Rabu, 21 Mei 2014

RE-COVERY "JATI DIRI" PERGURUAN TINGGI



RE-COVERY  “JATI DIRI” PERGURUAN TINGGI
Oleh:
Abdusima Nasution, S.Ag.,MA
(Ketua Prodi PAI STIT HASIBA)
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan tertinggi dalam menetaskan putra-putri terbaik bangsa guna  mengelola dan mengisi berbagai kekosongan generasi mendatang. Sebagai lembaga pendidikan tertinggi, suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa perguruan tinggi berkewajiban menunjung tinggi nilai-nilai akademis sekaligus membenahi diri demi tercapainya perguruan tinggi yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan serta kebutuhan masyarakat luas.
Dalam mewujudkan cita-cita untuk mencapai kemajuan  kedepan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah mengukur (evaluation) kembali kegiatan-kegiatan yang telah berjalan dilanjutkan dengan memperbaiki kelemahan dan  kekurangan yang ada sehingga perbaikan itu berusaha untuk  meninkatkan  kualitas kampus di masa mendatang. Kalau sekiranya kegiatan ini tidak terlaksana, maka jadilah lembaga itu sebagai lembaga yang jalan di tempat. Untuk itu perlu adanya re-covery (menemukan kembali) jati diri perguruan tinggi itu.
Re-covery  penting dilakukan dikarenakan perjalanan suatu lembaga pendidikan tinggi  yang normal-normal saja tidak akan mendapatkan hakikat dari kualitas yang ideal, harapan  serta konsep mulia dari  sebuah lembaga pendidikan tinggi itu. Dan apabila hal ini tidak dilakukan, maka lambat-laun perguruan tinggi itu akan kehilangan “Jati diri” nya. Perguruan tinggi yang biasa itu lumrah, tapi menjadikan perguruan tinggi yang luar biasa itu merupakan keharusan.
Dalam rangka re-covery (menemukan kembali) jati diri perguruan tinggi itu, maka idealnya sebuah perguruan tinggi wajib melakukan dan mengaplikasikan  konsep-konsep sebagai  berikut:
1.     RE-ACTUALISASI TRADISI ILMIAH
Re-actualisasi tradisi ilmiah mengandung arti “menghidupkan kembali budaya-budaya yang ada dalam kehidupan kampus”. Termasuk di dalamnya memaksimalkan sistem perkuliahan, sistem administrasi, karya tulis, budaya membaca, menganalisis buku serta  menyelenggarakan kegiatan ilmiah, dan juga kegiatan yang mengacu kepada kepekaan terhadap pemerintahan, masyarakat dan lingkungan yang intinya  mencari ilmu dan kebenaran.
Re-actualisasi tradisi ilmiah ini meskipun terkadang kurang diminati karena keterbatasan wawasan dan sarana prasarana lainnya termasuk finansial , namun pada hakikatnya re-actualisasi ilmiah ini akan menumbuh-kembangkan ilmu yang cinta akan kebenaran. “Dalam pencarian ilmu ini kita haruslah kebenaran, bukan misalnya tradisi atau otoritas apapun. Sekalipun guru kita yang mengatakannya, kalau ternyata pernyataannya itu keliru, maka kita harus mengkritiknya, dalam arti membetulkannya. Ketika ditanya bagaimana tingkat kecintaannya kepada gurunya (Plato), Aristoteles mengatakan bahwa “semua orang tahu betapa besarnya cintaku kepada guruku, Plato, tetapi kebenarnan masih lebih aku cintai daripada guru.” Semangat mencari kebenaran seperti inilah yang memungkinkan terjadinya kemajuan dan juga penemuan-penemuan (inovasi) dalam ilmu pengetahuan. Motivasi yang rendah tidak mampu menciptakan sikap kritis yang sangat diperlukan bagi terciptanya kemajuan-kemajuan teoritis dan penemuan inovatif.”[1] Sehingga betul apa yang dinyatakan Al-Kindi “Kebenaran, darimanapun asalnya patut kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.”[2]
Cara-cara dalam menemukan kebenaran itu tidak akan didapatkan kecuali melalui tradisi ilmiah dalam dunia perguruan tinggi. Oleh sebab itu, perguruan tinggi wajib menghidupkan tradisi ilmiah guna menghasilkan sarjana yang diharap-harapkan oleh masyarakat. Sebab, masyarakat sangat mengharapkan kedatangan sarjana-sarjana yang berkualitas.

2.     RE-FORMASI MEKANISME
Mekanisme perguruan tinggi dalam  pengelolaannya, merupakan titik sentral bagi  mahasiswa guna proses kelancaran akademis. Baik buruknya tatalaksana pengelolaan sangat menentukan antusias pencari ilmu (mahasiswa) dalam menyelesaikan proses perkuliahan. Tatanan yang telah ditetapkan melalui aturan baku harus dijalankan dengan segenap konsekwensi yang ada.
Perjalanan sistem pengelolaan perguruan tinggi tidak serta merta statis, namun harus dinamis sesuai dengan perkembangan dan menyahuti kebutuhan mahasiswa. Ciptakanlah suasana mekanisme yang berprilaku pelayanan prima. Namun mekanisme yang ada jangan disalah tafsirkan sebagai wahana dan cara untuk merusak sistem akademis.  “Faktor khusus penyebab kegagalan pendidikan lebih mengacu kepada prosedur dan aturan yang tidak diikuti dengan baik.”[3] Aturan dan prosedur itu idealnya difahami secara bersama oleh pengelola dan juga mahasiswa. Dalam memahami aturan dan prosedural itu tidak ada saling mengambil kesilapan, baik mahasiswa maupun pengelola. Harus ada titik jelas bagi kedua unsur itu sehingga segala hal yang berkaitan dengan prosedur bisa dijalankan seirama dan saling suka sama suka.
Suatu kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi, apabila adanya unsur menghilangkan “pelayanan prima” dalam mekanisme dan prosedural. Kalau sempat ini terjadi, maka akan berdampak kepada ketidak harmonisan dalam lembaga pendidikan itu. Mahasiswa tahu aturan, pengelola faham kondisi mahasiswa. Inilah yang menjadi modal dasar dalam menciptakan suasana akademis yang beriklim sejuk.
Sebagai cara yang sangat ampuh digunakan dalam mere-formasi mekanisme adalah dengan memberikana layanan yang mudah dan tidak berbelit-belit. Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan finansial. Segala bentuk pembayaran seharus tidak harus melalui sistem manual. Bisa saja dilakukan melalui mengefektifkan biro keuangan resmi yang dihunjuk, seperti Bank. Dengan cara seperti ini akan melatih mahasiswa untuk berinteraksi dengan lembaga lain yang ada di tengah-tengah masyarakat. Segala biaya-biaya perkuliahan disetor ke Bank yang telah dihunjuk resmi oleh pengelola pendidikan. Bukti-bukti pembayaran akan dikelola oleh pengelola perguruan tinggi sebagai syarat utama proses perkuliahan. Sebab di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, semua proses keuangan (finansial) tidak ada lagi menggunakan sistem manual, semua sudah menggunakan sistem Bank-ing.
Demikian juga sistem administrasi lainnya, semua harus menggunakan komputerisasi sebagai bukti bahwa Indonesia bukan lagi negara yang kolot. Jadikanlah sarana media up tu date terkini. Idealnya secara tidak langsung mahasiswa harus diperkenalkan dengan komputerisasi dari seluruh aspek akademiknya.

3.     RE- STANDARDISASI MUTU
Kembali memahami standar mutu, hal yang utama dilakukan adalah meletakkan fungsi dan menjadikan unsur-unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu sebagai komunitas yang harus dihargai dan ditingkatkan. Standar mutu itu harus menjadi salah satu fokus utama dalam mengembangkan lembaga pendidikan. Mutu sangat berkaitan erat dengan usaha maksimal yang harus ditempuh untuk mencapai kualitas yang lebih baik.
Namun harus difahami, bahwa mutu tidak bisa ditingkatkan hanya dengan kinerja dan kreatifitas yang biasa-biasa saja. Pemerintah melalui program-program yang dilaksanakan berusaha untuk memperbaiki melalui mekanisme yang diatur dalam keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Akreditasi yang telah diwajibkan bagi perguruan tinggi merupakan salah satu cara untuk mendobrak ketertingggalan kualitas selama ini.   
Akreditasi itu bukan hanya selembar pengakuan saja, namun dalam akreditasi tertanam berbagai tanggung jawab perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu, baik kualitas, kuantitas hingga keuangan. Baru-baru ini, Dikti telah memberlakukan data Emis bagi seluruh dosen dan mahasiswa. Ini memberikan signal bahwa pemerintah akan berusaha meningkatkan mutu perguruan tinggi baik yang ada di perkotaan maupun di pelosok.
Usaha pemerintah dalam memperbaiki mutu pendidikan tinggi telah dilakukan dengan mengucurkan berbagai bantuan baik bagi mahasiswa maupun lembaga pendidikanya. Dengan tujuan agar mahasiswa dan lembaga pendidikannya terbantu dalam meningkatkan mutu akademiknya. Semuanya ikut merasakan, tinggal lagi seberapa besar kemauan untuk meningkatkan mutu pendidikan itu. Kucuran dana yang besar bagi perguruan tinggi yang diluncurkan oleh pemerintah bukan hal yang Cuma-Cuma, tetapi pemerintah akan meminta feed back dengan tagihan out put (hasil) pendidikan yang bermutu. Sah-sah saja apabila dikatakan bahwa untuk meningkatkan  mutu itu membutuhkan usaha dan biaya yang sangat mahal.
Salah satu faktor penunjang utama meningkatnya mutu pendidikan tinggi itu adalah mutu para dosennya. Idealnya perguruan tinggi tidak lagi memperbolehkan dosen yang mengasuh mata kuliah bersatatus s1. Dalam menjawab tantangan ini, maka sebaiknya para pengajar dalam meningkatkan mutunya harus terus meningkatkan  ilmunya melalui belajar  di berbagai perguruan tinggi resmi ke jenjang yang lebih tinggi.
Setiap dosen yang mengajar di strata satu (S-1) minimal harus S-2. Untuk itu para dosen terus dipacu agar bersemangat melanjutkan stratanya. Namun, untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka dosen harus mempersiapkan  kemampuan finansialnya dalam mengikuti perkuliahan yang jenjangnya lebih tinggi seperti s2 dan s3. Banyaknya pengorbanan yang ditempuh dalam meningkatkan kualitasnya dosen baik dari segi  waktu, tenaga, maupun finansial merupakan sebuah wujud pengorbanan yang harus difahami oleh perguruan tinggi. Idealnya perguruan tinggi yang bercita-cita meningkatkan kualitasnya wajib mengapresisasi pengorbanan itu. Suatu ungkapan yang wajar apabila dikatakan bahwa Ilmu itu mahal, seiring dengan mahalnya mutu/kualitas akademiknya.
Kesemuanya itu harus dilakukan oleh dosen agar mutu dan kualitas perguruan tingggi itu terangkat dan bersinerji. Prof. Dr. H. Tb. Achyani Atmakusuma mengatakan: “Untuk mendapatkan dan membentuk dosen yang berkualitas, setiap PTS haruslah menginvestasikan dana khusus bagi pembinaan dosen disamping harus pula memperhatikan gaji mereka. Gaji yang tinggi tidak hanya sebagai alat untuk memotivasi para dosen, tapi justru akan berbanding lurus dengan masalah pelayanan dan pengabdian mereka kepada peserta didik.”[4] Nominal yang diberikan bagi dosen yang berusaha meningkatkan mutunya ke strata yang lebih tinggi,  bukanlah sebuah pemaksaan, tetapi identik dengan penghargaan bagi diri dosen yang diberikan atas keinginan dalam meningkatkan mutu dan kualitasnya dan juga sebagai motivasi bagi dosen lainnya agar terpacu untuk meningkatkan mutu/kualitasnya. Tidaklah sama kualitas  antara  dosen S-1, S-2, dan S-3 itu, tetapi setidaknya ada nilai plus yang diberikan sang dosen yang berstrata tinggi. Bukankah al-Qur’an itu sendiri meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu?

4.     RE-VISI  TOTALITAS
Mengulang dalam memperbaiki ke arah yang lebih baik itu penting. Tetapi lebih penting lagi memperbaiki objek dan  individunya. Mengulang kembali tatanan seluruh unsur, baik mekanisme, aturan, keuangan, fungsi serta meletakkan kembali dasar akademik yang ideal merupakan perbaikan secara total. Berbicara tentang re-visi totalitas sebenarnya harus membicarakan tentang, kurikulum, sistematika, konsep, serta dimensi yang berkaitan dengan peningkatan mutu.
Dr. Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd mengatakan: :Demi Waktu dan hari esok, tiada sesuatu pun yang tidak berubah, karena hari kemarin tidak mungkin kembali, dan esok tiada yang pasti. Pembaharuan pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan hidup dan penghidupan. Apa yang berbeda dalam setiap langkah dan prospek pembaharuan yang akan datang, akan semakin cepat dan mempengaruhi setiap bagian dari kehidupan, termasuk nilai-nilai kepribadian, kesusilaan, kedaerahan, baik secara individu maupun kelompok.”[5]
Dalam menata  kinerja, maka sumbernya adalah kekuatan budaya kerja, pembaharuan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan kinerja yang profesional. Hal ini mengingat sumber kekuatan tekonologi dapat bersumber dari otomatisasi sistem, komputerisasi, atau merekayasa kembali. Mempersiapkan dan mengoperasikan sistem harus dengan skill yang memadai.
Kurikulum juga merupakan fokus utama yang harus diperhatikan. Kurikulum diusahakan mampu menjawab kebutuhan masyarakat selaku konsumen product lembaga pendidikan. Dalam kurikulum harus diadakan perbaikan kembali guna menyesuaikan dengan kebutuhan akademik yang standard. Standardisasi kurikulum perguruan tinggi nasional merupakan acuan dasar kurikulum.
Sebenarnya banyak hal yang harus ditinjau kembali selain unsur-unsur di atas selain kurikulum, kinerja, profesionalitas kerja, dan lingkungan. Kalau dilihat dari kaca mata akademis pada dasarnya peninjauan kembali harus dilihat sejak dari perekrutan mahasiswa, proses administrasi, perkuliahan, ujian, hingga pelaksanaan trilogi perguruan tinggi seperti kegiatan akademis bagi masyarakat dan lembaga pendidikan tempat terlaksanannya program-program lapangan.
Semoga re-covery ini menjadi cerminan dalam melangkah demi perbaikan ke depan.  Insan akademis adalah insan yang dinamis dalam menerima perubahan demi perbaikan mutu, kualitas serta kuantitas. Jadikanlah perguruan tinggi sebagai payung di kala hujan, air di kala dahaga, dan cahaya di kala gelap. Ingatlah firman Allah Swt :
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 [6]
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka  merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”



Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Kariem.

Al-Faruqi, Isma’il R. & Lois Lamya’ al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New York: MacMillan Publishing Company, 1986.

Atmakusuma, Achyani. Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan. Jakarta: Dasamedia, 1993.

Irianto, Yoyon Bahtiar.  Kebijakan Pembaharuan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.

Syafaruddin.  Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.



[1] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h. 50-51
[2] Isma’il R. Al-Faruqi & Lois Lamya’ al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: MacMillan Publishing Company, 1986), h. 240
[3][3] Syafaruddin, Efektifitas Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 31
[4] Achyani Atmaksusma, Pendidikan Indonesia Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan, (Jakarta: Dasamedia, 1993), h. 290.
[5] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 15
[6] Q.S. Ar-Ra’d/31:11

TURUN SEDIKIT....



TURUN SEDIKIT……
Lihatlah betapa indahnya susunan cakrawala
Planet berputar seiring  seirama
Tidak saling mendahului dan tidak pula saling merebut orbitnya
Berjalan….berputar…bersusun ….dan selalu menjaga tempatnya

Turun sedikit….
Lihatlah betapa indahnya susunan bumi
Gunung berdiri kokoh
Laut berdiam menetap dalam posisinya
Meski sesekali lidah-lidah ombak menjulur ke pantai
Sungai mengalir sesuai jalurnya
Tanah rela ditumbuhi pepohonan
Laut rela dihuni ikan
Dan bumi dengan penuh ikhlas tak berkutik saat dijadikan objek kehidupan manusia

Turun sedikit….
Lihatlah betapa indahnya susunan pada insan
Pada kepala tersusun mata, hidung, mulut, dan telinga
Kaki di bawah sementara perut tetap berada di tengah jasad
Kepala dihiasi rambut
Badan dihiasi dengan organ dalam dan luar
Kaki tegak menopang keseluruhan anggota badan

Turun sedikit….
Lihatlah beragamnya manusia
Meski telah tersusun dengan aturan yang sempurna
Namun, ….. ternyata berbagai fenomena bermunculan
Berbagai dilema bertebaran
Ada akibat kepintaran dan banyak pula akibat ketidak-tahuan
Sehingga…yang pintar terpaksa menjadi tidak tahu, dan tidak tahu bangga seolah-olah sudah tahu…

Turun sedikit….
Lihatlah akibat yang terjadi
Yang tahu dan yang tidak tahu bercampur aduk
Yang tahu menggeleng-geleng, dan yang tidak tahu mengangguk-angguk
Yang tahu mengasih tahu, yang tidak tahu tidak mau tahu
Apakah manusia tidak tahu semua
Jawabannya tahu semua, tetapi takut nanti jadi ketahuan

Turun sedikit….
Lihatlah nasib bangsa ini…
Semua berlagak tahu…
Semua mengatakan saya tahu…
Tapi benarkah dia tahu?
Jawaban hanya menggeleng dan mengangguk
Yang tahu diam, sementara yang tidak tahu berkoar
Akhirnya setelah tahu …bungkam dalam kebingungan

Turun sedikit….
Lihatlah carut-marutnya sistem
Yang susah tambah dipersusah
Yang mudah dipersusah
Kalau bisa dipersusah mengapa dipermudah
Apakah susah itu indah?
Tidak semua orang merasakan kesusahan itu sebagai keindahan
Tidak semua orang bangga dengan merasakan susah

 Turun sedikit…..
Lihatlah berbagai macam problema yang ada
Yang mendapat ingin mendapat lagi
Sementara yang tidak mendapat tak ingin mendapat lagi
Kemudian kedapatan akhirnya berbagi
Yang lunas di penjara

Turun-turunkanlah sedikit…
Agar yang turun itu rahmat
Bukan laknat
Rahmat itu indah
Berbagi itu sejahtera
Untuk sesama, untuk semua, dan untuk semesta


                                                                                    Asmana/5/8/2014