PERTUMBUHAN
INSTITUSI SOSIAL POLITIK:
SAMUDRA PASAI,
MALAKA, BANTEN, DAN MATARAM
A.
Pendahuluan.
Masuk
dan berkembangnya Islam di Nusantara (Indonesia) ternyata telah memberikan
berbagai perubahan sosial (change of social) dalam tatanan masyarakat
dan mengarah kepada aspek politik. Perubahan-perubahan itu tampak dari bahasa,
pendidikan, serta sosial politik. Perubahan dalam bahasa ditandai dengan
perobahan nama yang diberikan bernuansa islami, seperti nama orang : Abdul,
Syah, Malik serta nama-nama benda yang diambil dari bahasa arab. Demikian juga
pendidikan islam yang memuat tentang syariah, tashawuf, dan lembaga pendidikan.
Dari segi politik dan pemerintahan juga terwarnai dengan nuansa islam dengan
adanya gelar-gelar pejabat pemerintahan bernuansa Timur Tengah ditambah lagi
sistem pemerintahan yang menggunakan aturan kekhalifahan.
Tumbuh
dan berkembangnya Islam di Nusantara sekaligus menjadi cikal bakal pertumbuhan
institusi sosial politik. Di beberapa daerah telah terbangun pusat-pusat
pemerintahan baik di Sumatera, Malaka,
Banten, dan Mataram. Daerah-daerah yang memiliki dinasti (kerajaan) itu turut
juga menyuburkan institusi sosial politik.
Di
Sumatera dan sekitarnya, sejak keruntuhan Sriwijaya muncul kerajaan-kerajaan
Islam seperti, Pedir, Pasai, Tamiang, Siak, Indragiri, Rokan, Jambi, dan
Malaka. Adapun di Jawa, setelah keruntuhan Majapahit beridir kerajaan Islam
seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Jepara dan Kudus.
Dalam
makalah ini akan diketengahkan pertumbuhan institusi politik dari masing-masing
daerah tersebut. Institusi sosial politik itu akan membahas tentang letak
kerajaan, nama institusi, sepak terjang institusi, perkembangan, serta
rintangan yang dihadapi hingga kemundurannya.
B.
Kondisi
Sosial Politik Nusantara setelah Islam masuk.
Membicarakan tentang kondisi sosial
politik di Nusantara setelah masuknya Islam harus terlebih dahulu memahami
tentang Islam di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan bahwa Nusantara (Indoensia)
merupakan bagian dari daerah yang berada di kawasan Asia Tenggara. Kemajuan
sosial politik di Nusantara ini merupakan rentetan sejarah panjang dari titisan
kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan itu.
Data ini diperkuat dengan berita
Cina jaman dinasti T’ang yang dapat memberikan gambaran bahwa ketika itu telah
ada masyarakat Muslim di Kanfu (Kanton) dan daerah Sumatera.[1]
Keberadaan pedagang-pedagang Islam di Asia Tenggara ketika itu mungkin belum
memberikan pengaruh pada kerajaan-kerajaan yang ada. Setelah pecahnya
pemberontakan petani Cina Selatan terhadap Kaisar Hi-Tsung (878-889 M) yang
menyebabkan banyak orang Islam dibunuh maka mulailah mereka mencari
perlindungan ke Kedah (pada saat itu Kedah termasuk wilayah kekuasaan
Sriwijaya). Hal ini berarti orang Islam telah mulai melakukan kegiatan politik
yang tentunya membawa akibat pada kerajaan di Asia Tenggara dan Cina. Syed
Naquib al-Attas mengatakan bahwa sejak abad VII orang Islam telah mendirikan
perkampungan di Kanton dengan derajat keagamaan yang tinggi dan
menyelenggarakan pemerintahan perkampungan sendiri di Kedah dan Palembang.[2] Nampak
jelaslah bahwa kerajaan yang ada di Nusantara ini bermula dari rentetan sejarah
di atas.
Masuknya Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang
bersamaan. Disamping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah
ketika didatangi Islam juga berlainan.[3] Kerajaan-kerajaan dan wilayah itupun berada
dalam situasi politik dan kindisi sosial budaya yang berbeda-beda. Seperti
halnya di Jawa yang dikuasai oleh budaya Hindu-Buddha. Sehingga pulau-pulau di
belahan Nusantara seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi Islam masuk dengan masa
waktu yang berbeda.
Kedatangan Islam sejak abad VII sampai abad XII di beberapa daerah
Asia Tenggara (termasuk Indonesia pen,.) dapat dikatakan baru pada tahap
pembentukan komunitas muslim yang terutama terdiri daripada pedagang. Abad XIII
sampai abad XVI, terutama dengan munculnya kerajaan bercorak Islam, merupakan
kelanjutan dari penyebaran Islam. perlu dibedakan antara tahap kedatangan,
penyebaran, dan pembentukan struktur pemerintaha atau kerajaan. Ketiga tahap
tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang, tergantung pada situasi dan
kondisi masyarakat yang dihadapi Islam. pada gelombang pertama, penyebaran
Islam menghadapi masyarakat yang bercorak Hindu-Budha, yang masyarakatnya masih
memiliki struktur pemerintahan semacam desa atau kesatuan desa dengan
kepercayaan dinamisme dan animisme.[4]
Ini menarik untuk dikaji, sebab akluturasi dua dimensi budaya yang
ada telah terkombinasi dalam aspek sosial politik. Budaya Hindu-Buddha dan
budaya Islam secara serempak mampu berjalan pada awalnya, namun sedikit-demi
sedikit budaya Buddha mulai terkikis. Sebelum masuknya Islam ke Nusantara
kondisi soial pribumi telah tertanam ajaran Hindu-Buddha. Kebudayaan
Hindu-Buddha itu, telah dijadikan dasar masyarakat setempat sebagai pandangan
hidup sosial. Tidak hanya itu, bahkan kerajaan yang adapun di Nusantara telah
terkontaminasi oleh budaya Hindu-Buddha. Ini bisa dibuktikan dengan adanya
kerajaan di pulau Jawa yang dipimpin oleh raja yang beragama Hindu.
Setelah Islam masuk, maka terjadilah proses islamisasi di kepulauan
Nusantara muncul sebagai gejala politik. Konversi raja-raja Melayu di Nusantara
ke dalam agama Islam merupakan kekuatan politik yang berperan sangat signifikan
dalam pengislaman masyarakat kerajaan Nusantara. Dalam perkembangan berikutnya,
setelah Islam mulai berakar dalam masyarakat, peran saudagar Muslim dalam
penyebaran Islam digantikan dan diambil oleh ulama. Mereka bertindak sebagai
guru dan penasehat raja atau sultan.[5] Dengan demikian maka posisi ulama terangkat
derajatnya ditengah-tengah kerajaan. Ini menjadikan cikal bakal lahirnya
kerajaan-kerajaan yang berhaluan Islam.
Kalau ditilik mata rantai kerajaan-kerajaan Melayu, maka terlihat
bahwa setelah ulama menjalin kerjasama dengan dinasti Usmani ternyata ada
hubungan yang baik antara ulama yang ada dengan dinasti tersebut. Mereka
mengarahkan kerajaan agar selalu meminta pandangan-pandangan politiknya kepada
dinasti Usmaniah.
Penguasa kerajaan-kerajaan Melayu Nusantara meminta justifikasi
kekuasaan mereka kepada dinasti Usmani, sehingga putusan-putusan politik yang
dikeluarkan oleh kerajaan dapat dianggap Syar’i. para penguasa muslim Nusantara
pada umumnya ingin bahwa entitas politik mereka diakui oleh otoritas politik keagamaan
Timur Tengah sebagai bagian dari dar al Islam (wilayah Islam). karena
itu, bisa difahami mengapa Kesultanan Aceh dan kesultanan-kesultanan lainnya di
Nusantara menyatakan diri sebagai vassal state (negara pengikut atau
protektorat) Khilafah Usmani.[6]
Pentingnya posisi ulama di kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki
arti bahwa Islam memegang per[7]anan
penying dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Dalam proses ini, Islam
mengalami proses pelembagaan dan menjadi bagian yang inheren dalam sistem sosial
dan pembentukan budaya. Islam muncul sebagai landasan ideologi kekuasaan. Di
sini, ulama berperan sebagai pengesah kekuasaan raja.[8]
Kalau dikaji secara sosial kemasyarakatan, maka kombinasi sistem
kerajaan antara ulama dan raja ternyata memberikan dua kekuatan baru dalam
mengatur masyarakat. Hubungan ini mempunyai dua keuntungan sekaligue secara
timbal balik.bagi raja (sultan) dan ulama. Raja dapat jsutifikasi kekuasaannya
melalui bahasa-bahasa agama, sesuatu
yang sangat diperlukan baginya untuk memperoleh dukungan rakyat; sebaliknya,
ulama memperoleh hak-hak dan kedudukan khusus bagi istana, sehingga lebih mudah
menyampaikan pesan-pesan oral kepada raja dan masyarakat.[9]
Dalam mengemban tugas sebagai ulama dan penasehat di kerajaan,
ternyata memberikan peluang tumbuh suburnya mazhab yang dianut oleh ulama itu,
yaitu mazhab sunni. Konsekuensinya, Islam yang ada adalah Islam yang lunak atau
akomodatif, tentunya termasuk dalam kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi
stempat yang akgirnya terbawa sampai pada penerimaan masalah ideologi negara.[10]
C.
Kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara
Berbagai jalur proses Islamisasi di
Nusantara seperti dalam uraian di atas, khususnya secara sosio-politik telah
melahirkan institusi-institusi politik, baik institusi politik yang lahir
melalui jalur perkawinan, maupun yang lahir dari buah proses Islamisasi yang
simpatik itu sendiri. Dari sini terlihat seperti terlihat dalam sejarah
lahirlah kerajaan-kerajaan Islam, baik di Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Di
Sumatera juga terdapat kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai di Aceh.[11]
Harus diakui bahwa saluran-saluran yang telah terpakaikan dalam Islamisasi itu
walaupun perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf pendidikan, dan kesenian
bersifat sosial namun titik akhirnya berujung kepada politik dalam kerajaan.
Kondisi/kedaan Nusantara pada saat
masuknya Islam di Indonesia dibagi kepada dua gelombang; gelombang
pertamapenyebaran Islam menghadapi masyarakat kerajaan yang bercorak
Hindu-Buddha, yang masyarakatnya masih memeiliki struktur pemerintah semacam
desa atau kesatuan desa dengan kepercayaan dinamisme dan animisme. Pada
gelombang kedua, yang dimulai sejak abad XII, penyebaran Islam lebih mantap dan
meluas. Hal ini bisa dilihat pada berdirinya kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara
pada abad XIII di Pesisir Utara Aceh Utara, tepatnya di daerah Lhoksumawe.[12]
Untuk itu lahirlah kerajaan-kerajaan
Islam yang ada di Nusantara, seperti :Samudera Pasai, Malaka, Banten, dan
Mataram.
1.
Samudera
Pasai
Berdasarkan bukti-bukti
arkeologis, Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Lokasinya kira-kira termasuk wilayah Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara
sekarang. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, teks klasik Melayu tentang kerajaan
tersebut, Sultan Malik al-Saleh adalah raja muslim pertama Kerajaan Samudera
Pasai.[13]
dari Hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan
Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai cukup panjang dan
lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal
mengayuh dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak
bersebarangan di muara sungai Peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera
terletak agak lebih pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di
tempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.[14]
Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut
Aceh. Kemunculan sebagai kerajaan Islam, diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah
pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M
dan seterusnya.[15]
Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai
abad ke 13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari granit asal
Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan
meninggal pada bulan ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan
tahun 1297 M.[16]
Malik al-Saleh, raja pertama itu, merupakan
pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melaui tradisi Hikayat Raja-raja
Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang
dilakukan sarjan-sarjan Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck
Huogranye, J.P.Molquette, J.L.Moens, J. Hushoff Poll, G.P.Rouffaer, H.K.J.
Cowan dan lain-lain.[17]
Merah
Silu (nama awal Malik al-Saleh) diislamkan oleh Syekh Ismail yang datang dari
Mekah melalui Malabar (India Selatan). Setelah memeluk agama Islam, Merah Silu
berganti nama dengan Sultan Malik al-Saleh dan Samudera Pasai selanjutnya
bernama Samudra Dar al-Islam.[18]
demikianlah asal muasal dan biografi raja pertama Samudera Pasai yang telah
berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di bumi Nusantara.
Dari
segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 itu sejalan dengan
suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan
penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.[19] Jadi, kerajaan Samudera Pasai merupakan
episode dari kelanjutan kerajaan Sriwijaya. Sebab kemunduran Sriwijaya ternyata
dimanfaatkan untuk mendirikan kerajaan Islam di Aceh.
Perekonomian
yang berlangsung selama kerajaan Samudera Pasai berdiri berasal dari aspek
maritim dan perdagangan. Hal ini difahami dengan adanya keberlangsungan
pedagang-pedagang yang melaksanakan transaksi bisnis. Sehingga kemajuan ekonomi
(economical growth) telah mampu menopang kestabilan politik dan sosial
pemerintahan.
Dengan
dilandasi dengan ajaran Islam yang murni ditambah lagi dengan peran ulama yang
aktif dalam menebar pesona Islam di tengah-tengah masyarakat Aceh dan
sekitarnya ternyata telah menjadikan Aceh tersohor sampai ke Timur Tengah.
Hubungan dagang, religiusitas serta hukum syariat yang erat ini ternyata telah
menopang lajunya operasional pemerintahan Samudera Pasai diperkirakan sejak
tahun 1207- 1524 M, dengan dinasti kerajaan sebagai berikut:
“Sultan
Malik al-Saleh memerintah sampai 1207 M, Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326M),
Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345M), Manshur Malik az-Zahir (1345-1346M), Ahmad
Malikal-Zahir (1346-1383M), Zain al-Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah
(1402 -?), Abu Zaid Malik al-Zahir (?-1455M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477
M), Zain al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik az-Zahir (1501-1513 M), dan
Sulatan yang terakhir adalah Zain al-Abidin (1513-1524 M).[20] jumlah raja yang memerintah kerajaan Samudera
Pasai sebanyak 12 sultan yang dengan raja yang terakhir Zain al Abidin.
Kerajaan
Samudera Pasai berlangsung sampai pada tahun 1524 M. pada tahun 1521 M kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian
tahun 1524 dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan
Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar
Aceh Darussalam.[21]
Dengan demikian teraneksasinya kerajaan tersebut secara otomatis berakhirlah
kerajaan Samudera Pasai dan berdirilah kerajaan Aceh Darussalam.
2.
Malaka
Mulai
dari Sumatera Timur, Islam kemudian berkembang di Malaka sepanjang jalur
perdagangan. Pendiri kerajaan ini adalah Parameswara (sekitar 1400) dan
berganti nama Muhammad Iskandar Shah setelah menikah dengan saudara perempuan
raja Pasai.[22]
Menurut
catatan Tome Pires menyatakan bahwa Parameswara (1400-1414 M), pendiri dan
sultan pertama Kesultanan Malaka, masuk Islam tidak lama setelah ia berkuasa,
dan kemudian berganti nama dengan Muhammad Iskandar Syah. Dia diislamkan oleh
Syekh Sayyid Abdul Aziz, seorang guru pengembara yang datang dari Jeddah.[23]
Malaka
adalah kota Pesisir yang diyakini merupakan daerah Islam tertua di Indonesia.
Awalnya wilayah ini diperintah oleh para pemimpin-pemimpin Hindu, hingga
akhirnya Pangeran Iskandar Syah memeluk Islam, lalu diikuti oleh rakyatnya.
Setelah itu Malaka menjadi pusat dakwah Islam, disamping juga sebagai pusat perdagangan
penting.
Malaka
kemudian berkembang menjadi kekaisaran yang memiliki wilayah yang luas,
mencakup semenanjung Melayu seluruhnya dan sebagian besar Sumatera. Bendera
Islam juga dibawa keluar Malaka, lalu tersebar di kepulauan-kepulauan Asia
selatan dan timur. Di antara sultan-sultan Malaka yang terkenal adalah Muhammad
Syah, Manshur Syah, dan Mahmud Syah.[24]
Dari keterangan-keterangan di atas dapat dipahami bahwa kerajaan Malaka berdiri
mulai tahun 1400-1511 M.
Sultan
Malaka juga berusaha mempraktekkan
ajaran Islam dalam kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan diundangkannya peraturan
resmi kerajaan undang-undang Malaka.[25]
Oleh karena itu, Malaka tampil sebagai kekuatan Islam dan kekuatan perdagangan
yang terkemuka di Nusantara. Keberadaan Kesultanan Malaka hanya berlangsung
satu abad, karena pada 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Namun, keberadaan
kesultanan Malaka menjadi model bagi perkembangan budaya dan politik dunia
Melayu belakangan.[26] Keberadaan kerajaan Islam Malaka telah
memberikan torehan sejarah dunia Islam dalam pertumbuhan politik di Indonesia.
Peta
kerajaan Malaka
3.
Banten
Sejalan
dengan pertumbuhan kerajaan Islam di Sumatera dan Tanah Semenanjung di Jawa
juga berdiri Kerajaan Demak[27]
yang merupakan kerajaan Islam oertama di Jawa. Berdirinya Kerajaan Demak
merupakan babak penting proses islamisasi Jawa. Penguasa pertama kerajaan Demak
adalah Raden Patah (1500-1518),
keturunan raja Majapahit dari istri seorang putri Campa. Kerajaan Demak
merupakan batas antara era
Hindu-Buddha-Majapahit dan era Islam. hingga pertengahan abadXVI, kerajaan
tersebut telah menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur, seperti Tuban
(1527), Wirosadi dan Purwodadi (1528), Gagelang (kini Madiun) (1529),
Mendakungan (kini Blora) (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan dan
Blitar (1545) dan Blambangan serta Panarukan (1546).[28]
Setelah
Demak, menyusul jadi Kerajaan Banten dan Cirebon, yang merupakan protektorat
Kerajaan Demak di Jawa bagian barat. Syarif Hidayatullah merupakan orang
kepercayaan Sultan Demak yang diutus untuk menundukkan Kerajaan Hindu
Padjadjaran, sekaligus mendirikan Kerajaan Banten Islam (1524).[29]
kemudian menjadi penguasa di Banten (memerintah 1524-1552) dan selanjutnya
Cirebon (1552-1568).[30]
Kota banten terletak di pesisir selat sunda, dan merupakan
pintu gerbang yang menghubungkan Sumatra dan jawa. Posisi banten yang sangat
strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 – 1526
pasukan demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten.
Sebelum Banten berdiri sebagai
kesultanan, wilayah ini termasuk bagian kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Pada awal abad ke – 16, yang berkuasa di Banten adala Prabu Pucuk Umum dengan
pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang. Adapun daerah Surasowan hanya
berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita Joad Barros (1616), wartawan
Portugis, diantara pelabuhan yang tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan
Sunda Kelapa dan Banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikunjungi para
saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil
negeri lainnya diekspor.
Pada masa lalu, Banten adalah
semacam kota metropolitan. Kota itu menjadi pusat perkembangan pemerintahan
kesultanan Banten, yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga
abad. Menurut babad Pajajaran, masuknya islam di Banten dimulai ketika Prabu
Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. untuk mencari
tahu tentang arti itu, ia mengutus kian Santang, penasehat kerajaan Pajajaran
yang mengatakan bahwa cahaya di atas Banten adalah cahaya islam. Kian Santang
pun memeluk islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya
kian santang hanya berhasil untuk beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya
menyingkirkan diri. Akibatnya, pajajaran menjadi berantakan.
Pada tahun 1526, gabungan pasukan
Demak dan Cirebon bersama dengan laskar marinir Maulana Hasanuddin (putra
Syarif Hidayatullah) tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten.
Bahkan ada yang menyebutkan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan Banten dengan sukarela.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten pun dipindahkan ke
Surasowan. Pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan
antara pesisir melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Hal ini berkaitan pula
dengan situasi Asia Tenggara kala itu. perlu dingat, malaka telah dikuasai Portugis,
sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan rute
niaga ke Selat Sunda.
Sejak itu, pelabuhan Banten semakin
ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin
diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, Banten diubah menjadi negara
bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu
demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten
sebagai Negara Merdeka.
Sejak itu, pelabuhan Banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, Banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai Negara Merdeka.
Sayang sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu Sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan Banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Sejak itu, pelabuhan Banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, Banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai Negara Merdeka.
Sayang sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu Sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan Banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Meskipun istana Surasowan dibangun
kembali dengan megah oleh Sultan haji atas bantuan Arsitek Belanda, namun
pemberontakan demi pembrontakan oleh rakyat banten tidak pernah surut. Sultan
Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya yang setia, Pangeran
Purbaya, serta Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar sekaligus menantunya.
Akan tetapi, akhirnya Kompeni mengerahkan kekuatan penuh, dan Sultan Ageng
dapat dikalahkan.
Sementara itu, banten jatuh menjadi
boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer – Panarukan kemudian
memindahkan pusat kekuasaan Baten ke Serang. Istana Surosowan ia bakar habis
pada 1812. dapat dikatakan, pada tahun itulah Kesultanan Banten runtuh.
Keberadaan dan Kejayaan Kesultanan
Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah, seperti Masjid
Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahakan Sultan Maulana Hasanuddin.
Arsitektur masjid tersebut merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan
jawa. Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa lampau
adalah bekas istana Surasowan, yang letakkanya berdekatan dengan Masjid Agung
Banten. Istana Surasowan yang kini tinggal puing-puing itu dikelilingi oleh
tembok benteng yang tebal dengan luas kurang lebih 4 hektare, berbentuk persegi
empat panjang. Benteng tersebut kini masih tegak berdiri, di samping beberapa
bagian kecil yang telah runtuh.[31]
4.
Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah
ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang
berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi menumpas pemberontakan AriaPenangsang.
Sebagai hadiah atasnya, Sultan Kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki
Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. [32]
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan
menpati istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh puteranya, Senapati,
tahun 1584 dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senapatilah yang dipandang
sebagai Sultan Mataram pertama, stetlah Pangeran Banawa, anak Sultan Adiwijaya,
menawarkan kekuasaan atas pajang kepada Senapati. Meskipun Senapati menolak dan
hanya meminta pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Dlima Kendali Kiai
Macan Guguh, dan Palana Kiai Jatayu,[33]
ini memberikan isyarat bahwa dalam adat kebiasaan orang Jawa sebagai penyerahan
kekuasaan.
Banyak keinginan yang direncanakan oleh
Senapati dalam memperluas kerajaan, termasuk menaklukkan daerah-daerah kecil
yang dipimpin oleh raja-raja kecil. Namun tidak dapat terealisasi disebabkan
banyak tantangan dari para penguasa bekas titisan kerajaan Demak, akhirnya
hanya sebagian kecil yang dapat. Itupun diusahakan dengan berbagai kekuatan dan
peperangan yang tidak sedikit.
Senapati meninggal dunia tahun 1601 M, dan
digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak diganti oleh puteranya, Sultan
Agung, yang melanjutkan usaha ayahnya. Pada tahun1619, seluruh Jawa Timur
praktis sudah berada di bawah kekuasaannya. Dimasa pemerintahan Sultan Agung
inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai
terjadi. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera
Mahkota. Masa pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah rela dari konflik.
Dalam setiap konflik, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung
oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama.[34]
Tindakan
pertama pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh
banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi
tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M).
amangkurat I bahkan merasa tidak memerlukan titel “Sultan.”[35]
Pada tahun 1677 M dan 1678 M pemberontakan para ulama muncul kembali dengan
tokoh spritual Raden Kajoran. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang
mengakibatkan runtuhnya Kraton Mataram.[36]
Demikian proses
pertumbuhan, kemajuan serta roda pemerintahan kerjaan Mataram sejak pertumbuhan
sampai keruntuhannya dalam sejarah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara
Sebuah Perspektif Perbandingan , dalam Taufik Abdullah dan Sharon
Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarata:LP3ES,
1989.
Abdullah, Taufuk. Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah
Indonesia. Jakarta: LP3S, 1987.
Al-‘Usairy , Ahmad .“At-Tarikh al-Islamiy”, diterjemahkan
Samson Rahman .Jakarta: Akbar Media, 2003.
al-Attas, Syed Naquib. Preliminary Statement On A General Theory of the Islamisation of the
Malay-Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969.
Ambary, Hassan Muarif. ”Kesultanan Banten 1525-1813”, dalam
Lembaga Muzium Pahang, Kesultanan Melayu Nusantara.
Burhanuddin, Jajat. “Kesultanan”, dalam Taufik Abdullah
(Ketua Dewan Editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara (jilid5).
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Burhanuddin, Jajat. Islamisasi Kelembagaan Politik,” dalam
Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeven, 2002.
De Graaf, H.J. Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I. Jakarta:Grafitipers,
1987.
Graaf, H.J.de. Awal
Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati Jakarta:Grafitipers, 1978.
Groeneveldt.
W.P. Historical Notes on Indonesia&Malaya complied from Chinese Suorces.Jakarta:
Bratara, 1960
Ibrahim, Mahmud dan Rusli
Sufi. “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”,
dalam A.Hasymy (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia .Jakarta:PT.Alma’arif,
1989.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik
Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013.
Katimin. Politik Islam
Indonesia Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam sejarah Politik
Nasional. Bandung:Citapustaka Media, 2007.
Machmud , Anas .“Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam
di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A.Hasymy
P.M. Holt, Ann K.S. Lambton & Bernard Lewis (ed). The
Islamoc City in The Cambridge History of Islam. New York: Cambridge
University Press, 1970.
Riswinarno. “Peradaban Islam Pra Moderen di Asia Tenggara,”
dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Moderen. Yogyakarta: LESFI, 2004.
Saifullah, SA. Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Tjandrasasmita, Uka (Ed). Sejarah Nasional Indonesia III . Jakarta:PN
Balai Pustaka, 1984.
Wikipedia , di
akses pada tanggal 07 Nopember 2013.
Yahya, Mahayuddin Haji. Islam di Alam Melayu . Kuala lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.
Yatim, Badri .Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo, 2002.
MAKALAH
SEJARAH SOSIAL INTELEKTUAL ISLAM
INDONESIA
PERTUMBUHAN
INSTITUSI SOSIAL POLITIK:
SAMUDRA PASAI, MALAKA,
BANTEN, DAN MATARAM
OLEH:
ABDUSIMA NASUTION
NIM. 3122273
DOSEN PENGAMPUH
PROF. DR. HAIDAR PUTRA DAULAY
PROGRAM
DOKTOR PPs IAIN SUMATERA UTARA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ISLAM
2014
[1] W.P.
Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia&Malaya complied from Chinese
Suorces (Jakarta: Bratara, 1960), h.14
[2] Syed Naquib
al-Attas, Preliminary Statement On A
General Theory of the Islamisation of the Malay-Indonesian Archipelago
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), h. 11
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo, 2002), h. 194
[4] Saifullah, SA,
Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 11
[5] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), cet. 2,
h. 262
[6] Jajat
Burhanuddin, Islamisasi Kelembagaan Politik,” dalam Taufik Abdullah,
ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven,
2002), h.69 dan 80.
[8] Taufik
Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara Sebuah Perspektif
Perbandingan , dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, Tradisi dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarata:LP3ES, 1989), h. 79.
[9] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam…., h.264.
[10] Riswinarno, “Peradaban
Islam Pra Moderen di Asia Tenggara,” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah
Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moderen (Yogyakarta: LESFI, 2004),
318
[11] Katimin, Politik
Islam Indonesia Membuka Tabir Perjuangan Islam Ideologis dalam sejarah Politik
Nasional (Bandung:Citapustaka Media, 2007), h. 58
[12] Saifullah, SA,
Sejarah Kebudayaan Islam di Asia……, h.11.
[13] Jajat
Burhanuddin, “Kesultanan”, dalam Taufik Abdullah (Ketua Dewan Editor),
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara (jilid5) (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002), h. 41
[15] Uka
Tjandrasasmita (Ed), Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta:PN Balai
Pustaka, 1984), h. 3.
[16] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan Islam.., h. 205.
[17] Mahmud Ibrahim
dan Rusli Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh”, dalam A.Hasymy (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia (Jakarta:PT.Alma’arif, 1989), h. 420
[18] Mahayuddin
Haji Yahya, Islam di Alam Melayu (Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1998),h.8
[19] Uka
Tjandrasasmita, “Proses Kedatngan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan
Islam di Aceh”, A.Hasymy…., h. 362
[20] Muhammad
Ibrahim dan Rusdi Sufi….., h.430.
[21] Anas Machmud, “Turun
Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”,
dalam A.Hasymy….., h. 286.
[22] Holt, P.M.,
Ann K.S. Lambton & Bernard Lewis (ed). The Islamoc City in The Cambridge
History of Islam, ( New York: Cambridge University Press, 1970), h. 126
[23] Jajat, Kesultanan….,
h. 42
[24] Ahmad
Al-‘Usairy, “At-Tarikh al-Islamiy”, diterjemahkan Samson Rahman
(Jakarta: Akbar Media, 2003), h.337
[25] Jajat, Kesultanan….,
h.44
[26] Saifullah, SA,
Sejarah & Kebudayaan Islam …., h. 28
[27] Jajat, Kesultanan….,
h. 45
[28] Jajat, Kesultanan…,
h. 46
[29] Uraian lebih
lengkap tentang Kesultanan Banten, lihat Prof. Dr. Hassan Muarif Ambary,”Kesultanan
Banten 1525-1813”, dalam Lembaga Muzium Pahang, Kesultanan Melayu Nusantara,
h. 277-289.
[31] Wikipedia ,
di akses pada tanggal 07 Nopember 2013.
[32] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan…., h.214
[33] H.J.de Graaf, Awal
Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati (Jakarta:Grafitipers,
1978), h.95
[34] Taufuk
Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
LP3S, 1987), h. 42
[35] Ibid., h. 108
[36] H.J. de Graaf,
Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I, (Jakarta:Grafitipers, 1987),
h. xi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar