terakhir adalah Zain al-Abidin (1513-1524 M).[20]  jumlah raja yang memerintah kerajaan Samudera Pasai sebanyak 12 sultan yang dengan raja yang terakhir Zain al Abidin.
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai pada tahun 1524 M. pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[21] Dengan demikian teraneksasinya kerajaan tersebut secara otomatis berakhirlah kerajaan Samudera Pasai dan berdirilah kerajaan Aceh Darussalam.
2.      Malaka
Mulai dari Sumatera Timur, Islam kemudian berkembang di Malaka sepanjang jalur perdagangan. Pendiri kerajaan ini adalah Parameswara (sekitar 1400) dan berganti nama Muhammad Iskandar Shah setelah menikah dengan saudara perempuan raja Pasai.[22]
Menurut catatan Tome Pires menyatakan bahwa Parameswara (1400-1414 M), pendiri dan sultan pertama Kesultanan Malaka, masuk Islam tidak lama setelah ia berkuasa, dan kemudian berganti nama dengan Muhammad Iskandar Syah. Dia diislamkan oleh Syekh Sayyid Abdul Aziz, seorang guru pengembara yang datang dari Jeddah.[23]
Malaka adalah kota Pesisir yang diyakini merupakan daerah Islam tertua di Indonesia. Awalnya wilayah ini diperintah oleh para pemimpin-pemimpin Hindu, hingga akhirnya Pangeran Iskandar Syah memeluk Islam, lalu diikuti oleh rakyatnya. Setelah itu Malaka menjadi pusat dakwah Islam, disamping juga sebagai pusat perdagangan penting.
Malaka kemudian berkembang menjadi kekaisaran yang memiliki wilayah yang luas, mencakup semenanjung Melayu seluruhnya dan sebagian besar Sumatera. Bendera Islam juga dibawa keluar Malaka, lalu tersebar di kepulauan-kepulauan Asia selatan dan timur. Di antara sultan-sultan Malaka yang terkenal adalah Muhammad Syah, Manshur Syah, dan Mahmud Syah.[24] Dari keterangan-keterangan di atas dapat dipahami bahwa kerajaan Malaka berdiri mulai tahun 1400-1511 M.
Sultan Malaka juga berusaha  mempraktekkan ajaran Islam dalam kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya peraturan resmi kerajaan undang-undang Malaka.[25] Oleh karena itu, Malaka tampil sebagai kekuatan Islam dan kekuatan perdagangan yang terkemuka di Nusantara. Keberadaan Kesultanan Malaka hanya berlangsung satu abad, karena pada 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Namun, keberadaan kesultanan Malaka menjadi model bagi perkembangan budaya dan politik dunia Melayu belakangan.[26]  Keberadaan kerajaan Islam Malaka telah memberikan torehan sejarah dunia Islam dalam pertumbuhan politik di Indonesia.
Peta kerajaan Malaka

3.      Banten
Sejalan dengan pertumbuhan kerajaan Islam di Sumatera dan Tanah Semenanjung di Jawa juga berdiri Kerajaan Demak[27] yang merupakan kerajaan Islam oertama di Jawa. Berdirinya Kerajaan Demak merupakan babak penting proses islamisasi Jawa. Penguasa pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah (1500-1518),  keturunan raja Majapahit dari istri seorang putri Campa. Kerajaan Demak merupakan  batas antara era Hindu-Buddha-Majapahit dan era Islam. hingga pertengahan abadXVI, kerajaan tersebut telah menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur, seperti Tuban (1527), Wirosadi dan Purwodadi (1528), Gagelang (kini Madiun) (1529), Mendakungan (kini Blora) (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan dan Blitar (1545) dan Blambangan serta Panarukan (1546).[28]
Setelah Demak, menyusul jadi Kerajaan Banten dan Cirebon, yang merupakan protektorat Kerajaan Demak di Jawa bagian barat. Syarif Hidayatullah merupakan orang kepercayaan Sultan Demak yang diutus untuk menundukkan Kerajaan Hindu Padjadjaran, sekaligus mendirikan Kerajaan Banten Islam (1524).[29] kemudian menjadi penguasa di Banten (memerintah 1524-1552) dan selanjutnya Cirebon (1552-1568).[30]
Kota banten terletak di pesisir selat sunda, dan merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Sumatra dan jawa. Posisi banten yang sangat strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 – 1526 pasukan demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten.
Sebelum Banten berdiri sebagai kesultanan, wilayah ini termasuk bagian kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Pada awal abad ke – 16, yang berkuasa di Banten adala Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang. Adapun daerah Surasowan hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita Joad Barros (1616), wartawan Portugis, diantara pelabuhan yang tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikunjungi para saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil negeri lainnya diekspor.


kerajaan banten
Pada masa lalu, Banten adalah semacam kota metropolitan. Kota itu menjadi pusat perkembangan pemerintahan kesultanan Banten, yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut babad Pajajaran, masuknya islam di Banten dimulai ketika Prabu Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. untuk mencari tahu tentang arti itu, ia mengutus kian Santang, penasehat kerajaan Pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas Banten adalah cahaya islam. Kian Santang pun memeluk islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya kian santang hanya berhasil untuk beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, pajajaran menjadi berantakan.
Pada tahun 1526, gabungan pasukan Demak dan Cirebon bersama dengan laskar marinir Maulana Hasanuddin (putra Syarif Hidayatullah) tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Bahkan ada yang menyebutkan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan Banten dengan sukarela. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten pun dipindahkan ke Surasowan. Pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Hal ini berkaitan pula dengan situasi Asia Tenggara kala itu. perlu dingat, malaka telah dikuasai Portugis, sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan rute niaga ke Selat Sunda.
Sejak itu, pelabuhan Banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, Banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai Negara Merdeka.
Sejak itu, pelabuhan Banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, Banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai Negara Merdeka.
Sayang sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu Sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan Banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Meskipun istana Surasowan dibangun kembali dengan megah oleh Sultan haji atas bantuan Arsitek Belanda, namun pemberontakan demi pembrontakan oleh rakyat banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya yang setia, Pangeran Purbaya, serta Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar sekaligus menantunya. Akan tetapi, akhirnya Kompeni mengerahkan kekuatan penuh, dan Sultan Ageng dapat dikalahkan.
Sementara itu, banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer – Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Baten ke Serang. Istana Surosowan ia bakar habis pada 1812. dapat dikatakan, pada tahun itulah Kesultanan Banten runtuh.
Keberadaan dan Kejayaan Kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah, seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahakan Sultan Maulana Hasanuddin. Arsitektur masjid tersebut merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan jawa. Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas istana Surasowan, yang letakkanya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Istana Surasowan yang kini tinggal puing-puing itu dikelilingi oleh tembok benteng yang tebal dengan luas kurang lebih 4 hektare, berbentuk persegi empat panjang. Benteng tersebut kini masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang telah runtuh.[31]
4.      Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi menumpas pemberontakan AriaPenangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan Kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. [32]
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menpati istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh puteranya, Senapati, tahun 1584 dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senapatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, stetlah Pangeran Banawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan kekuasaan atas pajang kepada Senapati. Meskipun Senapati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Dlima Kendali Kiai Macan Guguh, dan Palana Kiai Jatayu,[33] ini memberikan isyarat bahwa dalam adat kebiasaan orang Jawa sebagai penyerahan kekuasaan.
sejarah islam
     Banyak keinginan yang direncanakan oleh Senapati dalam memperluas kerajaan, termasuk menaklukkan daerah-daerah kecil yang dipimpin oleh raja-raja kecil. Namun tidak dapat terealisasi disebabkan banyak tantangan dari para penguasa bekas titisan kerajaan Demak, akhirnya hanya sebagian kecil yang dapat. Itupun diusahakan dengan berbagai kekuatan dan peperangan yang tidak sedikit.
     Senapati meninggal dunia tahun 1601 M, dan digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak diganti oleh puteranya, Sultan Agung, yang melanjutkan usaha ayahnya. Pada tahun1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaannya. Dimasa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera Mahkota. Masa pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah rela dari konflik. Dalam setiap konflik, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama.[34]
Tindakan pertama pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M). amangkurat I bahkan merasa tidak memerlukan titel “Sultan.”[35] Pada tahun 1677 M dan 1678 M pemberontakan para ulama muncul kembali dengan tokoh spritual Raden Kajoran. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang mengakibatkan runtuhnya Kraton Mataram.[36]
Demikian proses pertumbuhan, kemajuan serta roda pemerintahan kerjaan Mataram sejak pertumbuhan sampai keruntuhannya dalam sejarah Islam.











DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Taufik. Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara Sebuah Perspektif Perbandingan , dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarata:LP3ES, 1989.

Abdullah, Taufuk. Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3S, 1987.

Al-‘Usairy , Ahmad .“At-Tarikh al-Islamiy”, diterjemahkan Samson Rahman .Jakarta: Akbar Media, 2003.

al-Attas, Syed Naquib. Preliminary Statement On A  General Theory of the Islamisation of the Malay-Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969.

Ambary, Hassan Muarif. ”Kesultanan Banten 1525-1813”, dalam Lembaga Muzium Pahang, Kesultanan Melayu Nusantara.

Burhanuddin, Jajat. “Kesultanan”, dalam Taufik Abdullah (Ketua Dewan Editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara (jilid5). Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Burhanuddin, Jajat. Islamisasi Kelembagaan Politik,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven, 2002.

De Graaf, H.J. Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I. Jakarta:Grafitipers, 1987.

Graaf, H.J.de.  Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati Jakarta:Grafitipers, 1978.

 Groeneveldt. W.P. Historical Notes on Indonesia&Malaya complied from Chinese Suorces.Jakarta: Bratara, 1960

Ibrahim,  Mahmud dan Rusli Sufi. “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam A.Hasymy (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia .Jakarta:PT.Alma’arif, 1989.

Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Katimin.  Politik Islam Indonesia Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam sejarah Politik Nasional. Bandung:Citapustaka Media, 2007.

Machmud , Anas .“Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A.Hasymy

P.M. Holt, Ann K.S. Lambton & Bernard Lewis (ed). The Islamoc City in The Cambridge History of Islam. New York: Cambridge University Press, 1970.

Riswinarno. “Peradaban Islam Pra Moderen di Asia Tenggara,” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen. Yogyakarta: LESFI, 2004.

Saifullah, SA. Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Tjandrasasmita, Uka  (Ed).  Sejarah Nasional Indonesia III . Jakarta:PN Balai Pustaka, 1984.

Wikipedia , di akses pada tanggal 07 Nopember 2013.

Yahya, Mahayuddin Haji. Islam di Alam Melayu . Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.

Yatim, Badri .Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo, 2002.


MAKALAH
SEJARAH SOSIAL INTELEKTUAL ISLAM INDONESIA

PERTUMBUHAN INSTITUSI SOSIAL POLITIK:
SAMUDRA PASAI, MALAKA, BANTEN, DAN MATARAM

OLEH:
ABDUSIMA NASUTION
NIM. 3122273



DOSEN PENGAMPUH
PROF. DR. HAIDAR PUTRA DAULAY









PROGRAM DOKTOR PPs  IAIN SUMATERA UTARA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
2014


[1] W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya complied from Chinese Suorces (Jakarta: Bratara, 1960), h.14
[2] Syed Naquib al-Attas, Preliminary Statement On A  General Theory of the Islamisation of the Malay-Indonesian Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), h. 11
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), h. 194
[4] Saifullah, SA, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 11
[5] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), cet. 2, h. 262
[6] Jajat Burhanuddin, Islamisasi Kelembagaan Politik,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven, 2002), h.69 dan 80.

[8] Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara Sebuah Perspektif Perbandingan , dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarata:LP3ES, 1989), h. 79.
[9] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam…., h.264.
[10] Riswinarno, “Peradaban Islam Pra Moderen di Asia Tenggara,” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen (Yogyakarta: LESFI, 2004), 318
[11] Katimin, Politik Islam Indonesia Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam sejarah Politik Nasional (Bandung:Citapustaka Media, 2007), h. 58
[12] Saifullah, SA, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia……, h.11.
[13] Jajat Burhanuddin, “Kesultanan”, dalam Taufik Abdullah (Ketua Dewan Editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara (jilid5) (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 41
[14][14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, h.206.
[15] Uka Tjandrasasmita (Ed), Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta:PN Balai Pustaka, 1984), h. 3.
[16] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam.., h. 205.
[17] Mahmud Ibrahim dan Rusli Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam A.Hasymy (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Jakarta:PT.Alma’arif, 1989), h. 420
[18] Mahayuddin Haji Yahya, Islam di Alam Melayu (Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998),h.8
[19] Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatngan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, A.Hasymy…., h. 362
[20] Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi….., h.430.
[21] Anas Machmud, “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A.Hasymy….., h. 286.
[22] Holt, P.M., Ann K.S. Lambton & Bernard Lewis (ed). The Islamoc City in The Cambridge History of Islam, ( New York: Cambridge University Press, 1970), h. 126
[23] Jajat, Kesultanan…., h. 42
[24] Ahmad Al-‘Usairy, “At-Tarikh al-Islamiy”, diterjemahkan Samson Rahman (Jakarta: Akbar Media, 2003), h.337
[25] Jajat, Kesultanan…., h.44
[26] Saifullah, SA, Sejarah & Kebudayaan Islam …., h. 28
[27] Jajat, Kesultanan…., h. 45
[28] Jajat, Kesultanan…, h. 46
[29] Uraian lebih lengkap tentang Kesultanan Banten, lihat Prof. Dr. Hassan Muarif Ambary,”Kesultanan Banten 1525-1813”, dalam Lembaga Muzium Pahang, Kesultanan Melayu Nusantara, h. 277-289.

[31] Wikipedia , di akses pada tanggal 07 Nopember 2013.
[32] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan…., h.214
[33] H.J.de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati (Jakarta:Grafitipers, 1978), h.95
[34] Taufuk Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3S, 1987), h. 42
[35] Ibid., h. 108
[36] H.J. de Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I, (Jakarta:Grafitipers, 1987), h. xi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar