KONSELING ISLAMI DAN PROBLEM SOLVING
OLEH : ABDUSIMA NASUTION, S.Ag., MA
Pendahuluan
Diantara problem yang sedang
dihadapi manusia sekarang adalah kemiskinan yang semakin meluas.[1] Kompleksitas
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari terus berkembang sesuai dengan
banyaknya kondisi yang dihadapi. Permasalahan-permasalahan itu ada yang berupa
masalah keluarga, frustasi, ketakutan, ekonomi, persaingan, hingga perilaku
yang menyimpang. Bisa saja permasalahan itu muncul akibat faktor dalam diri dan
bisa juga diakibatkan lingkungan tempat tinggal, tempat kerja, pasangan, hingga
pergaulan.
Salah
satu jalan keluar (problem solving) yang akan membantu dari permasalahan
itu adalah konseling. Konseling islami merupakan salah satu pemecahan yang
arif, sebab dalam konseling islami itu menitik beratkan pemecahan masalah dari
aspek psikologi melalui terapi al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Konseling
islami merupakan bentuk penanganan permasalahan yang berangkat dari
permasalahan yang ada dan diarahkan melalui jalan religiusitas keimanan,
Dalam
mengkaji Permasalahan yang dihadapi (problem) sebaiknya terlebih
mengkaji bagaiamana pandangan islam tentang permasalahan yang ada pada manusia.
Setelah ini difahami, maka akan dilanjutkan dengan membangkitkan kemampuan diri
(power self) dalam memecahkan permasalahan melalui rentetan/alur yang
akan memberikan proses pemecahan masalah.
Kedua
kajian ini (konseling Islami dan problem solving) merupakan dua sisi
mata uang yang tak terpisahkan. Sebab dalam konseling itu intinya adalah
pemecahan masalah (problem solving). Setiap manusia pasti membutuhkan
kedua unsur ini. Sebab manusia merupakan makhluk yang tidak terlepas dari
berbagai masalah (complecitas problem). Dimana saja, kapan saja, dan
kondisi apa saja pun problematika pasti ada. Untuk itu, penanganan masalah itu
harus terlebih dahulu mengetahui akar permasalahan sehingga akan memudahkan
pemecahan masalah.
Pembahasan
A. Pandangan Islam Tentang Masalah pada
Manusia
Dalam
ayat-ayat suci al-Qur’an, terdapat sejumlah pernyataan yang mendudukkan manusia
sebagai makhluk pilihan, makhluk berkualitas tinggi, makhluk kreatif dan
produktif, dengan sederet istilah yang dipasang:
-
Sebagai khalifah di bumi
-
Sebagai makhluk yang diunggulkan
-
Sebagai pewaris kekayaan bumi
-
Sebagai penakluk sumber daya alam
-
Sebagai pengemban amanat, dan lain-lain.[2]
Ungkapan-ungkapan
di atas merupakan tanggung jawab selaku manusia yang telah ditadqirkan Allah
selama hidup di atas dunia ini. Namun harus dipahami bahwa dalam mengelola dan
melaksanakan tanggung jawab itu, maka disitu pulalah berbagai permasalahan
muncul dalam diri setiap manusia.
Pada
dasarnya, keberadaan manusia yang telah digariskan Allah sebagai makhluk
pilihan ternyata dalam kehidupannya selalu berhadapan dengan berbagai masalah.
Masalah-masalah yang terjadi telah menumbuh-kembangkan suatu keadaan krisis multidimensi.
Krisis-krisis yang dihadapi oleh masyarakat dunia, baik krisis lingkungan
maupun krisis manusia.[3]
Selaku
makhluk Allah yang sempurna dan dikaruniai berbagai kelebihan dari makhluk
lain, ternyata manusia tidak lepas dari berbagai permasalahan. Meskipun manusia
dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan
mereka (manusia-pen) dimulai dari kelemahan dan ketidak-mampuan, yang kemudian
bergerak ke arah kekuatan tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka,
kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.[4]
Modernisasi
yang terjadi, ternyata telah membawa perubahan-perubahan psikososial, dimana
terjadi pula perubahan nilai-nilai kehidupan, yang antara lain dapat dilihat
dari hal-hal berikut ini, yaitu:
a. Pola hidup masyarakat dari yang
semula sosial religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual
materialistis dan sekuler.
b. Pola hidup sederhana dan produktif
cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.
c. Struktur keluarga yang semula extended
family cenderung ke arah nuclear family, bahkan sampai kepada single
parent family.
d. Hubungan kekeluargaan yang semula
erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan rapuh.
e. Nilai-nilai agama dan tradisional
masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat modern bercorak sekuler dan
serba boleh (permissive society) .
f. Lembaga perkawinan mulai diragukan,
dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
g. Ambisi karier dan materi yang tak
terkendali dapat mengganggu interpersonal baik dalam keluarga maupun di
masyarakat.[5]
Dari
perkembangan peradaban manusia di muka bumi ini, maka kondisi-kondisi seperti
itu telah menjamur di tengah-tengah kehidupan. Ada yang telah larut dan terbuai
dalam momongan realitas, dan ada yang hampir terkontaminasi, dan ada pula yang
tidak sadar bahwa dia telah terjerumus ke dalam keadaan itu.
Kondisi-kondisi
seperti itu akhirnya menghantarkan manusia ke gerbang permasalahan yang lebih
kompleks dan terkombinasi melalui kebutuhan hidup. Beratnya permasalahan itu
tidak sedikit membawa ke arah penyakit jiwa yang biasa disebut stres. Kini
masalah kesehatan tidak lagi hanya menyangkut beberapa angka kematian
(mortalitas) atau angka kesakitan (morbilitas), melainkan mencakup ruang
lingkup kehidupan yang lebih luas, yaitu berbagai faktor psikososial yang dapat
dan merupakan stres kehidupan anggota masyarakat, yaitu:
a. Tidak adanya jaminan sosial (loss
of social security)
b. Pengangguran (unemployment)
c. Penyalah-gunaan obat/narkotika (drug
abuse)
d. Penyalah-gunaan minuman keras (alcoholism)
e. Kejahatan (crime)
f. Kenakalan remaja (juvenile
delinquency)
g. Kemiskinan (proverty)
h. Bunuh diri (sucide)
i.
Orang-rang lanjut usia (elderly people)
j.
Orang-orang dengan kelainan kepribadian (inadequate/psuchopatic
personality).[6]
Faktor penyebab di atas akan
bermuara kepada gejolak permasalahan bagi manusia. Sehingga dalam al-Qur’an
dijelaskan bahwa manusia mempunyai berbagai permasalahan seperti yang
disinyalir dalam firman Allah Swt:
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur
&äóÓy´Î/
z`ÏiB
Å$öqsø:$#
Æíqàfø9$#ur
<Èø)tRur
z`ÏiB
ÉAºuqøBF{$#
ħàÿRF{$#ur
ÏNºtyJ¨W9$#ur
3
ÌÏe±o0ur
úïÎÉ9»¢Á9$#
ÇÊÎÎÈ
155. dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.[7]
Dari ayat itu bisa diindikasikan bahwa permasalahan
pada manusia pada al-Qur’an ketakutan, kelaparan, harta benda yang berkurang,
kematian, dan paceklik (ruginya hasil pertanian). Ketakutan-ketakutan itu akan
membawa kepada suatu permasalahan jiwa yang harus ditangani seperti stres.
Goncangnya kejiwaan (stres) diawali dengan keluh kesah jiwa. Memang manusia itu
telah diciptakan bersifat keluh kesah. Ini dinyatakan dalam firman Allah:
*
¨bÎ)
z`»|¡SM}$#
t,Î=äz
%·æqè=yd
ÇÊÒÈ #sÎ)
çm¡¡tB
¤³9$#
$Yãrây_
ÇËÉÈ
#sÎ)ur
çm¡¡tB
çösø:$#
$¸ãqãZtB
ÇËÊÈ
19.
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
20. apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah,
21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia
Amat kikir.[8]
Permasalahan keluh kesah, stres, dan
ketakutan ini kalau dilihat dalam relitas kehidupan manusia pada umumnya
digolongkan kepada jenis stres psikososial sebagai berikut:
a.
Perkawinan
Berbagai
permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang; misalnya
pertengkaran, perpisahan (separation)
perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidak-setiaan, dan lain-lain
sebagainya. Stres perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam
depresi dan kecemasan.
b.
Problem orang tua
Permasalahan
yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan
anak, anak sakit; hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain
sebagainya. Permaslahan tersebut di atas dapat merupakan sumber stres yang pada
gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.
c.
Hubungan
interpersonal (Antar pribadi)
Gangguan
ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik
dengan kekasih, antara atasan dengan bawahan, dan lain sebagainya. Konflik
hubungan interpersonal ini dapat merupakan sumber stres bagi seseorang, dan
yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya.
d.
Pekerjaan
Masalah
pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masa perkawinan. Banyak orang
menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya
pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan
pangkat, pensiun, keholangan pekerjaan (PHK), dan lain sebagainya.
e.
Lingkungan hidup
Kondisi
lingkungan hidup yang ururk besar pengaruhnya bagi kesehatan sesorang, misalnya
soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggususran, hidup dalam lingkungan
yang rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa tercekam dan tidak aman ini
amat mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang
jatuh ke dalam depresi dan kecemasan.
f.
Keuangan
Masalah
keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh
lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal
warisan, dan lain sebagainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang dan sering kali masalah keuangan ini merupakan faktor yang
membuat seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
g.
Hukum
Keterlibatan
seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres pula, misalnya
tuntutan hukum, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Stres di bidang hukum
ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi kecemasan.
h.
Perkembangan
Yang
dimaksud di sini adalah masalah perkembangan baik fisik maupun mental seseorang
misalnya masa remaja, masa dewasa, manipause, usia lanjut, dan lain sebagainya.
Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sementara individu
dapat menyebabkan depresi dan kecemasan; terutama mereka yang mengalami
manipause dan usia lanjut.
i.
Penyakit fisik
atau cidera
Sumber
stres yang dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini adalah antara lain:
penyakit, kecelakaan, operasi/pembedahan, aborsi, dan lain sebaginya. Dalam hal
penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis,
jantung, kanker, dan sebangsanya.
j.
Faktor keluarga
Yang
dimaksud di sini adalah faktor stres dialami oleh anak dan remaja yang
disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak baik (yaitu sikap orang tua),
misalnya:
1.
Hubungang kedua
orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak acuh
2.
Kedua orang tua
jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak
3.
Komunikasi antara
orang tua dan anak yang tidak baik
4.
Kedua orang tua
berpisah atau bercerai
5.
Salah satu orang
tua menderita gangguan jiwa/kepribadian
6.
Orang tua dalam
pendidikan anak kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter, dan lain sebagainya.
k.
Lain-lain
Stresor
kehidupan lainnya juga dapat menimbulkan depresi dan kecemasan adalah antara
lain, bencana alam, kebarakaran, perkosaan, kehamilan di luar nikah, dan lain
sebagainya.[9]
Permasalahan manusia itu sebenarnya
telah dahulu diuraikan dalam al-Qur’an. Kerusakan dalam bentuk masalah itu
sebenarnya berasal dari diri manusia itu sendiri. Sebagimana firman Allah:
tygsß
ß$|¡xÿø9$#
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
$yJÎ/
ôMt6|¡x.
Ï÷r&
Ĩ$¨Z9$#
Nßgs)ÉãÏ9
uÙ÷èt/
Ï%©!$#
(#qè=ÏHxå
öNßg¯=yès9
tbqãèÅ_öt
ÇÍÊÈ
41.
telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[10]
Manusialah yang berpotensi
membesar-besarkan masalah itu diakibatkan kondisi yang dihadapinya. Ketidak
mampuan memecahkan masalah berasal dari jauhnya hati dalam memaknai dan
mengimani ilmu ketauhidan.
Pada dasarnya permasalahan yang ada
pada manusia itu secara ilmu jiwa terjadinya itu didorong oleh faktor dorongan
fisiologis dan dorongan psikis. Dorongan-dorongan fisiologis (disebut juga
dorongan primer) ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan
kekurangan atau hilangnya keseimbangan yang terjadi dalam jaringan-jaringan
tubuh. Dorongan-dorongan ini mengarahkan tingkahlaku individu pada
tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh atau
menutup kekurangan yang terjadi pada jaringan-jaringan tubuh dan
mengembalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya. Sementara
dorongan-dorongan psikis (disebut pula dorongan-dorongan sekunder, atau
dorongan yang diperoleh dengan belajar, atau dorongan sosial) dorongan-dorongan
ini diperoleh lewat belajar selama proses sosialisasi yang dilalui seseorang.[11]
Kalau ditanyakan mengapa manusia itu
terjangkiti berbagai masalah? Maka jawabannya ada pada dorongan diri dalam
mencapai tujuan. Demi mencapai dan mendapatkan sesuatu, maka berbagai carapun
dilakukan. meski terkadang jalan yang ditempuh mendatangkan resiko yang fatal.
Seperti halnya terganggunya kesehatan yang diakibatkan dengan pola makan yang
tidak teratur. Sehingga menyebabkan berkembangnya penyakait dalam tubuh dan akhirnya
akan mendatangkan masalah bagi manusia. Hubungan asmara/kasih sayang yang merupakan kebutuhan yang didiorong oleh
faktor psikologis juga mendatangkan masalah bagi manusia. Termasuk juga bagi
yang ingin mendapatkan harta (materialistis) yang didorong oleh kebutuhan diri
kahirnya kekurangan, kelebihan serta cara mendapatkannya pun akan memberikan
maslah bagi manusia. Kompleksitas problem/masalah itu jelas terjadi akibat diri
manusia itu sendiri.
B. Potensi Dasar Manusia Dalam
Menyelesaikan Masalah
Allah Swt
telah menciptakan manusia dengan berbagai kelebihannya. Mulai dari fikiran,
bertindak, serta kemampuan dalam mengaktualisasikan diri. Kemampuan manusia itu merupakan titik sentral
dalam mengatasi masalah. Banyak ungkapan dalam al-Qur’an yang menyatakan suruhan untuk memikirkan apa
yang ada, termasuk masalah yang ada.
Insan
adalah makhluk yang tersusun paling kompleks dari aspek luar maupun aspek
dalamnya, dan adalah satu-satunya model dan satu-satunya prototype
(model asli) yang kita kenal sebagai makhluk yang mampu memproblemkan dirinya
sendiri.[12]
Kompleksnya permasalahan dalam diri manusia itu mampu diselesaikan sebenarnya
jika digunakan dengan kemampuan atau potensi yang ada dalam dirinya.
Potensi
itu lebih dikenal dengan fitrah yang diberikan Allah Swt bagi manusia. Manusia,
antara satu sama lainnya, mempunyai banyak perbedaan dalam kesiapan dan kemampuan fisik, psikis, dan intelektual
mereka. Perbedaan-perbedaan ini terjadi karena interaksi antara faktor-faktor
keturunan dan lingkungan. [13]
Hal ini bisa saja menjadi faktor yang menentukan terhadap kesiapan mental dalam
memahami masalah yang terjadi. Orang yang garis keturunannya tergolong
keturunan yang tegar bisa menjadi lentur dan lemah dalam menghadapi masalah
dengan adanya pengaruh lingkungan. Sebaliknya dikarenakan lingkungan yang sudah
terbiasa dengan berbagai masalah maka masalah itupun menjadi enteng dan mudah
untuk diatasi.
Potensi
dasar yang berbeda itu sangat tergantung dari seberapa berat masalah yang
dihadapi. Terkadang perbedaan sudut pandang dan orang yang menghadapi masalah
bisa menyebabkan permasalahan itu berat-seberat-beratnya. Lain halnya apabila
yang menghadapi masalah itu orang lain, maka bisa saja orang yang berada di
luar masalah itu menganggap itu masalah biasa, sementara bagi yang menghadapi
masalah itu sangat berat sekali.
Al-Qur’an
juga memberikan dorongan kepada manusia untuk memikirkan tentang dirinya
sendiri, tentang keajaiban penciptaan dirinya, dan kepelikan struktur
kejadiannya. Ini mendorong manusia untuk mengadakan pengkajian tentang jiwa dan
rahasia-rahasianya. Sebab, pengetahuan akan mengantarkan kepada pengetahuan
Allah Swt.[14]
Sebagaimana firman Allah Swt:
Îûur
ÇÚöF{$#
×M»t#uä
tûüÏZÏ%qçHø>Ïj9
ÇËÉÈ þÎûur
ö/ä3Å¡àÿRr&
4
xsùr&
tbrçÅÇö7è?
ÇËÊÈ
Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?[15]
Potensi yang dimiliki manusia dalam mengatasi masalah
yang dihadapinya juga telah dinyatakan Allah dengan kemampuan yang ada dalam
dirinya. Ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Swt:
cÎ)
©!$#
w
çÉitóã
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçÉitóã
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.[16]
Sementara
itu, dari sudut pandang filsafat juga ada diketengahkan bagaimana kemampuan
manusia dalam mengatasi masalah yang dihadapinya seperti yang dikutip oleh
Prayitno dari penulis Barat yang menyatakan bahwa manusia itu pada hakikatnya
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Manusia adalah makhluk rasional yang
mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2. Manusia dapat belajar mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya khususnya apabila dia beriasaha memanfaatkan
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3. Manusia berusaha terus-menerus
mengambangkan dan menjadikan dirinya sendiri, khusunya melalui pendidikan.
4. Manusia dilahirkan dengan potensi
untuk menjadi baik dan bururk dan hidup berarti serta berupaya untuk mewujudkan
kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengintrol keburukan.[17]
Dari
penjelasan di atas nyatalah bahwa kemampuan manusia dalam memahami permasalahan
akan tercipta dari berbagai unsur penunjang seperti; keluasan berfikir, ilmu
pengetahuan, belajar dari pengalaman, keinginan untuk memecahkan masalah, serta
jenjang pendidikan yang dilaluinya. Artinya, makin matang kemampuan berfikir
dan ilmunya maka makin kompleksnya penegtahuannya dalam mamahami dan mengatasi
masalah.
Setiap
orang punya masalah tentunya tidak menginginkan masalah itu berlarut-larut
bersamanya, dan sebaliknya dia berusaha mencari jalan keluar dari setiap
permasalahan yang dialaminya itu. Sebahagian orang dapat keluar dari masalahnya
berkat kesungguhan, percaya diri (optemisme) dan kedalaman agama yang ia
miliki, tetapi juga tidak jarang di antara manusia tidak bisa keluar dari masalahnya
tanpa bantuan, arahan dan peranan orang tua.[18] Disinilah betapa pentingnya bersosialisasi
dengan masyarakat dan terus berusaha meningkatkan pengamalan agama. Sebab tidak
semua permasalah bisa diselesaikan dengan ilmu dan nasehat orang saja. Aspek
ajaran agama dalam perspektif keimanan juga menentukan berat ringannya
permasalahan itu. Manusia itu merupakan makhluk yang lemah dan esensinya
tergolong kepada lemahnya dimata Tuhan. Saat manusia telah berusaha dengan
kemampuan kemanusiaannya, maka saat itu pulalah harus kembali ke dalam tuntunan
agama.
Dalam
mengembangkan dimensi kemanusiaan tersebut setiap manusia memiliki daya cipta,
rasa, karsa, karya dan taqwa yang dinamakan dengan panca daya. Panca daya
merupakan perangkat instrumental dalam mengembangkan kebulatan dan keutuhan
yang ada dalam diri manusia. Panca daya yang dimiliki manusia akan berkembang
dengan baik bila ditunjang dengan berbagai aspek di luar lingkungan individu.
Aspek yang dimaksud ialah gizi, penerimaan dan sikap, pendidikan, budaya dan
kondisi incidental yang dinamakan lima lingkungan di luar individu (likadu).
Perwujudan aktualisasi diri manusia yang diabstraksikan sebagai tingkah laku
yang bulat dan utuh akan berkembang dengan baik bila manusia dalam kondisi rasa
aman, memiliki kompetensi/keterampilan, aspirasi, semangat dan kesempatan yang
kondusif. Kelima kondisi ini dinamakan lima kondisi individu (masidu) yang
dijaga dengan sebaik-baiknya. Pilar pengembangan sumber daya manusia ini adalah
pancadaya, karena itu perlu diurus, diperhatikan dan diarahkan secara selaras,
serasi dan seimbang dengan berpatokan kepada harkat dan martabat manusia untuk
mengatur dan membentuk pola, rekayasa dan pengarahan dari perkembangan tingkah
laku manusia.[19]
Potensi-potensi
yang dimiliki manusia merupakan anugerah Sang Pencipta bagi keberlangsungan
hidup. Tinggal lagi bagaimana mengelola potensi itu dan dapat diaplikasikan
terhadap problema yang terjadi. Kesiapan mental dan keluasan cakrawala berfikir
merupakan unsur terpenting dalam memahami masalah.
C. Keberanian Mengambil Keputusan
Tidak
semua orang mampu mengekspresikan masalahnya secara gamblang di tengah-tengah
kehidupannya. Banyaknya faktor-faktor yang selalu menekan individual sehingga
mengakibatkan dirinya hanyut dan terbenam dalam masalah yang dihadapinya. Tak
jarang seseorang itu terus dan terus memendam permasalahan itu dan bahkan tak
jarang melampiaskannya kepada hal-hal yang dianggapnya mampu memberikan jalan
keluar yang ternyata justru menambah besarnya masalah yang dihadapinya.
Bisa
dilihat, betapa banyaknya orang yang dihimpit permasalahan yang akhirnya
mengambil langkah yang salah, seperti; bunuh diri, frustasi, penggunaan
narkotika, minuman keras dan yang lebih sadis lagi menghilangkan nyawa orang
lain dengan alasan hal itu bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang
dihadapinya.
Setiap ada
masalah, hal yang seharusnya dilakukan adalah menumbuhkan keberanian untuk
menyelesaikannya. Dalam keberanian ini, maka ada dua unsur yang memegang
peranan penting atas permasalahan yang dihadapi bisa terselasaikan, berani
mengungkapkan dan berani mengambil tindakan tegas. Tidak semua orang yang
bermasalah berani mengemukakan permasalahan yang diahadapinya apalagi kepada
orang lain. Terkadang keberanian itu muncul seketika, dan berniat untuk
mengkomunikasikannya dengan orang yang berkompeten dalam memberikan solusi
dalam hal ini konselor.
Keberanian
semacam ini harus dimulai dari diri seseorang yang menghadapi masalah.
Permasalahan yang dia hadapi wajib disampaikan secara terinci agar yang
memberikan solusi (konselor) bisa menganalisa demi terciptanya solusi yang
terbaik. Biasanya bagi orang yang menghadapi permasalahn itu terkesan malu
apabila permasalahannya diketahui orang lain. Namun apabila permasalahan itu
berkepanjangan dan tak terselesaikan,maka barulah menyerah dan berkonsultasi
dengan konselor. Sama halnya dengan orang yang menderita suatu penyakit.
Apabila penyakit itu masih bisa ditahankannya, maka ia akan berusaha
menahankannya selagi ia bisa. Namun apabila sakitnya itu sudah kronis dan tak
tertahankannya lagi, baru ia menyerah dan membawanya ke dokter.
Keberanian
seseorang ada juga yang secara spontanitas dalam mengambil sebuah keputusan.
Biasanya orang seperti ini adalah orang yang telah terbiasa mengahadpi
persoalan-persoalan dalam diri, keluarga, bahkan di masyarakat. Namun harus
diakui biasanya orang yang mengambil keputusan itu akan menyesali dirinya andai
saja keuputusan yang diambilnya itu ternyata salah.
Bagi
seorang konselor yang berkecimpung dalam dunia konseling, biasanya terlebih
dahulu membangkitkan keberanian klienya agar terbuka menjelaskan permasalahannya.
Sebab harus disadari bahwa dalam diri klien itu terkadang muncul resistensi.
Resisten adalah suatu proses mengelak untuk berkomunikasi tentang diri apabila
ditanya oleh seseorang. Hal ini karena berupaya untuk menimbulkan ketidak
bahagiaan dan kegelisahan. Dalam kata lain resisten dilihat sebagai keengganan
klien untuk berubah dalam proses konseling.[20]
Jadi dapat
difahami bahwa sebenarnya keberanian dalam mengambil keputusan itu harus
disadari oleh kedua belah pihak. Konselor harus berani mengambil keputusan
dalam bertindak, sementara klien harus berani dalam mengeluarkan penjelasan
tentang masalah yang dihadapinya. Setelah permasalahan itu diuraikan dan
difahami oelh konselor, maka langkah selanjutnya yang diambil oleh konselor
yaitu memproses pengambilam keputusan.
D. Langkah-langkah Pengambilan
Keputusan Yang Tepat
Hal yang
terpenting dalam mengahadapi masalah adalah mengambil keputusan (problem solving)
dari permasalahan yang ada. Pengambilan keputusan ini menghasilkan jalan keluar
dari permasalahan yang sangat diharapkan oleh orang yang menghadapi masalah. Hal
yang harus ditekankan dalam mengambil keputusan adalah bagaimana
langkah-langkah yang akan diambil dalam memecahkan masalah (problem solving)
sehingga dengan langkah tersebut tercipta solusi yang universal dan terarah.
Menurut
Utsman Najati[21]
ada lima langkah berfikir dalam memecahkan masalah. Langkah-langkah berfikir
tersebut bisa diikhtiarkan sebagai berikut:
Pertama:
kesadaran akan adanya problem
Pemikiran
bermula ketika seseorang merasakan adanya suatu problem yang penting baginya,
dan ia merasakan adanya dorongan yang kuat untuk memecahkannya, agar supaya ia
bisa sampai pada tujuan yang ingin dicapainya. Kesadaran akan adany problem ini
merupakan langkah awal dalam proses pemikiran.
Kedua :
penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi
Ketika
seseorang merasakan adanya suatu problem, biasanya ia berusaha mengkaji problem
itu dari berbagai aspeknya, agar ia bisa memahaminya dengan baik, dan
menghimpun berbagai data dan informasi yang berkaitan dengannya. Pun ia
berusaha meneliti data dan informasi
data itu secara mendalam, guna mengetahui relevansi data informasi tersebut
dengan problem yang dihadapinya. Data dan informasi yang relevan dengan problem
itu diambilnya, sementara yang tidak relevan ditinggalkannya. Penghimpun data
dan informasi yang relevan dengan problem yang ada membantunya dalam
meperjelas, memahami, dan membatasi problem itu dengan teliti, sehingga bisa
mengantarkkannya untuk menyusun berbagai hipotesa guna memcahkan problem
tersebut.
Ketiga:
Penyusunan Hipotesa
Selama
data dan informasi sedang dihimpun, pada benak yang bersangkutan terbersit
beberapa kemungkinan jalan keluar ata hipotesa bagi problem tersebut atau
beberapa hipotesa.
Keempat:
Penilaian Terhadap Hipotesa
Ketika
seseorang sedang memikirkan suatu problem,
biasanya ia berusaha menguji dan mendiskusikan hipotesa tersebut
berdasarkan berbagai data dan informasi yang dimilikinya. Ini untuk mengetahui
sejauhmana kelayakan dan kecocokan hipotesa tersebut untuk memecahkan problem
tersebut. Kadang-kadang orang itu mendapatkan bahwa hipotesa yang disusunnya
tidak sesuai dengan sebagian data dan informasi tentang problem yang ada. dalam
keadaan demikian, ia akan meninggalkan hipotesa tersebut dang menganggapnya
tidak memeadai untuk memecahkan problem yang dihadapinya. Dan ia akan menyusun
hipotesa lain yang kemudian diuji dan didiskusikannya seperti halnya yang telah
ia lakukan pada hipotesa yang pertama. Proses ini terus berlangsung hingga akhirnya
ia sampai pada suatu hipotesa yang bisa diterima dan cocok dengan berbagai data
dan informasinya tentang problem yang dihadapinya dan cocok untuk memecahkan
problem tersebut.
Kelima:
Pengujian Kebenaran Hipotesa
Setelah
hipotesa-hipotesa yang tidak alayk dijauhkan dan hipotesa yang alayk
didapatkan, biasanya seseorang akan mengumpulkan berbagai data lain, mengadakan
berbagai percobaan, guna mengetahui sejauh mana kebenaran hipotesa tersebut.
Langkah-langkah
dalam memecahkan masalah (problem solving) yang telah disampaikan di atas bisa
menjadi acuan guna memberikan solusi yang dihadapi klien. Seharusnya konselor
harus ememahami sistematika ini sehingga solusi itu berkekuatan dan berkualitas
dalam memberikan jalan yang terbaik.
Tidak jauh
beda dengan langkah-langkah tersebut, Jhon Dewey yang dikutip oleh Arikunto
(1993) juga memberikan enam langkah sebagai dasar acuan formal pemecahan
masalah, yaitu:
1. Mengidentifikasi masalah
Masalah-masalah
biasanya cukup luas dan kadang-kadang bercampur dengan masalah-masalah lain
sehingga nampak ruwet dan seolah-olah tidak dapat atau tidak mudah diatasi.
Untuk masalah yang menyatu atau hampir bersamaan perlu dirincikan, sehingga
jelas batas-batasnya.
2. Merumuskan masalah
Langkah
ini merupakan sesuatu yang paling kritis di dalam langkah-langkah problem
solving, karena baiktidaknya rumusan masalah akan menentukan dipahami dan
diterimanya masalah oleh orang lain sebagai masalah yang perlu dipecahkan.
3. Menentukan alternatif-alternatif
pemecahan
Pada tahap
ini perlu diingat faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah dan hal-hal
yang berkenaan dengan hadirnya masalah yang akan dipecahkan.
4. Mengidentifikasi akibat atau
konsekwensi dari pengambilan setiap alternatif. Berbagai ahli dalam hal ini
mengusulkan dipertimbangkannya unsur dana, agar akibat dari problem solving
merupakan sesuatu yang sudah dilihat efisiensinya.
5. Memilih alternatif yang terbaik
Dalam hal
ini, seorang konselor perlu membandingkan dan memilih alternatif yang terbaik
(yang paling sedikit dampak negatifnya) dari beberapa alternatif yang ada.
6. Menguji akibat-akibat dari
pengambilan keputusan.
Sebelum
pemecahan masalah dilakukan, sebaiknya diuji terlebih dahulu akibat-akibat
negatif serta kelemahan apa yang akan diperoleh setelah keputusan diambil, atau
dengan kata lain sebelum pemecahan masalah dijalankan perlu dianalisa
kemungkinan apa yang akan terjadi setelah menetapkan pilihan itu.
Dari kedua
model langkah-langkah pemecahan masalah di atas memang ada sedikit perbedaan.
Kalau Utsman Najati mengawalinya dengan adanya pemahaman akan eksistensi awal
masalah. Sehingga konselor akan lebih
faham betul problem yang terjadi bagi kliennya. Sementara itu dari segi
efisesnsi kerja secara rinci, John Dewey memberikan rincian yang lebih akurat.
Pandangan Jhon Dewey ini menguraikan sampai kepada dana, akibat positif dan
akibat negatif dalam proses pemcahan masalah.
E. Upaya Konseling Islami Menumbuhkan
Keberanian Manusia
Konseling
Islami merupakan cara dalam mengatasi berbagai permasalahan yang melanda jiwa
atau mentalitas manusia. Pada seminar Bimbingan dan Konseling Islami yang
diselenggarakan oleh UUI di Yogyakarta pada tahun 1985 dirumuskan bahwa
Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar
menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.[22]
Dalam
penjabarannya, maka sebagai fokus akhir dari Konseling Islami menitik beratkan
kepada entitas ketauhidan dalam melandasi kehidupannya. Konseling Islami
berusaha untuk mengembalikan kembali dasar dan fitrah kepada eksistensi manusia sebagai ciptaan Allah.
Sebenarnya, terjadinya ketidakpaduan antara dassein dan dassolen,
antara kenyataan dan yang seharusnya[23]
itu diakibatkan oleh jauhnya seseorang dari garis serta tuntunan iman dan
Islam.
Besarnya
perhatian Konseling Islami dalam menyelesaikan permasalahan manusia semuanya
itu untuk menciptakan insan kamil yang paripurna. Meletakkan kembali dasar
ajaran tauhid, merevisi kembali jiwa yang terkontaminasi dengan masalah
kehidupan serta menjadikan manusia yang hidup dalam kehidupan Islami.
Realitas
kehidupan manusia yang telah berbaur dengan berbagai kepentingan baik untuk
individual, keluarga, hingga bermasyarakat mengaharuskan setiap manusia untuk
terus meningkatkan kreatifitasnya. Dalam meningkatkan kreatifitas itulah
terkadang secara sengaja atau tidak, disadari atau tidak terkadang terjerumus
kepada perbuatan yang merugikan jiwanya sendiri.
Perbuatan
yang dilakukan itu (apalagi negatif), biasanya akan memberikan pertentangan
batin dalam jiwa seseorang. Pada saat pertentangan ini terjadi, maka disitulah
lahir permasalahan batin yang berakibat kepada kegelisahan jiwa. Banyaknya
kegelisahan-kegelisahan jiwa ternyata bermuara kepada penyakit kejiwaan,
seperti stres, depresi, merasa bersalah, putus asa, serta pesimistis yang
berlebihan.
Dalam
mengahadapi kondisi seperti ini, maka tampillah upaya-upaya Konseling Islami
sebagai pembangkit sekaligus penetralisir keadaan. Konseling Islami yang
berlandaskan Al-Qur’an dan hadis ternyata mampu memberikan solusi yang ampuh. Salah
satu kunci utama yang ditekankan adalah iman. Sebab, dalam iman terdapat Islam
dan ihsan, dalam Ihsan terdapat Iman dan Ihsan, dan dalam Ihsan terdapat Iman
dan Islam. dari sudut pengertian inilah
terlihat iman, Islam dan Ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.[24]
Selain
itu, upaya yang dilakukan Konseling Islami terhadap manusia bisa dilaksanakan
dengan tiga metode. Pertama: metode yang dikembangkan oleh para sufi yaitu:
tahalli, takhalli, tajalli. Kedua: metode syariah, thariqah, ma’rifah. Ketiga:
metode iman, Islam, Ihsan.[25]
Upaya yang
dilakukan dalam membangkitkan keberanian untuk mampu menyelesaikan masalah
melalui konseling Islami Hanna Djumhana Bastaman menawarkan tiga cara untuk
peningkatan diri yang semuanya merupakan strategi sadar untuk mengubah nasib
menjadi lebih baik.
Cara
pertama adalah hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk
mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan
nilai-nilai akodah, syari’ah dan akhlak, aturan-aturan negara, dan norma-norma
kehidupan bermasyarakat, serta sekaligus berusaha menjauhi hal-hal yang
dilarang agama dan aturan-aturan yang berlaku.
Cara kedua
adalah melakukan latihan intensif yang bercorak psiko-edukatif. Mislanya yang
dikemas dalam program dan paket-paket pelatihan pengembangan pribadi, seperti
Pengenalan dan Pengembangan Diri (Self Development), AMT (Archievement
Motivation Training), Menjadi Orang Tua Efektif (Parent Efektif Training),
Komunikasi Lintas Budaya (Transcultural Communication). Semua betujuan
meningkatkan aspek-aspek yang positif dan mengurangi aspek-aspek negatif, baik
yang masih potensial maupun yang sudah teraktualisasi dalam prilaku. Tentu
semuanya itu harus dimodifikasi secara mendasar dengan landasan dan warna
Islami. Dengan pelatihan yang bercorak psiko-edukasi inil seseorang diharapkan
menyadarkan diri terhadap keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri,
menemukan arti dan tujuan hidupnya dan menyadari serta menghayati betapa
pentingnya meningkatkan diri.
Cara
ketiga yaitu pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi kepada
spritual-religius, yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah,
melalui berzikir, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Swt dalam firmannya
pada surah al-Baqarah (2) ayat 152.[26]
Kesimpulan
Selama
menempuh hidup di atas dunia ini manusia selalu dan tetap dirundung masalah.
Hal ini merupakan suatu bentuk realitas hidup, semakin banyak masalah yang
dihadapi, maka semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan dari permasalahan
itu. Dalam menjalani problem-problem itu, dibutuhkan pemecahan atau solusi yang
disebut dengan “problem solving”.
Ada dua
jalur yang ditawarkan bagi orang yang mengalami problem itu, pertama lewat
konseling manusiawi, dan kedua konseling ilahi. Konseling manusiawi mengandung
arti bahwa permasalahan yang dihadapi itu dippecahkan melalui sistem berfikir
manusia melalui proses konseling. Sehingga muncul istilah konselor dan
konseling. Yang memberikan solusi itu adalah orang yang telah diakui
keilmuannya dalam bidang layanan konseling baik akademis maupun kualitas
solvingnya. Sementara konseling ilahi mengandung arti sebuah pengaharapan
melalui pendekatan manusia (yang mengalami problem) kepada Tuhan Yang Maha Tahu
dan Maha Bijaksana. Konseling seperti ini biasanya memeberikan ketengangan
bathin apabila seluruh problem yang dihadapinya dicurahkan kepada-Nya.
Al-Qur’an
banyak memberikan solusi bagi manusia dalam mengahadapi permasalahan. Kekuatan
yang dibangkitkan dalam al-Qur’an itu disamapaikan melaui menumbuhkan
keberanian dalam diri manusia guna mengambil keputusan dari permasalahan yang
ada. Keberanian itu ada pada setiap diri
manusia hanya saja seberapa maksimal usaha yang dilakukan konselor untuk
membangkitkan keberanian itu.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Mi’atu Su’al ‘An-Islam terj. Abdullah
Abbas, Al-Ghazali Menjawab 100 Soal
Keislaman . Jakarta: Lentera Hati. 2012.
Dahlan, M.D. Dasar-dasar
Konseptual Penanganan Masalah-masalah Bimbingan dan Konseling Islami di Bidang
Pendidikan. Yogyakarta: UII, 1997.
Hasan, Muhammad Tholhah. Islam
dan Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lantabora Press. 2003.
Hawari, Dadang. Al-Qur’an
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 1996.
Lubis, Lahmuddin. Landasan
Formal Bimbingan Konseling di Indonesia. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2012.
Lubis,
Lahmuddin. Bimbingan Konseling Islami. Jakarta: Hijri Pustaka Utama,
2007.
Lubis, Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami dan Kesehatan
Mental. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
Luddin, Abu Bakar M. Psikologi
Konseling. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
Musthafa, Ibnu.
Keluarga Islam Menyongsong abad 21. Bandung: Al-Bayan, 1997.
Mutahhari, Murtadha Mutahhari. terj. Jalaluddin Rahmad, Perspektif
Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama. Bandung: Mizan, 1986.
Najati, Utsman.
Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung:
Pustaka, 1985.
Prayitno dan Erman Amti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2004.
Qamarulhadi, S.
Membangun Insan Seutuhnya. ttp:
PT. Ma’arif, 1991.
Sukardi, Dewa Ketut dan Desak P.E. Nila Kusmawati, Proses
Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
[1] Syaikh
Muhammad al-Ghazali, Mi’atu Su’al ‘An-Islam terj. Abdullah Abbas, Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman
(Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 807
[2] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora
Press, 2003), h. 57
[3] Ibnu Musthafa,
Keluarga Islam Menyongsong abad 21 (Bandung: Al-Bayan, 1997), h. 38
[4] Murtadha Mutahhari,
terj. Jalaluddin Rahmad, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama
(Bandung: Mizan, 1986), h. 121-122
[5] Dadang Hawari,
Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 6.
[6] Dadang Hawari,
Al-Qur’an Ilmu Kedokteran……, h. 7.
[7] Q.S.
Al-Baqarah/2:155.
[8] Q.S.
Al-Ma’arij/70:19-21
[9] Dadang Hawari,
al-Qur’an Ilmu kedokteran……, h. 46-48
[10] Q.S.
Ar-Ruum/30:41
[11] Utsman Najati,
Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, 1985), h. 10
[12] S.
Qamarulhadi, Membangun Insan Seutuhnya (ttp: PT. Ma’arif, 1991), h. 15
[13] Utsman Najati,
Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa…..,h.269-270
[14] Utsman Najati,
Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa……, h. 5
[15] Q.S.
Adz-Dzariat/51:20-21
[16] Q.S.
Ar-Ra’d/31:11
[17] Lahmuddin
Lubis, Landasan Formal Bimbingan Konseling di Indonesia (Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis, 2012), h. 12
[18] Ibid., h. 158
[19] Abu Bakar M.
Luddin, Psikologi Konseling (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011),
h.11
[20] Abu Bakar M.
Luddin, Psikologi Konseling….,, h. 105
[21] Utsman Najati,
Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa…., 152-153
[22] M.D. Dahlan, Dasar-dasar
Konseptual Penanganan Masalah-masalah Bimbingan dan Konseling Islami di Bidang
Pendidikan (Yogyakarta: UII, 1997),
h. 3
[23] Saiful Akhyar
Lubis, Konseling Islami dan Kesehatan Mental …., h. 164
[24] Saiful Akhyar
Lubis, Konseling Islami dan….., h. 155.
[25] Ibid.,
h. 154.
[26] Ibid.,…. h.
156-157