SEKULARITAS DAN
SPRITUALITAS:
MENCARI FORMAT
INTEGRASI ILMU UNTUK
KONSTRUKSI
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
Abdusima Nasution
Kata kunci: Sekularitas,
Spritualitas, Integrasi Ilmu, dan Kurikulum.
Pendahuluan.
Sekularitas mengandung makna kehidupan
duniawi.
Sementara spritualitas mengandung arti yang berhubungan dengan atau bersifat
kejiwaan (rohani, bathin).
Kedua kata itu kalau ditinjau mempunyai korelasi antara keduniaan yang bersifat
materi dengan kejiwaan yang bersifat non materi. Seolah-olah ada makna yang
terkandung bahwa sekularitas konotasinya materi sedangkan spritualitas
konotasinya agama. Disini akan diuraikan bagaimana hubungan kedua unsur
sekularitas dan spritualitas dengan pendidikan.
Salah
satu tujuan pendidikan Islam yang sangat fundamental adalah untuk tercapainya
hasil yang lebih baik, maksimal dan berdayaguna dalam menjawab tantangan zaman.
Dewasa ini pendidikan dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang multikomplek
dari berbagai aspek. Mulai dari perkembangan zaman, kondisi lingkungan hingga
pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat. Dalam menjawab permasalahan itu,
maka diperlukan suatu sistem yang tepat agar permasalahan-permasalahan itu bisa
diatasi melalui berbagai pendekatan.
Orientasi
masyarakat yang tertuju kepada materialis juga mempengaruhi pendidikan yang
ada. Pendidikan diharapkan mampu menjadikan insan-insan yang berkualitas
sekaligus mampu menata kehidupan ekonominya di masa mendatang. Disamping itu
kemiskinan rohani (spritual) juga tak kalah penting bagi pendidikan, sehingga
pendidikan juga diharapkan mampu mengisi spritual dari aspek religius yang
berfungsi sebagai pedoman hidup di masa datang.
Untuk
menjaga agar tidak terjadinya kemiskinan
materi dan nilai-nilai religius, maka merupakan hal yang diwajibkan bagi
pemerhati pendidikan untuk menata kurikulum melalui penggabungan (integrasi)
berbagai ilmu. Disatu sisi perihal ekonomi harus di perhatikan, disisi lain
nilai-nilai keagamaan juga harus ditingkatkan. Dengan demikian maka disusunlah
format baru untuk mengintegrasikan sekularitas dan spritualitas ke dalam sebuah
kurikulum pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan di masa mendatang.
PEMBAHASAN
A.
Sekularitas
dan Spritualitas dalam Nilai-nilai Pendidikan.
Manusia adalah makhluk Allah yang telah ditetapkan sebagai khalifah
di muka bumi ini. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi."
Ayat di atas menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab manusia
yang diberikan Allah dalam menangani dan menjaga kelestarian bumi. Selaku hamba
Allah yang telah dikarunia akal fikiran, maka dengan berbagai usahapun
dilakukan manusia termasuk menjaga kelestarian alam dengan ilmu atau pendidikan
yang dimiliki.
Tujuan hidup dan menjaga kelestarian alam pada gilirannya akan
bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pada dasarnya pendidikan
bertujuan memelihara kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam, tidak boleh
tidak, harus terkait dengan tujuan hidup manusia. Manusia seperti apa yang
hendak dibentuk dan diinginkan oleh pendidikan Islam, jawabannya tergantung
kepada tujuan hidup yang hendak ditempuh oleh seorang muslim.
Dengan demikian pendidikan Islam sangat sesuai dengan harapan atau cita-cita
hidup manusia.
Meski demikian, manusia selaku makhluk yang berakal serta mempunyai
hawa nafsu tentu membutuhkan berbagai kebutuhan yang menjadi sarana dalam
meningkatkan taraf hidupnya. Dalam hal ini kehidupan materialis juga sangat
berharga dalam kelangsungan hidupnya. Bukan hal yang berlebihan apabila
dikatakan manusia rentan dengan gaya hidup yang sesuai dengan keadaan.
Sehingga para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat
kepada manusia. Predikat-predikat ini adalah sebagai berikut:
1.
Manusia
adalah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi pekerti.
2.
Manusia
adalah animale rationale, artinya binatang yang dapat berfikir.
3.
Manusia
adalah homo laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa.
4.
Manusia
adalah homo faber, artinya makhluk yang pandai membuat perkakas.
5.
Manusia
adalah zoon politicon, artinya makhluk yang pandai bekerjasama.
6.
Manusia
adalah homo economicus, artinya makhluk yang tunduk kepada
prinsip-prinsip ekonomi.
7.
Manusia
adalah makhluk homo religius, artinya makhluk yang beragama.
8.
Manusia
adalah homo planemanet, artinya makhluk yang terdiri dari unsur
ruhaniah-spritual.
9.
Manusia
adalah homo educandum (educable), artinya makhluk yang dapat menerima
pendidikan.
Dengan demikian berbagai kebutuhan
baik materi maupun non materi menjadi dasar berpijak untuk mencapai kehidupan
manusia. Dalam perkembangan manusia dari zaman ke zaman, maka nampak jelas
bagaimana kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia yang beraneka
ragam. Kebutuhan pokok manusia itu antara lain:
1.
Kebutuhan
Biologis
2.
Kebutuhan
Psikis
3.
Kebutuhan
Sosial
4.
Kebutuhan
agama (Spritual)
Namun terkadang, diantara manusia
ada yang sangat menomorsatukan materi sebagai tujuan akhir dari kehidupan. Sehingga
dengan tujuan yang demikian mengakibatkan tidak memikirkan aspek ketenangan
jiwa (rohani). Padahal Islam lebih cenderung untuk menegaskan perpaduan antara
kemampuan kejiwaan dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses
“mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran” menurut ukuran proses
hidup manusiawi dan bukan Ilahi.
Tugas utama pendidikan sesungguhnya
adalah mengubah (transform) potensi-potensi manusia menjadi
kemampuan-kemampuan atau ketrampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan
manusia. Potensi intelektual misalnya, tidak ada gunanya kalau hanya disimpan
di kepala. Ia akan menjadi berguna, manakal sudah diubah melalui proses
pendidikan, menjadi penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang ilmu
oengetahuan dan teknologi.
Sehingga orientasi sekuleritas nampak jelas disini sesuai dengan fokus yang
diharapkan dari tuntutan zaman serta penambahan displin ilmu.
Dewasa ini telah muncul suatu
fenomena yang perlu dicermati dengan serius. Pendidikan model Barat, pada satu
sisi, telah dapat mengeksploitasi potensi intelektual manusia sebesar-besarnya
sehingga melahirkan teknologi yang canggih. Namun pada sisi lain, pendidikan
model Barat telah melupakan aspek moral dan spritual yang ada pada diri
manusia. Akibatnya mereka mereka berhasil menciptakan manusia modern yang hidup
dalam dunia teknologi, tetapi jiwa mereka dihinggapi dan dilanda suatu krisis
yang disebut dengan krisis
moral-spritual.
Ini berdampak kepada terjadinya manusia
yang berfikiran maju namun hampa dengan nilai akhlak dan nilai religiusitas
(keagamaan) atau yang lebih populer dengan sekuleritas.
Hal ini telah terjadi bukan hanya di
negara Barat saja, bahkan telah menjalar ke dunia Timur termasuk di Indonesia
yang selama ini masih tetap konsisten dengan ajaran religiusitas. Yang menjadi
permasalahan yang krusial adalah bagaimana supaya kondisi ini segera diatasi
dengan menguatkan kembalai nilai-nilai spiritual bagi manusia pada umumnya dan
pelajar khususnya.
Berbicara mengenai spritualitas
dalam hal ini nilai-nilai keagamaan jauh-jauh hari sebelumnya Islam telah dulu
mengisyaratkan agar tetap menjadikan nilai-nilai spritualitas sebagai control
of power dalam bertindak dan berfikir. Keinginan yang berlebihan dalam
materi (sekularitas) sebaiknya diimbangi dengan nilai-nilai spritualitas.
Dibawah ini akan diketengahkan bagaimana Islam memberikah arahan yang sangat
jitu untuk menanggapi sekularitas.
Penekanan spritualitas dalam Islam
diawali dari prose tauhid dan menjalar kepada tuntunan Al-Quran dan dimanifestasikan
dengan ilmu dan akhlaqul karimah. Penekanan tauhid itu adalah mengenai
“ke-Tuhanan”. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam
menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan. Hal ini
merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadian manusia sebagaimana di
jelaskan dalam firman Allah:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
Juga di ayat lain :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)".
Kedua ayat itu menjelaskan bahwa
pada hakikatnya Tauhid (ke-Tuhanan) merupakan hal yang telah ada bagi manusia.
Fitrah itu ada seiring dengan diciptakannya manusia itu sendiri. Fitrah manusia
yang telah ditanamkan sejak dalam rahim terus berkembang sesuai dengan
fase-fase yang dilaluinya.
Lahirnya manusia ke atas dunia ini
tentunya mengalami berbagai perubahan sesuai dengan pendidikan yang
diterimanya. Sehingga berbagai permasalahan yang ada di muka bumi ini ada yang
bisa dicerna oleh akal fikiran dan ada juga yang tidak terjawab kecuali dengan
ajaran Islam.
B.
Integrasi
Ilmu untuk Konstruksi Kurikulum Pendidikan Islam.
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama
dan non agama, sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi
dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi, dikotomi tersebut tidak
menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga sistem
pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imperialisme.
Penyebab dikotomi ilmu ini ternyata
berdampak sampai ke dunia pendidikan termasuk pendidikan Islam. Nampaknya dikotomi
ilmu telah berhasil memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi
yang begitu ketat antara ilmu-ilmu agama dan sekuler, seperti yang telah
digambarkan di atas tentunya sangat disayangkan karena telah mengarah kepada
pemisahan yang tidak bisa dipertemukan lagi antara keduanya dan bahkan
cenderung pada penolakan keabsahan masing-masing dengan menggunakan metode yang
juga sangat berbeda dengan sudut jenis dan prosedurnya.
Menilik kepada persoalan di atas ditambah dengan tantangan zaman
yang selalu merongrong dinamika
pendidikan Islam, maka tidak ada tawar menawar kecuali merekonstruksi kurikulum
pendidikan berdasarkan integrasi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Satu sisi
pendidikan menyelamatkan nilai –nilai duniawi dan disisi lain pendidikan Islam
bertanggung jawab penuh akan nilai-nilai Islami. Yang menjadi acuan awal dalam
mengatasi ini adalah apa yang bernilai untuk diajarkan dan bagaimana model atau
cara untuk menyusunnya.
Salah satu tugas pokok filsafat pendidikan Islam adalah memberikan
kompas atau arah dan tujuan pendidikan Islam. Suatu tujuan kependidikan yang
hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dalam apa yang disebut
“kurikulum”. Kurikulumlah yang menjadi ujung tombak
perbaikan pendidikan sekaligus perobah sisi kehidupan untuk peserta didik di
masa mendatang.
Pendidikan Islam, akhir-akhir ini menghadapi banyak tantangan yang
berusaha mengancam keberadaannya. Tantangan tersebut merupakan bagian dari
sekian banyak tantangan global yang memerangi kebudayaan Islam.
Tantangan pertama adalah kebudayaaan Islam berhadapan dengan kebudayaan Barat
Abad ke-20. Jika tidak ada respons dari para pemikir muslim yang ikhlas dapat
meningkat menjadi ancaman bagi kebudayaan Islam, karena kebudayaan barat
didukung dengan buku-buku, televisi, radio, bioskop dan semisalnya yang
tersebar ke berbagai kalangan muslim.
Tantangan kedua bersifat intern, tampak pada kejumudan produktifitas pemikiran
keislaman dan upaya menghalangi produktivitas tersebut. Tantangan ini membuat
generasi muda muslim terpenjara dalam kebudayaan materialistis. Pendidikan
Islam mempunyai tugas untuk menegakkan prinsip “sampaikanlah yang benar” dan
menjunjung tinggi nilai dakwah berdasarkan pengetahuan, kesadaran, dan niat
yang kuat.
Tantangan ketiga, kebudayaan yang dimiliki sebagian pemuda muslim yang sedang
belajar di negeri asing, hanya kebudayaan asing. Jika mereka kembali ke negara
asal, mereka bisa meniru kebudayaan asing secara buta dan membawa filsafat
barat yang tidak sesuai dengan realitas dan warisan kebudayaan mereka.
Tantangan keempat, sistem kebudayaan Islam di sebagian negara muslim masih
terpaku pada metode tradisional dan kurang merespons perkembangan zaman secara
memadai agar generasi muda tidak berpaling kepada kemewahan kehidupan modern
dan kebudayaan barat. Kebudayaan Islam di negara-negara tersebut belum
membekali mereka dengan konsep Islam yang komprehensif tentang kehidupan islami
yang didasarkan atas ilmu, amal, akidah dan jihad. Konsep yang dimaksud adalah
bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan berbagai
persoalan dengan metode orisinal-elastis yang di satu sisi memelihara
dasar-dasar Islam dan di sisi yang lain memenuhi tuntutan zaman.
Tantangan kelima, kurikulum universitas di sebagian dunia Islam masih
mengabaikan kebudayaan Islam. Alasan mereka, karena universitas hanya bertugas
menghasilkan tenaga-tenaga terampil bagi masyarakat, sedangkan pembekalan
keagamaan menjadi tugas fakultas-fakultas keagamaan.
Tantangan keenam, berkenaan dengan pendidikan wanita muslimah. Perlu dilakukan
penelitian terhadap kekurangan pendidikan anak-anak putri. Karena di tangan ibu
terbentuk kepribadian generasi mendatang.
Tantangan-tantangan itu harus dibahas demi langgengnya operasional pendidikan
untuk generus bangsa.
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai
tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehenshif,
mencakup ilmu agama dan umum. Permasalahannya adalah bagaimana caranya
menetapkan prioritas ilmu pengetahuan yang perlu dituangkan ke dalam kurikulum
tersebut.
Sehingga kurikulum sarat dengan nilai sekularitas dan spritualitas.
Kesempurnaan manusia tidak tercapai
kecuali dengan menyerasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Demikian
pandangan Ibnu Sina dan Ikhwanussofa, juga Al-Farabi.
Berkaitan dengan itu Mulyadhi Kartanegara memberi konsep yang
berbeda dalam mengintegrasikan ilmu. Dalam integrasi ilmu itu prinsip utama
adalah konsep tauhid. Dikatakannya konsep tauhid tentu saja diambil dari
formulasi konvensional Islam. “la Ilaha Illallah” yang artinya “tiada Tuhan
selain Allah”. Dan seperti yang telah
dijelaskan diatas, ia telah menjadi prinsip paling dasardari ajaran Islam, dan
dalam kaitannya dengan concern kita tentang integrasi ilmu, telah menjadi
prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsp epistimologi Islam, sehingga ia
juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan
manusia.
Hal senada juga dinyatakan oleh Osman Bakar, dikatakannya bahwa
manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara
dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan Yanag Maha
Meengetahui. Menurut pandangan Al-Qur’an, pengetahuan manusia tentang
benda-benda maupun hal-hal tuhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya
fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan
Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan
berfikir dan mengetahui, akal manusia mendapat pencerahan dari Ilahi.
Dalam merekonstruksi pendidikan Islam, kurikulum sebuah pendidikan
senantiasa mengalami perkembangan dan pendidikan. Di dalam kurikulum tidak
dikenal adanya istilah selalu up to date. Kurikulum selalu mengalami perubahan
dan perkembangan, seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat. Akan tetapi, perubahan dan pengembangan kurikulum tidak selalu
diartikan secara total, tetapi sifatnya lebih merupakan revisi.
Di dalam merevisi atau membina sebuah kurikulum, ada empat asas yang perlu
diperhatikan, yaitu asas filosofis yang berkaitan dengan filsafat dan tujuan
pendidikan, asa psikologis yang menyangkut psikologi belajar dan psikologi
anak, asas sosiologi menyangkut perubahan dalam masyarakat, dan asas
organisatoris berkaitan dengan bentuk organisasi kurikulum. Dalam menata dan merekonstruksi kurikulum
maka keempat asas ini mesti diperhatikan agar kruikulum itu sesuai dan berdaya
saing tinggi bagi peserta didik.
Sementara itu, Noeng Muhajir, ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan, yaitu pendekatan akademik, pendekatan teknologik, dan pendekatan
humanistik.
Pendekatan akademik digunakan apabila suatu program pendidikan dimaksudkan
untuk mencetak disiplin ilmu tertentu, dalam arti membekali peserta didik
dengan sebuah spesialisasi. Disini program pendidikan diarahkan untuk
menumbuhkan fungsi kreatif peserta didik secara oprimal. Pendekatan teknologik
digunakan apabila sebuah program pendidikan bermaksud menghasilkan peserta
didik yang dapat melaksanakan tugas kerja yang diembannya. Pendekatan ini
biasanya digunakan bagi program pendidikan yang tugasnya menyiapkan tenaga
kerja profesional, seperti menjadi pilot, menjadi guru, atau menjadi
arsitektur. Sedangkan pendekatan humanistik, digunakan apabila program
pendidikan dimaksud bertujuan mengembangkan wawasan dan prilaku peserta didik
sesuai cita-cita ideal yang hendak dicapai. Jelasnya pendekatan akademik
digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian berdasarkan sistematika
disiplin ilmu, pendekatan teknologi untuk menyusun program pendidikan keahlian
yang bertolak dari analisis komptensi yang dibutuhkan untuk melaksanakantugas
tertentu, dan pendekatan humanistik digunakan untuk menyusun program pendidikan
keahlian yang bertolak dari ide “memanusiakan manusia”.
Dari pendekatan-pendekatan itu maka lembaga pendidikan yang akan mencetak
lulusan yang kompetitif mempunyai kemampuan melalui integrasi ilmu.
Konstruksi kurikulum yang dilandasi integrasi ilmu idealnya
terkombinasi dalam kurikulum pendidikan Islam. Sehingga kurikulum berfungsi
secara sendirinya dalam dinamika kehdupan manusia. Dengan fungsi seperti itu,
kurikulum pendidikan Islam memiliki lima ciri utama yang membedakannya dari
kurikulum secara umum. Pertama,
kurikulum pendidikan Islam menonjolkan dan mengutamakan agama dan akhlak dalam
berbagai tujuannya. Materi, metode, alat, dan tehnik pengajaran dalam kurikulum
pendidikan Islam semuanya bercorak agama. Kedua, cakupan dan kandungan
kurikulum pendidikan Islam bersifat luas dan menyeluruh. Kurikulum pendidikan
Islam seyogyanya merupakan cerminan dari semnagat, pemikiran dan ajaran Islam
bersifat universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, baik intelektual,
psikologis, sosial, dan spritual. Ketiga, kurikulum pendidikan Islam menerapkan
prinsip kesimbangan di dalam muatan keilmuannya, dan di dalam fungsi ilmu
pengetahuan, baik bagi pengembangan individu maupun bagi pengembangan
masyarakat. Keempat, kurikulum pendidikan Islam mencakup keseluruhan mata pelajaran
yang dibutuhkan peserta didik, baik yang sakral-keakhiratan maupun
profan-keduniaan. Kelima, kurikulum pendidikan Islam selalu disusun berdasakan
kesesuaian dengan minat dan bakat peserta didik.
Berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik di atas, kurikulum
pendidikan Islam dibuat dan disusun dengan mengikuti tujuah prinsip sebagai
berikut:
1.
Prinsip
pertautan dengan agama, dalam arti bahwa semua hal yang berkaitan dengan
kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode, dan lain-lain yang berlaku dalam
proses pendidikan Islam, senantiasa berdasar pada ajaran akhlak Islam.
2.
Prinsip
universal, maksudnya tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus
meliputi segala aspek bermanfaat, baik bagi peserta didik seperti pembinaan
akidah, akal, jasmani, maupun bagi masyarakat seperti perkembangan spritual,
kebudayaan, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
3.
Prinsip
keseimbangan di dalam tujuan kurikulum dengan kandungannya. Kurikulum
pendidikan Islam yang berdasar pada filsafat dan ajaran Islam senantiasa
menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang.
4.
Prinsip
keterhubungan kurikulum dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan peserta
didik, serta dengan lingkungan sosial yang menjadi tempat berinteraksi peserta
didik. Dengan prinsip ini, kurikulum pendidikan Islam bermaksud memelihara
keaslian peserta didik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
5.
Prinsip
memerhatikan perbedaan individu, agar kurikulum pendidikan Islam memiliki
relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakatnya.
6.
Prinsip
perkembangan dan perubahan, dalam arti bahwa kurikulum pendidikan Islam
senantiasa sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang memiliki nilai
maslahat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
7.
Prinsip
pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan
aktifivitas-aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. Pertautan ini
menjadi penting agar kurikulum pendidikan Islam senantiasa mengikuti
perkembangan zaman, yang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik dan
masyarakatnya.
Sehingga dengan prinsip – prinsip
itu maka disusunlah konstruksi baru dalam bentuk kurikulum dengan
mengintegrasikan ilmu umum untuk menjawab tantangan dunia dan ilmu agama dalam menumbuh
kembangkan spritual (jiwa).
C.
Konstruksi
Kurikulum
Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan memberi bekal sangat
diperlukan, untuk menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya dan dunia kerja.
Maka pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu upaya
memanusiakan manusia (humanis); mengembangkan potensi dasar agar siswa berani
dan mau mengahadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan; serta mau,
mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi sehingga
terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa, masyarakat, dan lingkungannya.
Dalam mencapai sasaran yang diinginkan dari pendidikan yang
berfokus kepada kurikulum dan juga untuk menjawab tantangan pendidikan
berdasarkan nilai sekularitas dan spritualitas, maka perlu diadakannya
rekonstruksi kurikulum kembali. Rekonstruksi ini dilakukan bukan berarti
menghilang kurikulum yang ada. Namun menambahnya dengan kapasitas yang
berkualitas. Untuk itu setidaknya ada tiga rekonstruksi kurikulum yang harus
diadakan:
1.
Merekonstruksi
kurikulum
2.
Kembali
kepada penekanan akhlaq kepada Allah dan Makhluk-Nya
3.
Penyetaraan
antara pelajaran agama dan umum.
Merekonstruksi kurikulum yang ada
itu merupakan sebuah keharusan. Perkembangan zaman yang multikompleks
seharusnya disikapi dan dijawab dalam kurikulum. Setidaknya 3 tahun sekali
kurikulum harus direkonstruksi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam merekanstruksi
kurikulum, maka setiap sekolah idealnya wajib memberikan masukan yang
bermanfaat terhadap kondisi yang terjadi dan berkembang dimana lembaga
pendidikan itu berada. Misalkan saja; apabila terjadi krisis khatib, maka dalam
pelajaran agama harus memasukkan kurikulum pembibitan khatib. Begitu juga
tentang bilal mayit, muazzin, dan hal-hal yang dianggap mulai berkurang di
tengah-tengah masyarakat.
Disamping itu penekanan akhlaq harus
menjadi penekanan yang serius. Sebab titik tolak perbaikan nilai kemanusiaan
baik bersifat duniawi maupun ukhrawi terletak dalam penekanan akhlaq. mungkin
inilah yang dimaksudkan dengan pendidikan berkarakter. Semua mata pelajaran
selalu dikaitkan dengan karakter yang akan di capai setelah pembelajaran.
Sehingga muncul suatu asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang sepanjang
kehidupannya membutuhkan orang lain, selalu bersama, berinteraksi dan bekerja
sama.
Penyetaraan antara pelajaran agama
dan pelajaran umum dalam setiap sekolah atau madrasah diras sangat perlu. Hal
ini akan berdampak kepada perbaikan nilai-nilai ilmu umum dan ilmu agama bagi
anak didik. Kedangkalan ilmu agama akan menyebabkan anak alergi terhadap agama,
sebalaiknya kedangkalan ilmu umum akan berdampak juga ketakutan untuk masuk ke
jenjang pendidikan yang bermuatan ilmu umum. Namun apabila kesetaraan itu
terlaksana, maka secara tidak langsung kurkulum akan mencetak pelajar-pelajar
yang siap pakai dan faham tentang nilai-nilai agama (spritualisasi) dan
kehidupan nyata (sekularitas).
KESIMPULAN
1.
Sekularitas
dan Spritualitas merupakan dua hal yang harus tetap bagi setiap muslim yang
dipadukan dalam desain integrasi ilmu.
2.
Menjawab
tantangan sekularitas maka dibutuhkan kurikulum dalam pendidikan Islam itu
dengan ilmu-ilmu umum, sedangkan untuk spritualitas dibutuhkan dengan ilmu-ilmu
agama sehingga integrasi ilmu umum dan ilmu agama terintegrasi dalam sebuah
wadah kurikulum pendidikan Islam.
3.
Dalam
rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal terlebih dahulu
memperhatikan aspek pendekatan, prinsip serta kebutuhan masyarakat ke depan.
4.
Pemerintah
dalam hal ini lembaga pendidikan harus menempatkan kurikulum sebagaia acuan
dasar dalam operasional pembelajaran sehingga anak bangsa mempunyai dedikasi
intelektual religius dan intelektual teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
REVISI
MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
SEKULARITAS
DAN SPRITUALITAS:
MENCARI FORMAT
INTEGRASI ILMU UNTUK
KONSTRUKSI
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
Abdusima Nasution
NIM. 3122273
Program Doktor Pendidikan Islam
Dosen Pengasuh Mata Kuliah:
DR. AL-RASYIDIN, M.Ag
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
MEDAN SUMATERA UTARA
MEDAN
2013