Senin, 20 Juli 2015
Minggu, 12 Juli 2015
STUDI ISLAM
STUDI ISLAM : METODE DAN
PENDEKATAN
1.
Pengertian Islam, Muslim dan Islamis
Langkah awal dalam memahami Islam harus diuraikan
terlebih dahulu melalui defenisi makna . Secara etimologi
(bahasa) Islam berasal dari bahasa Arab, dengan akar kata salima yang
berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima ini
kemudian diubah menjadi kata aslama yang berarti berserah diri dan masuk
dalam kedamaian.[1] Sedangkan kata Islam itu sendiri merupakan bentuk mashdar
dari kata aslama, yang berarti memelihara dalam keadaan selamat,
menyerahkan, menyerahkan diri, tunduk,
patuh dan taat. Lalu bentuk subjek dari kata kerja aslama ini adalah muslim
yang berarti orang yang tunduk, yang patuh, yang menyerahkan diri.[2]
Harun Nasution berpendapat bahwa makna Islam ditinjau
dari segi kebahasaan berdekatan artinya dengan agama, yaitu menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.[3] Sementara itu Nurchalis Majid memberikan kesimpulan bahwa
sikap pasrah kepada Tuhan
merupakan hakikat dari pengertian Islam.[4]
Setelah menjelaskan defenisi Islam secara bahasa, maka
perlu diuraikan secara istilah. Secara istilah (Terminologi) Islam adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad. Islam
pada hakikatnya tidak hanya mengatur satu sisi kehidupan manusia akan tetapi
berbagai sisi dalam kehidupan manusia tersebut.[5]
Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam, membantah pemaknaan Islam yang
dinterpretasikan oleh banyak kalangan dengan mengambil terjemahan dari bahasa Prancis dengan arti “tunduk
dan patuh”. Menurutnya ada hal lain yang
tidak hanya tunduk dan patuh yang harus dimuat oleh kata Islam secara
terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta kepada Allah SWT dan rasa
ingin menyandarkan diri kepada semua yang diperintahkanNya.[6]
Dari pemahaman Islam secara terminologi maka dapat dartikan
bahwa Islam itu merupakan seperangkat aturan yang diturunkan Allah melalui nabi
Muhammad yang berisikan tentang aturan hidup manusia dalam menjalani kehidupan
sehingga apa yang dilakukan menjadi ibadah. Aturan-aturan itu mampu mengarahkan
manusia yang benar-benar melaksanakannya kepada kebahagiaan didunia sampai akhirat.
Bagi yang melaksanakan Islam dengan sepenuh hati dan mengharapkan ridho dari
Allah akan menimbulkan suatu keasyikan dalam berbuat. Keasyikan itulah yang
menimbulkan rasa cinta hakiki. Konsekwensi dari cinta tersebut menjadikan Islam
dalam bentuk syariat menjadi sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan secara
kontinue dengan penuh kesadaran.
Islam mengandung arti
perangkat aturan yang berlaku merupakan pandangan yang difahami dari
sudut ontologi yang bermuara kepada munculnya suruhan dan larangan. Sementara
itu kalau ditinjau dari sudut epistomologi, maka islam itu identik dengan ilmu.
Dengan pengertian ilmu tersebut maka muncullah berbagai disiplin ilmu-ilmu yang
berbeda seperti ilmu hukum, seni, budaya dan berbagai ilmu lainnya. Setelah berbagai
ilmu tercipta dari islam, maka akan teraplikasilah kedalam bentuk aksiologi
yaitu instansi-istansi yang lahir dari aplikasi ilmu itu dalam kehidupan
sehari-hari. Instansi itu kalau direalisasikan yakni bank syari’ah, kaligrafi
dan sebagainya.
Setelah memahami makna islam, maka orang yang termasuk ke
dalam aturan Islam dinamakan muslim. Pelaku dari Islam, yakni Muslim,
secara etimologis berarti orang Islam atau penganut agama Islam.[7] Sementara Arkoun
memaknai Muslim secara etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya.
Sedangkan secara terminologis, menurut beliau, adalah orang yang melakukan
penyerahan diri dan komitmen wujudnya kepada Tuhan dan nabiNya secara sukarela.[8]
Hal yang menyangkut dengan sifat ke-Islaman adala Islami
artinya adalah hal yang telah disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan istilah tersebut baik dalam pelaksanaan kehidupan
sehari-hari ataupun dalam dunia ilmu pengetahuan.
Menurut
Marshall Hodgson, bahwa akan banyak terjadi kekeliruan dengan menggunakan kata
Islamis secara bebas dan luas. Oleh karena itu
menurutnya, bahwa kata yang bersifat Islam yakni Islamis haruslah hal-hal yang berbau agama Islam
itu sendiri, sedangkan hal-hal yang bercorak ke-Islaman tidak bisa dikatakan
sebagai Islamis,
karena penggunaan term ini dalam kajian yang krusial akan membawa pada
kesimpulan yang kurang benar. Beliau menyajikan dua istilah berbeda untuk
menghindari kesalahan yang sering dilakukan oleh para sarjanawan, Islami,
Islamis (Islamic) dan Islamicate yang berarti bercorak
ke-Islaman.[9]
Harus
diakui bahwa memahami dan merumuskan makna Islam dalam kajian
ilmiah itu amat
penting. Para sarjanawan Eropa seperti yang dicatat oleh Marshall Hodgson telah
melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam kajian mereka, yang semuanya
berangkat dari kesalahan merumuskan apakah itu Islam. Sebagai contohnya saja,
para sarjanawan Eropa pada abad sebelum 18, banyak merumuskan Islam seperti
yang terdapat di Istanbul saja, ada yang merumuskan Islam seperti pengamalan di
India saja, ada yang merumuskan Islam sebagai budaya Arab dan lain sebagainya.[10]
Terjadinya
kemunduran dunia Islam pada era awal abad ke-dua puluh mengalami
masa-masa yang sangat tragis dengan ditandai oleh kemajuan yang dicapai dunia
Barat yang nota-bene mayoritas penduduknya adalah non-muslim, kemajuan ini
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Pada masa itu mencapai puncaknya
ketika dunia Eropa melakukan penjajahan kebeberapa negara, termasuk
negara-negara Muslim. Perampasan dan
penindasan baik fisik maupun intelektual dilakukan oleh negara-negara Barat
terhadap beberapa negara islam. Semenjak itulah ummat islam mulai bangkit untuk kembali
meraih dari apa yang telah dicapai sebelumnya baik dari segi ilmu pengetahuan
maupun teknologi.
Langkah awal
yang dilakukan adalah mengembalikan kembali citra umat islam untuk mengambil
alih kembali ilmu pengetahuan yang telah diklaim oleh orang Barat hasil usaha
mereka.
Namun pertentanganpun terjadi di sekitar soal apakah ilmu pengetahuan itu dapat
di-Islamisasikan? Mengingat antara ilmu pengetahuan yang berlaku di Barat
sangat berbeda paradigma dengan Islam. Secara umum, ilmu pengtahuan dikenal
bersifat objektif, spekulatif, empiris, rasional, sedangkan agama bersifat
mutlak, subjektif, tidak terbatas, keyakinan, normatif dan serba pasti.
Pertanyaan yang mendasar yang muncul kemudian adalah “apakah mungkin menyatukan
dua paradigma yang berbeda tersebut?”.
Muhammad Arkoun mengatakan bahwa keinginan para
cendikiawan muslim untuk meng-Islamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah suatu kesalahan besar, sebab hal tersebut akan menjebak kita dalam ide
bahwa Islam hanyalah semata-semata sebuah ideologi.[11]
Senada dengan itu Usep Fathuddin berpendapat bahwa Islamisasi ilmu bukanlah
kerja ilmiah, sebab yang dibutuhkan oleh ummat adalah mengusai ilmu dan
mengembangkannya, sedangkan Islamisasi hanyalah sebuah kerja kreatif atas karya
orang lain.[12]
Sementara itu ada juga kelompok ilmuwan yang mendukung
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Mulyanto yang
berbendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-etika
Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku
sebagai etika-etika ke-agamaan di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi
dasarnya adalah ilmu pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi logisnya adalah
mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami.[13]
Untuk itu selaku
generasi islam maka kita tidak lagi terus mempertentangkan perbedaan tersebut,
yang menjadi tujuan selaku generasi yang muslim adalah upaya yang dilakukan
untuk memahami islam secara komprehensif dan mendalam. Hal ini dapat kita
lakukan dengan mempergunakan berbagai metode ilmiah dalam memahami islam melalui metode terapan dan studi islam
yang aplikatif.
2. Islam Sebagai Sumber, Pemikiran dan Pengamalan
Islam sebagai sumber, islam sebagai pemikiran dan islam
sebagai pengalaman adalah merupakan jenjang-jenjang yang harus dilewati dalam memahami aplikasi
islam. Sub-judul ini
sering diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan”.
Islam sebagai sumber adalah hal sudah tetap, yakni Islam
seperti halnya yang tersebut dalam Alquran al-Karim. Maka memahami Islam
sebagai sumber
adalah hal sungguh esensial dalam kajian-kajian ke-Islaman. Studi Tafsir
Alquran al-Karim contohnya adalah salah satu studi Islam pada tataran pertama.
Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai pemikiran
atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan
Islam sebagai sumber.
Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan
dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang
manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah
ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan
oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya. Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah kemudian menganut
paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran.
Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa
kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada
tataran ke-dua.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman
adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran
al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya.
Selain itu mengkaji Islam pada tataran ke-dua ini juga
akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh suatu
masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat
Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian
Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas
agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan
Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan
ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai
pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat
mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga
inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu
masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam.
Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahan dengan
Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja
suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah
bertentangan dengan fakta.
Contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul
wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”, atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya. Dalam kajian-kajian ke-Islaman tiga
tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman antara
pengkaji dengan pembacanya.
Ada beberapa kajian Orientalist-yang kemudian
dengan perubahan beberapa prinsip berubah menjadi Islamicist-yang
menulis tentang bagaimana itu Islam, tapi sebenarnya yang ia kaji adalah Islam
pada tataran pengamalan di suatu daerah. Seperti yang kita kemukakan sebelumnya
bahwa para sarjawanan Barat dahulunya berangkat dari anggapan bahwa Islam
adalah Istanbul, India, Persia, Arab, padahal apa yang ia kaji adalah Islam
sebagai pemahaman atau pengamalan di Istanbul, India dan lain sebagainya. Tentu
saja kesimpulan kajian seperti ini membangun opini yang tidak benar tentang
Islam.
Sedangkan Islam sebagai sumber, yakni sumber
kajian-kajian ilmiah berarti Islam dari segala dimensinya, baik hukum, tasawwuf,
sejarah, seni, sains dan lain
sebagainya. Semua tingkatan, tataran
dan segala dimensi yang ada tercakup dalam Islam memang telah menjadi sumber
kajian ilmiah yang sangat luas dan bervariasi. Seorang pengkaji yang tertarik
untuk mengkaji ke-Islaman akan berhadapadan dengan objek kajian yang begitu variatif,
terserah yang mana yang akan ia pilih.
Kita
bisa melihat bahwa sangat banyak sekali kajian-kajian ke-Islaman yang bisa kita
ketemukan pada masa ini, baik
dalam bidang teologi, hukum, sains, dan lain sebagainya. Artinya Islam sebagai sumber
penelitian dan kajian-kajian ilmiah telah ,menyediakan sebuah objek besar dan menarik bagi para sarjanawan untuk diteliti.
3. Defenisi Metode, Metodologi, Paradigma dan Pendekatan dalam Kajian Ilmiah
Sering orang
mencampur-adukkan antara metodologi dan metode, padahal keduanya mempunyai arti
dan penempatan yang jauh berbeda. Tentang perbedaan keduanya, Noeng Muhadjir
menyebutkan bahwa metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai
metode, baik kelebihan dan kekurangannya dalam kajian ilmiah, yang kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan metode yang terbaik untuk digunakan. Sedangkan
metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang
digunakan dalam penelitiannya.[14]
Selain
itu dengan redaksi yang lebih ringkas, kita bisa mendefenisikan metodologi
sebagai pengetahuan tentang metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian.
Sedangkan metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
tertentu. Kemudian ada satu istilah
lain yang erat kaitannya dengan dua istilah ini, yakni tekhnik yaitu cara yang
spesifik dalam memecahkan masalah
tertentu yang ditemukan dalam melaksanakan prosedur.[15]
Sedangkan paradigma menurut etimologi berarti contoh,
tasrif dan teladan, sedangkan istilah paradigma dalam penilitan ilmiah bisa
diartikan dengan pedoman yang dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem
pemikiran, bentuk kasus, dan pola pemecahannya.[16]
Sedangkan suatu sumber lain menyebutkan bahwa paradigma adalah model dalam
teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir.[17]
Sedangkan
pendekatan adalah cara pandang, orang juga sering menyamakannya dengan
paradigma, yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan untuk memahami
agama.[18]
Agar lebih memudahkan kita dalam memahami metodolgi
tersebut sebagai ilustrasi kita bisa mengibaratkan seorang yang ingin mendaki sebuah gunung. Dari jauh ia telah mengamati gunung
tersebut. Jalan menuju ke gunung
ini ada empat jalur. Maka metodologi adalah segala usahanya dalam memikirkan
dan menimbang jalan manakah yang tercepat yang akan ia ambil untuk mendaki gunung tersebut, dengan cara apakah ia akan mendaki gunung tersebut, apakah pakai tongkat, atau dipanjat, hingga sampai
ke puncak gunung tersebut, inilah metodologi. Sedangkan
pendekatan adalah empat jalur jalan yang menuju gunung tersebut, terserah yang mana yang
lebih mudah
baginya. Sedangkan metode adalah cara yang ia gunakan untuk sampai ke puncak gunung tersebut, baik
dengan menggunakan tali,
memanjat, atau pakai alat bantu
lainnya.
Sedangkan tekhnik adalah cara yang lebih spesifik dari metode.
Menurut Abuddin
Nata bahwa ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam kajian-kajian
ke-Islaman:[19]
1. Pedekatan
Teologis: pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar.
2. Pendekatan
Antropologis: suatu upaya dalam memahami
agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat.
3. Pendekatan
Sosiologis: yakni dengan melihat kepada keadaan masyarakat lengkap dengan
strukturnya, lapisan serta berbagai gejala sosial yang saling berkaitan.
4. Pendekatan
Filosofis: upaya untuk mencari inti, hakekat dan hikmah dalam memahami sesuatu
di balik formanya.
5. Pendekatan
Historis: yaitu mempelajari Islam melalui kajian peristiwa masa lalu dengan
melacak kapan peristiwa tersebut terjadi, dimana, prosesnya, partisipannya.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah, maka seorang akan diajak untuk melihat
realita yang terjadi dalam masyarakat, baik itu sejalan dengan ide-ide agama
ataupun yang senjang dari ide-ide agama tersebut. Pendekatan sejarah tidak
hanya meneliti peristiwa sukses, tapi juga peristiwa kegagalan.
6. Pendekatan
Kebudayaan: yaitu penelitian yang dilakukan terhadap pengamalan agama yang
terdapat dalam masyarakat yang diproses oleh penganutnya dari sumber-sumber
agama.
7. Pendekatan
Psikologis: dimana dengan pendekatan ini akan diketahui tingkat keagamaan
seseorang, pengamalannya, bahkan dapat digunakan untuk memasukkan agama ke
dalam jiwa seseorang sesuai dengan umur dan bakatnya.
8. Selain
itu dalam kajian pendekatan dalam pengkajian Islam juga dikenal beberapa
pendekatan lain seperti pendekatan fenomenologis, komparatif, studi wilayah dan
pendekatan post-modernisme.
Sedangkan studi
Islam menurut Jacques Waardenburg memiliki tiga kajian yang meliputi tiga
aktifitas yang berbeda, yakni:
- Studi tentang kaedah agama Islam, hal ini umumnya dilaksanakan oleh ummat Islam untuk memperoleh pengetahuan tentang kesahihan agama. Contohnya adalah ilmu Hadist, Tafsir, Fikih dan ilmu Kalam. Secara tradisionil ilmu ini dipelajari oleh ummat Islam di mesjid-mesjid, madrasah-madrasah.
- Studi tentang non-normativ Islam, biasanya studi ini dilakukan di tingkat universitas-universitas, biasanya penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan apakah yang dianggap benar sebagai Islam, dan apa yang benar-benar esensial dalam Islam. Studi non-normatif ini boleh dilakukan oleh muslim dan non-muslim, riset ini secara umum dinamakan studi Islam.
- Studi non-normatif tetang aspek Islam dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Makna lebih luas dari studi ini tidak berhubungan dengan Islam saja. Dalam konteks lebih luas lagi butuh kepada pertimbangan, suatu pendekatan Islam dari sudut pandang sejarah dan literature atau sudut antropologi budaya sosiologi, dan tidak spesifik bila dilihat dari perspektif studi agama.[20]
Dengan demikian, kesimpulan kecil sisi perbedaan cara
pandang mengenai studi Islam ini, yakni ketika dilihat dari sudut normatif,
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan mu’amalah, sebagaimana dijumpai pada pemikiran
Muhammad Syalthout yang membagi Islam dipandang dari celah historis atau
sebagaimana realitas yang terjadi pada masayarakat. Islam tampil sebagai suatu
disiplin ilmu, yakni Islam tidak hanya terpaku pada satu-dua aspek saja, akan
tetapi memiliki berbagai seperti aspek sejarah, tasawwuf, pendidikan,
kebudayaan, dan sebagainya.
4. Makna dan Ruang Lingkup dari Studi Islam
Pembahasan di
sekitar permasalahan studi Islam masih diperdebatkan oleh banyak pakar tentang
apakah ia bisa menjadi
bagian dari disiplin ilmu yang bisa berdiri sendiri atau tidak, apakah ia bisa
dikategorikan sebagai
ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan
agama sungguh berbeda. Pada tataran normativitas nampaknya Islam tampaknya kurang
sesuai untuk dikatakan sebagai ilmu, namun pada tataran historis tidaklah
keliru.
Amin Abdullah mengatakan bahwa studi Islam pada tataran
normativitas masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang memihak, romantis,
apologis, sehingga kadar muatan analisa,
kritik, metodologi, histori, empiris
terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan yang merupakan produk sejarah
terdahulu kurang ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan peneliti tertentu yang
masih sangat terbatas.[21]
Menurut Abuddin Nata, studi Islam adalah ilmu pengetahuan
yang dirumuskan dari ajaran Islam yang
dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan agama
adalah pengetahuan yang diklaim sepenuhnya diambil dari ajara-ajaran agama,
seperti tentang aqidah, ibadah dan lain sebagainya.[22]
Dengan demikian, kesimpulan kecil sisi perbedaan cara
pandang mengenai studi Islam ini, yakni ketika dilihat dari sudut normatif,
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan mu’amalah, sebagaimana dijumpai pada pemikiran
Muhammad Syalthout yang membagi Islam dipandang dari celah historis atau
sebagaimana realitas yang terjadi pada masayarakat. Islam tampil sebagai suatu
disiplin ilmu, yakni Islam tidak hanya terpaku pada satu-dua aspek saja, akan
tetapi memiliki berbagai seperti aspek sejarah, tasawwuf, pendidikan,
kebudayaan, dan sebagainya.
Belum
sempurnanya seseorang dalam memahami Islam mengakibatkan
kesempitan dalam mengintrepretasikan hakikat ajarannya, bahkan bisa
mengakibatkan kesalah-pahaman karena tidak mengenalnya dengan lebih
komprehensif. Pengetahuan Islam dari satu dua aspek dan itupun hanya dari satu
aliran mazhab saja, akan menimbulkan pengetahuan yang tidak lengkap tentang
Islam.[23]
Dapatlah
kita fahami bahwa
studi Islam itu adalah segala kajian yang tidak terlepas dari unsur Islam, baik
sebagai objek langsung dalam kajian tersebut atau objek tidak langsung. Studi
Islam itu meliputi segala kajian tentang Islam pada tiga tingkatan yakni Islam
sebagai wahyu, Islam sebagai pemikiran atau dalam pemahaman dan Islam sebagai
pengamalan.
Pembahasan
sejarah, budaya, peradaban yang tidak terlepas
dari unsur Islam juga merupakan bagian dari studi Islam. Selain itu kajian
dalam bidang ekonomi juga merupakan bagian dari studi Islam, bila unsur,
norma-norma, sumber-sumbernya berasal dari Islam.
Harus
diakui bahwa skop
kajian studi Islam ini amat
luas, ia menyajikan ruang objek yang menarik untuk diteliti baik tentang Alquran
al-Karim, hadist, tasawwuf, theologi, filsafat, sastra, seni, sains,
sejarah, baik dengan pendekatan sosiologis, ekonomi, psikologi, antropologis,
fenomenologis, historis, maupun komparatif baik pada era klasik, modern ataupun
post-modern.
Berbicara
mengenai objek formal
studi Islam ini sangat beragam, bisa merupakan ajaran, hukum, seni dan lain
sebagainya, sedangkan objek materialnya seluruh materi yang mencakup atau
mengemban semua objek-objek formal studi Islam. Dalam studi sastra Islam
misalnya, objek formalnya adalah nilai-nilai keindahan yang terkandung di
dalamnya, atau ajaran agama yang terkandung di dalamnya, maka objek materialnya
adalah karya sastra relevan dengan hal tersebut. Salah satu contoh objek formal studi hukum adalah tujuan-tujuan hukum, maka objek materialnya
bisa berupa naskah hukum baik Alquran, hadist ataupun naskah yang ditulis oleh
ahli hukum yang relevan.
5. Signifikansi Mata Kuliah terhadap Studi Islam
Para sarjanawan, baik muslim maupun non-muslim tidak bisa
untuk mengemukakan sebuah opini, atau sebuah kesimpulan dalam kajian-kajian
ke-Islaman tanpa kajian tersebut ia dasarkan pada sebuah metodologi yang jelas.
Karena seperti yang kita kemukakan bahwa kesalahan dalam suatau istilah, objek,
keluasan objek, wilayah studi, defenisi saja sudah akan menggiring pengkajinya
untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang salah, apalagi dalam kesalahan
metodologi, tentu saja sistematika cara kerja yang ia gunakan dalam kajiannya,
langkah-langkah ilmiah dalam risetnya akan mengalami kesalahan-kesalahan yang
mestinya tidak perlu bila pengkaji tersebut menggunakan metodologi yang jelas.
Pendekatan
dalam pengkajian Islam akan menyajikan suatu standar dalam pemikiran Islam,
selain itu, studi ini juga akan menyediakan filter bagi para ilmuwan
dalam menyaring sebuah informasi, mencari sumber kesalahan sebuah data yang
sering ditemukan dalam beberapa kajian ke-Islaman.
Pendekatan dalam pengkajian Islam juga merupakan basis
bagi para sarjanawan dalam menghasilkan suatu khazanah ilmu pengetahuan
ke-Islaman, baik dalam sejarah, filasafat, tasawwuf, Teologi, fikih, sains,
sastra dan lain sebagainya, yang semuanya dapat dikategorikan sebagai peradaban
Islam.
Dengan
kajian ini kita akan dapat membedakan antara peradaban Islam dengan peradaban
Arab-jikalau memang komponen Arab cukup bervariasi untuk dikatakan sebagai
peradaban-. Dengan begitu, pertanyaan bagaimanakah seharusnya Islam, atau
apakah seharusnya Islam, apakah yang benar-benar esensial dalam Islam bisa
dicari.
Banyak pemikiran-pemikiran Islam yang muncul pada masa
sekarang ini, yang itutentu saja tidak akan pernah terlepas dari sebuah
metodologi, metode dan pendekatan yang mereka pakai.
Ada beberapa contoh yang menurut kami cocok untuk
menggambarkan sebuah kajian yang sama tapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda
karena pendekatan yang berbeda. Kajian tentang sumber hukum Islam, bila
didekati dengan pendekatan sejarah, sosial, dan antropologis, maka seperti yang
disimpulkan oleh Joseph Schahct bahwa adat Arab adalah sumber pertama hukum
Islam[24],
akan tetapi bila diteliti dari pendekatan kewahyuan, akan tampak bahwa sumber
pertama hukum Islam itu adalah Alquran al-Karim.
Selain itu, seperti telah kita utarakan diatas, bahwa
pendekatan dalam pengkajian Islam juga telah menyajikan sebuah saringan dalam
menerima data dan kesimpulan. Contohnya, dalam berberapa kajian seperti yang
dicatat oleh Marshall Hodgson[25],
bahwa banyak dari kalangan Orientalist yang menganggap bahwa muslim itu
adalah setiap orang yang berbahasa Arab, selain itu ada juga yang menganggap
bahwa muslim itu adalah setiap orang yang menggunakan bahasa Arab dalam ritual
keagamaannya. Dengan pendekatan dalam pengkajian Islam, yang menyediakan basis
pendekatan dan metodologi dalam mengkaji Islam, akan tampak beberapa kesalahan
fatal yang terjadi pada kajian mereka.
Tentang
studi wilayah, yang menghasilkan nama yang sungguh terkenal, yakni “orientalist”
yang berarti ahli-ahli ke-Timuran, pendekatan dalam pengkajian Islam ini juga
akan mengjhasilkan kritik “apakah memang seseorang punya hak untuk mengklaim
bahwa dirinya adalah seorang ahli ke-Timuran? Apakah memang sungguh para
Orientalist itu mempunyai pengetahuan tentang seluruh dunia Timur yang begitu
luas?”. Kesadaran dengan rendah hati
untuk mengakui ketidak mampuan untuk mengkaji suatu objek yang sangat luas
sangatlah diperlukan agar menghasilkan kesimpulan yang objektif. Dengan kritik
ini kemudian nama Orientalist ini berubah menjadi lebih spesifik yakni
Islamicist yang berarti ahli-ahli ke-Islaman, beberapa saat lamanya kemudian
istilah ini mengecil lagi sesuai daerah
kajiannya, seperti ahli Indonesia. Maka seperti Snouk Hurgrounje tidak bisa dikatakan
sebagai Orientalist, akan lebih tepat dikatakan sebagai ahli Islam Indonesia,
sama halnya dengan John L. Esposito.
Singkat kata, pendekatan dalam
pengkajian Islam, yang dalam skala lebih kecil menjadi sebuah mata kuliah, telah memberikan kontribusi yang
sangat besar dalam dinamika pemikiran Islam, baik dalam menghasilkan sebuah
standar kajian, filter, langkah-langkah ilmiah dalam kajian-kajian ke-Islaman
yang benar, baik itu kajian yang baru ataupun re-kreasi terhadap kajian lain,
seperti kritik dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
Memahami Islam dan
ajarannya idealnya harus dengan mendalami islam dari berbagai sudut pendekatan.
Salah satunya adalah melalui pendekatan metode ( methode aprouch ).
Pendekatan-pendekatan itu akan mampu menghantarkan kepada pemahaman universal
tentang Islam.
Para sarjana Islam
telah mengkaji Islam itu dari berbagai pendekatan, ada pendekatan secara
historis, teologis, sosiologis, antropologis, filosofis, dan kebudayaan. Ada
juga yang mengajukan pendekatan dengan cara memahami kaedah agama islam dalam
bentuk ilmu keislaman, studi non-normatif akademis, dan ada juga melalui studi
non-normatif kebudayaan masyarakat muslim.
Berbagai
pendekatan-pendekatan itu selain memahami islam secara mendalam juga akan
memunculkan aspek keilmuan yang baru dalam dunia pendidikan sekaligus
merangsang kaum intelektual menciptakan metode-metode baru. Sebab Islam itu
merupakan suatu kajian yang sarat dengan dinamika pemikiran baru. Makin dalam
memahami islam akan memicu lahirnya disipilin ilmu baru sesuai dengan taraf
berfikir masyarakat pada zaman itu.
Terakhir semoga
dengan makalah ini akan berguna membantu membuka cakrawala berfikir dalam memahami islam dalam berbagai
aspek kehidupan. Sehingga mampu menambah literatur bacaan dalam menjawab
beberapa permasalahan.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Amin. Studi Agama Normativitas atau Historitas. Yogyakarta: ttp, 1996.
Ali,
Maulana Muhammad. Islamologi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980.
Depdikbud.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Fathuddin,
Usef. Perlukah Islamisasi Ilmu?. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000.
Hodgson,
Marshall. The Venture of Islam, jil.
I. Chicago: Chicago University Press, 1974.
Lubis,
Nur A. Fadhil. Introductory Readings on Islamic Studies. Medan, IAIN
Press, 1998.
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan. Jakarta: Paramdina: 1992.
Muhadjir,
Noeng. Metodologi Penilitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.
Mulyanto.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000.
Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.
Nata,
Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Nasution,
Harun. Islam Ditijnau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 2001.
Partanto,
Pius A. dan M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 2001.
Putro,
Suadi. Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas. Jakarta:
Paramadina, 1998.
Qardawi,
Yusuf. Madkhal Lima’rifatil Islam
Muqawwimatuhu Khashaisuhu Ahdafuhu, Mashadiruhu , Kairo: Maktabah Wahbah,
1996.
Razak,
Nashruddin. Dien al-Islam. Bandung: al-Ma’rif, 1977.
Schacht, Joseph. An Introduction To Islamic Law. Inggris:
Oxford Press, 1971.
Usa, Muslih.
Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
[1]Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2002), hal. 655. lihat juga Nashruddin Razak, Dien
al-Islam (Bandung: al-Ma’rif, 1977), h. 56.
[2]Maulana Muhammad Ali, Islamologi
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980) h. 2.
[4]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin
Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan
Kemodernan (Jakarta: Paramdina: 1992) h. 426.
[5] Harun, Islam Ditinjau, h.
7.
[7]Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus
Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, 2001), h. 30.
[8]Putro, Muhammad Arkoun, hal.
30.
[9] Marshall Hodgson, The Venture
of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), jil. I, hal, 23.
[11]Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di
Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 5.
[12]Usef Fathuddin, Perlukah
Islamisasi Ilmu? (Jakarta:
Pustaka Cidesindo, 2000), h. 51.
[14] Noeng Muhadjir, Metodologi
Penilitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2002), h. 3.
[15] Jujun S. Sumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h.
328.
[16] Partanto dan al-Barry, Kamus, h.
566.
[17] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), h. 828.
[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h. 28.
[19] Ibid, h. 31-51.
[20] Nur A. Fadhil Lubis, Introductory
Readings on Islamic Studies (Median, IAIN Press, 1998), h. 2.
[21] Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historitas (Yogyakarta: ttp, 1996), h. 106.
[23] Harun, Islam Ditinjau, h.
29.
[24] Joseph Schacht, Introduction To
Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h.5.
[25] Marshall, The Venture, h.
172.
Langganan:
Postingan (Atom)