RE-COVERY “JATI DIRI” PERGURUAN TINGGI
Oleh:
Abdusima
Nasution, S.Ag.,MA
(Ketua
Prodi PAI STIT HASIBA)
Perguruan
tinggi merupakan lembaga pendidikan tertinggi dalam menetaskan putra-putri
terbaik bangsa guna mengelola dan
mengisi berbagai kekosongan generasi mendatang. Sebagai lembaga pendidikan tertinggi,
suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa perguruan tinggi
berkewajiban menunjung tinggi nilai-nilai akademis sekaligus membenahi diri
demi tercapainya perguruan tinggi yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan
serta kebutuhan masyarakat luas.
Dalam
mewujudkan cita-cita untuk mencapai kemajuan kedepan, maka hal yang pertama sekali
dilakukan adalah mengukur (evaluation) kembali kegiatan-kegiatan yang telah
berjalan dilanjutkan dengan memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang ada sehingga perbaikan itu
berusaha untuk meninkatkan kualitas kampus di masa mendatang. Kalau sekiranya
kegiatan ini tidak terlaksana, maka jadilah lembaga itu sebagai lembaga yang
jalan di tempat. Untuk itu perlu adanya re-covery (menemukan kembali)
jati diri perguruan tinggi itu.
Re-covery penting dilakukan dikarenakan perjalanan suatu
lembaga pendidikan tinggi yang
normal-normal saja tidak akan mendapatkan hakikat dari kualitas yang ideal,
harapan serta konsep mulia dari sebuah lembaga pendidikan tinggi itu. Dan
apabila hal ini tidak dilakukan, maka lambat-laun perguruan tinggi itu akan
kehilangan “Jati diri” nya. Perguruan tinggi yang biasa itu lumrah, tapi
menjadikan perguruan tinggi yang luar biasa itu merupakan keharusan.
Dalam
rangka re-covery (menemukan kembali) jati diri perguruan tinggi itu,
maka idealnya sebuah perguruan tinggi wajib melakukan dan mengaplikasikan konsep-konsep sebagai berikut:
1.
RE-ACTUALISASI TRADISI ILMIAH
Re-actualisasi tradisi ilmiah mengandung arti “menghidupkan kembali
budaya-budaya yang ada dalam kehidupan kampus”. Termasuk di dalamnya
memaksimalkan sistem perkuliahan, sistem administrasi, karya tulis, budaya
membaca, menganalisis buku serta menyelenggarakan
kegiatan ilmiah, dan juga kegiatan yang mengacu kepada kepekaan terhadap
pemerintahan, masyarakat dan lingkungan yang intinya mencari ilmu dan kebenaran.
Re-actualisasi tradisi ilmiah ini meskipun terkadang kurang diminati karena
keterbatasan wawasan dan sarana prasarana lainnya termasuk finansial , namun
pada hakikatnya re-actualisasi ilmiah ini akan menumbuh-kembangkan ilmu
yang cinta akan kebenaran. “Dalam pencarian ilmu ini kita haruslah kebenaran,
bukan misalnya tradisi atau otoritas apapun. Sekalipun guru kita yang
mengatakannya, kalau ternyata pernyataannya itu keliru, maka kita harus
mengkritiknya, dalam arti membetulkannya. Ketika ditanya bagaimana tingkat
kecintaannya kepada gurunya (Plato), Aristoteles mengatakan bahwa “semua orang
tahu betapa besarnya cintaku kepada guruku, Plato, tetapi kebenarnan masih
lebih aku cintai daripada guru.” Semangat mencari kebenaran seperti inilah yang
memungkinkan terjadinya kemajuan dan juga penemuan-penemuan (inovasi) dalam
ilmu pengetahuan. Motivasi yang rendah tidak mampu menciptakan sikap kritis
yang sangat diperlukan bagi terciptanya kemajuan-kemajuan teoritis dan penemuan
inovatif.”[1]
Sehingga betul apa yang dinyatakan Al-Kindi “Kebenaran, darimanapun asalnya
patut kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai oleh pencari kebenaran
daripada kebenaran itu sendiri.”[2]
Cara-cara dalam menemukan kebenaran itu tidak akan didapatkan kecuali
melalui tradisi ilmiah dalam dunia perguruan tinggi. Oleh sebab itu, perguruan
tinggi wajib menghidupkan tradisi ilmiah guna menghasilkan sarjana yang
diharap-harapkan oleh masyarakat. Sebab, masyarakat sangat mengharapkan
kedatangan sarjana-sarjana yang berkualitas.
2.
RE-FORMASI MEKANISME
Mekanisme perguruan tinggi dalam pengelolaannya, merupakan titik sentral bagi mahasiswa guna proses kelancaran akademis. Baik
buruknya tatalaksana pengelolaan sangat menentukan antusias pencari ilmu
(mahasiswa) dalam menyelesaikan proses perkuliahan. Tatanan yang telah
ditetapkan melalui aturan baku harus dijalankan dengan segenap konsekwensi yang
ada.
Perjalanan sistem pengelolaan perguruan tinggi tidak serta merta statis,
namun harus dinamis sesuai dengan perkembangan dan menyahuti kebutuhan
mahasiswa. Ciptakanlah suasana mekanisme yang berprilaku pelayanan prima. Namun
mekanisme yang ada jangan disalah tafsirkan sebagai wahana dan cara untuk
merusak sistem akademis. “Faktor khusus
penyebab kegagalan pendidikan lebih mengacu kepada prosedur dan aturan yang
tidak diikuti dengan baik.”[3]
Aturan dan prosedur itu idealnya difahami secara bersama oleh pengelola dan
juga mahasiswa. Dalam memahami aturan dan prosedural itu tidak ada saling
mengambil kesilapan, baik mahasiswa maupun pengelola. Harus ada titik jelas
bagi kedua unsur itu sehingga segala hal yang berkaitan dengan prosedur bisa
dijalankan seirama dan saling suka sama suka.
Suatu kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi, apabila adanya unsur
menghilangkan “pelayanan prima” dalam mekanisme dan prosedural. Kalau sempat
ini terjadi, maka akan berdampak kepada ketidak harmonisan dalam lembaga
pendidikan itu. Mahasiswa tahu aturan, pengelola faham kondisi mahasiswa.
Inilah yang menjadi modal dasar dalam menciptakan suasana akademis yang
beriklim sejuk.
Sebagai cara yang sangat ampuh digunakan dalam mere-formasi mekanisme
adalah dengan memberikana layanan yang mudah dan tidak berbelit-belit. Termasuk
di dalamnya yang berkaitan dengan finansial. Segala bentuk pembayaran seharus
tidak harus melalui sistem manual. Bisa saja dilakukan melalui mengefektifkan
biro keuangan resmi yang dihunjuk, seperti Bank. Dengan cara seperti ini akan
melatih mahasiswa untuk berinteraksi dengan lembaga lain yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Segala biaya-biaya perkuliahan disetor ke Bank yang
telah dihunjuk resmi oleh pengelola pendidikan. Bukti-bukti pembayaran akan
dikelola oleh pengelola perguruan tinggi sebagai syarat utama proses
perkuliahan. Sebab di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, semua proses
keuangan (finansial) tidak ada lagi menggunakan sistem manual, semua sudah
menggunakan sistem Bank-ing.
Demikian juga sistem administrasi lainnya, semua harus menggunakan
komputerisasi sebagai bukti bahwa Indonesia bukan lagi negara yang kolot.
Jadikanlah sarana media up tu date terkini. Idealnya secara tidak
langsung mahasiswa harus diperkenalkan dengan komputerisasi dari seluruh aspek
akademiknya.
3.
RE- STANDARDISASI MUTU
Kembali memahami standar mutu, hal yang utama dilakukan adalah meletakkan
fungsi dan menjadikan unsur-unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu sebagai
komunitas yang harus dihargai dan ditingkatkan. Standar mutu itu harus menjadi
salah satu fokus utama dalam mengembangkan lembaga pendidikan. Mutu sangat
berkaitan erat dengan usaha maksimal yang harus ditempuh untuk mencapai
kualitas yang lebih baik.
Namun harus difahami, bahwa mutu tidak bisa ditingkatkan hanya dengan
kinerja dan kreatifitas yang biasa-biasa saja. Pemerintah melalui
program-program yang dilaksanakan berusaha untuk memperbaiki melalui mekanisme
yang diatur dalam keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Akreditasi
yang telah diwajibkan bagi perguruan tinggi merupakan salah satu cara untuk
mendobrak ketertingggalan kualitas selama ini.
Akreditasi itu bukan hanya selembar pengakuan saja, namun dalam
akreditasi tertanam berbagai tanggung jawab perguruan tinggi untuk meningkatkan
mutu, baik kualitas, kuantitas hingga keuangan. Baru-baru ini, Dikti telah
memberlakukan data Emis bagi seluruh dosen dan mahasiswa. Ini memberikan signal
bahwa pemerintah akan berusaha meningkatkan mutu perguruan tinggi baik yang ada
di perkotaan maupun di pelosok.
Usaha pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan tinggi telah dilakukan
dengan mengucurkan berbagai bantuan baik bagi mahasiswa maupun lembaga
pendidikanya. Dengan tujuan agar mahasiswa dan lembaga pendidikannya terbantu
dalam meningkatkan mutu akademiknya. Semuanya ikut merasakan, tinggal lagi
seberapa besar kemauan untuk meningkatkan mutu pendidikan itu. Kucuran dana
yang besar bagi perguruan tinggi yang diluncurkan oleh pemerintah bukan hal
yang Cuma-Cuma, tetapi pemerintah akan meminta feed back dengan tagihan out
put (hasil) pendidikan yang bermutu. Sah-sah saja apabila dikatakan bahwa
untuk meningkatkan mutu itu membutuhkan
usaha dan biaya yang sangat mahal.
Salah satu faktor penunjang utama meningkatnya mutu pendidikan tinggi itu
adalah mutu para dosennya. Idealnya perguruan tinggi tidak lagi memperbolehkan
dosen yang mengasuh mata kuliah bersatatus s1. Dalam menjawab tantangan ini,
maka sebaiknya para pengajar dalam meningkatkan mutunya harus terus
meningkatkan ilmunya melalui belajar di berbagai perguruan tinggi resmi ke jenjang
yang lebih tinggi.
Setiap dosen yang mengajar di strata satu (S-1) minimal harus S-2. Untuk
itu para dosen terus dipacu agar bersemangat melanjutkan stratanya. Namun, untuk
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka dosen harus mempersiapkan kemampuan finansialnya dalam mengikuti
perkuliahan yang jenjangnya lebih tinggi seperti s2 dan s3. Banyaknya
pengorbanan yang ditempuh dalam meningkatkan kualitasnya dosen baik dari
segi waktu, tenaga, maupun finansial
merupakan sebuah wujud pengorbanan yang harus difahami oleh perguruan tinggi.
Idealnya perguruan tinggi yang bercita-cita meningkatkan kualitasnya wajib
mengapresisasi pengorbanan itu. Suatu ungkapan yang wajar apabila dikatakan
bahwa Ilmu itu mahal, seiring dengan mahalnya mutu/kualitas akademiknya.
Kesemuanya itu harus dilakukan oleh dosen agar mutu dan kualitas
perguruan tingggi itu terangkat dan bersinerji. Prof. Dr. H. Tb. Achyani
Atmakusuma mengatakan: “Untuk mendapatkan dan membentuk dosen yang berkualitas,
setiap PTS haruslah menginvestasikan dana khusus bagi pembinaan dosen disamping
harus pula memperhatikan gaji mereka. Gaji yang tinggi tidak hanya sebagai alat
untuk memotivasi para dosen, tapi justru akan berbanding lurus dengan masalah
pelayanan dan pengabdian mereka kepada peserta didik.”[4]
Nominal yang diberikan bagi dosen yang berusaha meningkatkan mutunya ke strata
yang lebih tinggi, bukanlah sebuah
pemaksaan, tetapi identik dengan penghargaan bagi diri dosen yang
diberikan atas keinginan dalam meningkatkan mutu dan kualitasnya dan juga
sebagai motivasi bagi dosen lainnya agar terpacu untuk
meningkatkan mutu/kualitasnya. Tidaklah sama kualitas antara dosen
S-1, S-2, dan S-3 itu, tetapi setidaknya ada nilai plus yang diberikan sang
dosen yang berstrata tinggi. Bukankah al-Qur’an itu sendiri meninggikan
orang-orang yang beriman dan berilmu?
4.
RE-VISI TOTALITAS
Mengulang dalam memperbaiki ke arah yang lebih baik itu penting. Tetapi
lebih penting lagi memperbaiki objek dan
individunya. Mengulang kembali tatanan seluruh unsur, baik mekanisme,
aturan, keuangan, fungsi serta meletakkan kembali dasar akademik yang ideal
merupakan perbaikan secara total. Berbicara tentang re-visi totalitas
sebenarnya harus membicarakan tentang, kurikulum, sistematika, konsep, serta
dimensi yang berkaitan dengan peningkatan mutu.
Dr. Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd mengatakan: :Demi Waktu dan hari esok,
tiada sesuatu pun yang tidak berubah, karena hari kemarin tidak mungkin
kembali, dan esok tiada yang pasti. Pembaharuan pada hakikatnya merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan hidup dan penghidupan. Apa yang
berbeda dalam setiap langkah dan prospek pembaharuan yang akan datang, akan
semakin cepat dan mempengaruhi setiap bagian dari kehidupan, termasuk
nilai-nilai kepribadian, kesusilaan, kedaerahan, baik secara individu maupun
kelompok.”[5]
Dalam menata kinerja, maka sumbernya
adalah kekuatan budaya kerja, pembaharuan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan
kinerja yang profesional. Hal ini mengingat sumber kekuatan tekonologi dapat
bersumber dari otomatisasi sistem, komputerisasi, atau merekayasa kembali.
Mempersiapkan dan mengoperasikan sistem harus dengan skill yang memadai.
Kurikulum juga merupakan fokus utama yang harus diperhatikan. Kurikulum
diusahakan mampu menjawab kebutuhan masyarakat selaku konsumen product lembaga
pendidikan. Dalam kurikulum harus diadakan perbaikan kembali guna menyesuaikan
dengan kebutuhan akademik yang standard. Standardisasi kurikulum perguruan
tinggi nasional merupakan acuan dasar kurikulum.
Sebenarnya banyak hal yang harus ditinjau kembali selain unsur-unsur di
atas selain kurikulum, kinerja, profesionalitas kerja, dan lingkungan. Kalau
dilihat dari kaca mata akademis pada dasarnya peninjauan kembali harus dilihat
sejak dari perekrutan mahasiswa, proses administrasi, perkuliahan, ujian,
hingga pelaksanaan trilogi perguruan tinggi seperti kegiatan akademis bagi
masyarakat dan lembaga pendidikan tempat terlaksanannya program-program
lapangan.
Semoga re-covery ini menjadi cerminan dalam melangkah demi
perbaikan ke depan. Insan akademis
adalah insan yang dinamis dalam menerima perubahan demi perbaikan mutu,
kualitas serta kuantitas. Jadikanlah perguruan tinggi sebagai payung di kala
hujan, air di kala dahaga, dan cahaya di kala gelap. Ingatlah firman Allah Swt
:
“Sesungguhnya Allah
tidak merobah Keadaan
sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.”
Daftar
Pustaka
Al-Qur’anul
Kariem.
Al-Faruqi,
Isma’il R. & Lois Lamya’ al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New
York: MacMillan Publishing Company, 1986.
Atmakusuma,
Achyani. Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan.
Jakarta: Dasamedia, 1993.
Irianto, Yoyon
Bahtiar. Kebijakan Pembaharuan
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi
Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
Syafaruddin. Efektifitas Kebijakan Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta:
Baitul Ihsan, 2006), h. 50-51
[2]
Isma’il R. Al-Faruqi & Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of
Islam (New York: MacMillan Publishing Company, 1986), h. 240
[3][3]
Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), h. 31
[4]
Achyani Atmaksusma, Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh
Pendidikan, (Jakarta: Dasamedia, 1993), h. 290.
[5]
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 15
[6]
Q.S. Ar-Ra’d/31:11