Minggu, 12 Juli 2015

CAHARACTER BUILDING



Character Building
(Pembentukan Karakter)
OLEH
ABDUSIMA NASUTION, S.Ag., MA

A.    Pendahuluan.
Ketika terjadi tawuran siswa antar sekolah, lembaga pendidikan kita menjadi sasaran kritik. Bagaimana bisa terjadi tawuran antar mereka dan mengapa hal itu terjadi? Bagaimana seorang anak tega menyakiti anak lain? Bagaimana seorang anak berani menyakiti anak lain? Nah, ukuran yang lebih besar, bagiamana orang-orang manusia tega membunuh kawan atau tetangganya? Bagaimana pula mereka berani melakukan pembunuhan tersebut? Bagimana seseorang atau banyak orang tega dan berani menjarah milik orang lain? Dan bagaimana pertumpahan darah sesama anak bangsa Indonesia itu bisa terjadi? [1]
Kritik itu semakin nyaring setelah lengsernya penguasa otoriter Orde Baru yang mengakibatkan krisis di segala bidang. Dari hasil pelbagai disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu berpangkal dari krisis moral. Fenomena yang dapat kita saksikan bukan saja praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di tingkat elite, namun juga kenyataan bahwa kita sering dihadapkan pada kasus-kasus kerusakan etika/akhlak anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah, seperti tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, penodongan di bus, dan semacamnya.[2]
Semua prilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas menunjukkan kerapuhan karakter yang cukup parah yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya pembangunan karakter di lembaga pendidikan. Pelaksanaan pendidikan karakter tidak diserahkan kepada guru agama saja, karena pelaksanaan pendidikan karakter harus dipikul oleh semua pihak, termasuk kepala sekolah, para guru, staf tata usaha, tukang sapu, penjaga kantin, dan bahkan orang tua di rumah.[3]
Permasalahan di atas telah terjadi di Indonesia ini. Berbagai peristiwa yang serupa tidak hanya menimpa masyarakat kota, bahkan menjalar sampai ke pelosok-pelosok dan perkampungan. Sehingga muncul berbagai asumsi dan pertanyaan besar dalam menganalisis segala kejasian yang terjadi, “Apakah sudah begini karakter anak bangsa yang telah terkenal dengan bangsa yang berbudaya? Akankah karakter seperti ini akan terus berkembang sesuai tuntutan keinginan individual? Ataukah ada penyebab lain yang memicu tumbuh suburnya problematika dan fenomena ini? Atau apakah ada solusi yang lebih menyentuh aspek psikologi sehinga tercegahnya kondisi seperti itu? Sehingga muncul pertanyaan besar “Ada apa dengan karakter bangsa Indonesia”? Kesemua pertanyaan dan dugaan itu idealnya menuntut suatu dimensis kehidupan  pada pembangunan karakter yang di sebut dengan “Building Character”.

B.     Pembahasan.
1.      Pengertian Karakter
Untuk mengetahui pengertian karakter, kita dapat melihat dari dua sisi, yakni sisi kebahsaan dan sisi istilah. Menurut bahasa (etimologis) istilah karakter berasal dari bahasa Latin kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa Yunani character dari kata characharassein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa Inggris character dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan istilah karakter (Majid, 2011). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata karakter berarti sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Maka istilah berkarakter artinya memeiliki karakter, memiliki kepribadian, berpetilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melaukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).[4]  
Itulah beberapa definisi tentang karakter dari istilah akar kata dalam berbagai bahasa. Namun disini perlu juga diketengahkan definisi istilah dari berbagai pendapat ahli tentang karakter. W.B. Saunders,  menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Gulo W,  menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau  dari titik  tolak etis  atau  moral,  misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. Kamisa,  mengungkapkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Wyne mengungkapkan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Alwisol menjelaskan pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian kerena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu.[5]
Sementara Thomas Lickona memberikan definisi tentang karakter, “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way”. Kemudian dirincinya lagi bahwa karaekter itu kepada tiga bagian,”Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.”[6] Menurutnya, karakter itu akan terelaisasi dari tiga aspek; pengetahuan tentang kebaikan, komitmen untuk berbuat baik dari dalam diri, serta bukti nyata atau realitas dari pengetahuan dan komitmen  yang nampak dari perbuatan baik.
Beberapa dari definisi karakter di atas mencerminkan bahwa betapa pentingnya karakter yang dimiliki individual dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian terjawab sudah apa penyebab terjadinya kemerosotan nilai-nilai bangsa. Semua kemerosotan itu dilatar-belakangi dengan rusaknya karakter bangsa. Buadaya-budaya yang sering terjadi di tengah-tengah masyarkat, birokrasi pemerintahan, serta aspek kehidupan lain akhirnya tergerus dan menjurus kepada kerusakan fatal serta terjadinya erupsi karakter secara  sistemik. Ada beberapa kondisi yang secara tidak langsung dapat menumbuh-suburkan rusaknya karakter anak bangsa, yakni:
a.        Budaya di Masyarakat
Budaya yang sering terjadi di masyarakat merupakan arena tempat menyuburkan kerusakan karakter. Sebab masyarakat yang majemuk dan mempunyai latar belakang keinginan dan orientasi yang berbeda selalu melakukan tindakan untuk memuluskan tujuannya masing-masing.
b.      Budaya di Pemerintahan
Apatur pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat, juga mempunyai andil dalam membentuk karakter yang justru merusak. Segala urusan yang notabenenya harus melayani masyarakat ternyata  telah berorientasi kepada “kalau dapat dipersulit, kenapa dipermudah”, dengan dalih ini maka munculllah istilah “wani piro.” Segala urusan harus direalisasikan dengan budget rupiah sebagai takarannya. Akhirnya antara aparatur pemerintah dengan masyarakat menyamakan persepsi setiap urusan harus dengan uang tunai. Budaya ini menyebabkan tumbuh suburnya KKN. Berapa banyak pejabat negara yang terseret ke meja hijau dan akhirnya mendekan di terali besi.
c.       Budaya di Kalangan Pelajar
Lain lagi halnya dengan pelajar sebagai generasi penerus bangsa. Selaku pelajar sudah banyak terjadi perubahan nilai-nilai pendidikan. Paradigma baru yang terjadi di dalam dunia pendidikan khususnya pelajar bahwa belajar bukanlah untuk mendapatkan ilmu, namun untuk mendapatkan ijazah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Orientasi itu diperparah lagi dengan adanya dunia komunikasi bertoknologi tinggi. Media-media yang memberikan fasilitas multidimensi semakin memudahkan kaum pelajar untuk berbuat sekehendak hati. Nilai-nilai pendidikan bagi pelajar akhirnya memudar. Sebagaimana terjadinya siswi SMA yang mempermainkan sholat dan dishoting melalui kamera handpon dan disebar sehingga menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Banyak lagi hal-hal yang telah terjadi pada kaum pelajar yang diakibatkan oleh budaya yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
d.      Budaya dari Luar
Berbagai budaya luar yang masuk dan menjajah budaya bangsa Indonesia yang orisinil juga turut merubah karakter bangsa kita. Ini nampak dari bagaimana budaya Barat yang terus merambah hingga ke pelosok. Baik dari segi pakaian, istilah, serta perbuatan yang dilakukan asal tidak menyakiti dan menyinggung orang lain. Materialisme, komersialisasi, bahkan sekularisme yang disuguhkan secara langsung dan tidak langsung ternyata telah terkonsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Pemerintah dan Penanggulangan Perbaikan Karakter Bangsa
Krisis menyeluruh yang telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keadaan keterpurukan, bermula dari krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan. Para pemimpin masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis dari masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling curiga mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala “SARA” telah mulai terbuka dalam masyrakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi nasional. Berbagai praduga-praduga premordial dibesar-besarkan sehingga menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin atau penguasa berada di atas hukum. Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional.[7]
Dengan keadaan itu, maka pemerintah membentuk mekanisme baru dengan mewujudkan generasi yang berkarakter. Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap pendidikan karakter sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan menempatkan pendidikan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab, bangsa Indonesia ke depan akan dipegang oleh anak bangsa yang saat ini berusia antara 15 sampai dengan 25 tahun. Jika pendidikan yang diberikan tidak mampu menjawab kebutuhan mereka maka niscaya bangsa Indonesia akan kehilangan satu genereasi.
Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending proces) selama sebuahnbangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi.[8]
Sejak dulu, pemerintah juga telah berusaha mengadakan tindakan preventif guna menjaga stabilitas karakter bangsa yang telah dipaku dalam UUD 1945. Sebab dalam UUD juga telah dinyatakan bahwa Indonesia dalam hal ini ikut aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna cerdas dalam UU ini telah ditafsirkan sebagai kecerdasan yang multi kompleks, cerdas berfikir, cerdas bertindak, dan cerdas dalam memaknai lingkungan.
Menyikapi permasalahan itu, pemerintah memulainya dari segi pendidikan. Sebab untuk memperbaiki bangsa harus dimulai dari pendidikan. Maka diprogramkanlah bagi setiap siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan program P4. Dengan adanya program ini dapatlah kiranya terseap bagi jiwa pelajar untuk memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang berakhlak, bermoral dan berkarakter mulia.
Dewasa ini kembali pemerintah membuat program baru demi memperbaiki karakter anak bangsa dari sektor pendidikan dengan meninggikan anggara pendidikan 20% dari APBN. Kegunaan dari anggaran itu diperuntukkan bagi operasional pendidikan sekaligus mendongkrak kualitas Pendidikan yang berilmu, beriman, serta memiliki budi luhur.
               Namun dalam perjalannnya, pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan  kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak dini. Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat globalisasi mempunyai faktor-faktor negatif antara lain mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan   yang dianggap sempit seperti patriotisme dan nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-nilai globalisasi dan universalisasi.
               Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus 2012 yang membahas Program Strategis Pemerintah di bidang Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun, diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12 tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk karakter, nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan melekat lama.
        Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara lain National Summit  dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden SBY adalah sebagai berikut:  “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan modernisasi dewasa ini, watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi kewajiban kita semua untuk membangun dan mengembangkannya.  Character building penting, sama dengan national development yang harus terus menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa terang, berpikir positif, dan bersikap optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat apapun persoalan yang dihadapi bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan kita akan bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.
        Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua, mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
1.      Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
2.      Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
3.      Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan;
4.      Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan;
5.      Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa, negara dan tanah airnya.
         Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku. Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka diharapkan dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common sense. Tidak bisa ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di atas.[9] Pendidikan itu tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka dan juga bukan hanya untuk mengembangkan inteligensi akademik peserta didik.[10] Keseimbangan antara intelektual dan mentalitas merupakan hal yang harus tertanam dalam diri setiap anak bangsa agar tercipta insan yang berkarakter mulia.[11] 
3.      Realisasi Penanaman Karakter di Lembaga Pendidikan
Sejauh menyangkut krisis moral/akhlak, ada anggapan bahwa salah satu sebabnya adalah salahnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional (baik yang dilakukan oleh sekolah maupun madrasah) yang ada selama ini dideskripsikan oleh banyak ahli pendidikan mengandung beberapa kelemahan berikut. Pertama, sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Ketiga, kedua sistem tersebut di atas (sentralistik dan tidak adanya pemberdayaan masyarakat) ditunjang oleh sistem birokrasi kaku yang tidak jarang dijadikan alat kekuasaan atau alat  politik penguasa. Keempat terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian dari alat birokrasi. Kelima, pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada anak didik. Keenam, anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta berorientasi pada keinginan.[12]
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 2 Pasal 3, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari fungsi dan tujuan tersebut, ada dua hal penting yang harus diwujudkan oleh lembaga pendidikan. Pertama, mengembangan kemampuan yang berkaitan dengan otak yang merujuk pada kualitas akademik. Kedua, membentuk watak yang berkaitan dengan hati yang merujuk pada lulusan yang berakhlak mulia.

Menurut Kemdiknas  komponen dari pendidikan karakter dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Komponen Pendidikan Karakter[13]
Dapat kiranya difahami bahwa keempat unsur itu akan mengolah anak didik secara totalitas. Olah fikir fokusnya ke arah kecerdasan dan kreatifitas berfikir. Olah hati titik fokusnya ke arah penanaman nilai-nilai religius dalam diri. Sementara olah raga fokusnya menjadikan fisik dan keadaan linfkungan. Olah rasa/karsa fokusnya menumbuh-kembangkan nilai kepekaan bathin terhadap keadaan diri dan orang lain yang ada disekitar.
Ada 18 nilai-nilai karakter yang dapat digali dan ditanamkan antara lain sebagai berikut:
Nilai-Nilai Karakter
No
Nilai Karakter
Deskripsi
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan  dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4
Disiplin
Tindakan  yang menunjukkan perilaku  tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5
Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk  menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas.
8
Demokratis
Cara berfikir,  bersikap, dan  bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10
Semangat kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11
Cinta tanah air
Cara berfikir, bersikap,  dan berbuat  yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap  bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12
Menghargai prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta  menghormati keberhasilan orang lain.
13
Bersahabat/komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14
Cinta damai
Sikap , perkataan,  dan tindakan yang menyebabkan orang lain  merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
Gemar membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16
Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku  seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan karakter harus masuk pada setiap aspek kegiatan di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari bagan berikut ini:

Cakupan Pendidikan Karakter

Berdasarkan bagan pada gambar, pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam kegiatan belajar mengajar pada setiap mata pelajaran. Kemudian perlu dilakukan pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler misalnya pramuka, PMR, olahraga dan sebagainya. Penerapan pada kehidupan keseharian di rumah harus selaras dengan penerapan pendidikan karakter di satuan pendidikan  di jenjang PAUD, TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan Perguruan Tinggi.
Pendidikan karakter yang terintegrasi dalam proses pembelajaran, artinya pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai karakter dan menjadikannya perilaku dalam kehidupan sehari-hari.[14]
Sementara implementasi pendidikan karakter bisa dilakukan melalui:
a.       Terintegrasi dalam pembelajaran;
b.      Terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler, dan
c.       Terintegrasi dalam manajemen sekolah.[15]
Pengintegrasian karakter dalam pembelajaran biasanya tergabung dalam kurikulum yang telah dirancang oleh Kementerian Pendidikan. Rancangan itu sengaja dalam bentuk materi pelajaran dibuat guna terciptanya pembentukan karakter dengan memadukan antara unsur, tujuan, serta arah pendidikan yang berkarakter memuat 18 nilai itu. Selain itu, sebagai bahan penunjang, dibuatlah program pengembangan diri dalam bentuk akstrakurikuler. Ekstrakurikuler itu dirancang guna mendukung kegiatan siswa di luar proses belajar mengajar, seperti Pramuka, olah raga, kegiatan keagmaan, seni budaya, palang merah remaja, dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan alokasi waktu yang ada. dalam bidang manajemen sekolah, maka program yang dilakukan adalah dengan menumbuh-kembangkan nilai-nilai ke dalam pengelolaan sekolah yang termasuk di dalamnya peraturan, sumber daya manusia, sarana prasarana, keuangan, perpustakaan, penilaian sekolah yang tercakup di dalamnya seluruh stockholder yang terkait dalam pengelola pendidikan.  
Penerapan nilai-nilai karakter di sekolah haruslah diintegrasikan pada seluruh kegiatan sekolah terutama pada saat KBM. Nilai-nilai karakter ini dapat diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran dengan cara mencantumkan nilai karakter ke dalam silabus sehingga guru harus dapat memastikan bahwa pembelajaran di kelas telah memberikan dampak pada pembentukan karakter siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat McKay (dalam Barnawi & M. Arifin)[16],  yaitu silabus silabus memberikan fokus mengenai apa yang harus dipelajari serta penjelasan mengenai bagaimana konten harus dipilih dan disusun.
Dalam dunia perguruan tinggi juga menjadi sasaran yang sangat menentukan guna merealisasikan karakter. Di dunia perguruan tinggi, unsur yang menjadi sasarannya mulai dari mahasiswa, dosen, kurikulum, proses perkuliahan, hingga pengelolaan universitas. Tawuran antar mahasiswa, pergaulan bebas, plagiasi, hingga makelar ijazah merupakan hal yang harus diberantas. Sebab dunia perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan yang akan terus menerus  melahirkan generasi lanjutan kepemimpinan negara ini.
Kerangka umum dalam masyarakat akademik perguruan tinggi , menurut Djoko Santoso (2012) terdiri atas dua unsur utama, yaitu dosen dan mahasiswa. Mereka ada dalam lingkungan akademik yang didukung para tenaga kependidikan, infrastruktur pendukung, dan program-program. Kedua unsur tersebut harus memiliki orientasi ke arah perkembangan budaya akademik. Secara praktis mereka akan diikat dalam etika akademik yang tumbuh dari nilai-nilai luhur dan berujung pada terbentuknya budaya akademik.[17]
Budaya kampus yang ditanamkan melalui tri dharma perguruan tinggi harus menegakkan kebebasan berfikir yang orisinil tanpa adanya kecurangan dalam pelaksanaannya. Kreatif mahasiswa dan  inovasi dosen dalam menciptakan budaya akademis yang sehat dan terjauh dari manipulatif ilmiah juga harus menjadi acuan bagi perguruan tinggi.
Penekanan nilai-nilai karakter dalam dunia pendidikan merupakan suatu keharusan dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas baik kognitif, efektif dan psikomotorik serta memiliki kecintaan terhadap nilai-nilai agama, budaya serta tatanan moral dan etika. Untuk itu, perbaikan dimasukkan ke dalam sistem administrasi, tata kerja, sumber daya manusia, serta aturan-aturan yang ada.
4.      Islam dan Pembentukan Karakter (Character Building)
Islam banyak menegaskan tentang pentingnya pembentukan karakter. Realitas karakter dimanifestasikan dalam akhlak. Sudah barang tentu yang dimaksud akhlak yang merujuk pada masa ketika Nabi mulai diutus adalah dalam pengertian luas, termasuk-atau bahkan terutama sekali etika sosial. Ada sebuah hadis Nabi Bu’itstu li-utammima makarim al-akhlaq (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia/memperbaiki akhlaq). kalau kita perhatikan, memang banyak sekali nilai-nilai ajaran moral terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Ambil contoh, adil, ta’awun ala birri wa al-taqwa, benar, amanah, terpuji, bermanfaat, respect (menghargai orang lain), sayang, tanggung jawab, dan lain-lain. Semua ini merupakan perilaku moralitas individual terhadap kehidupan sosial atau berdampak pada kehidupan sosial (beretika sosial) dengan landasan nilai-nilai ajaran Islam.[18]
Pada hakikatnya Islam merupakan agama yang secara totalitas membentuk karakter manusia. Pembentukan karakter itu dibina melalui tiga asas, yaitu: akidah (keimanan), syariah (amalan ibadah), dan akhlak (karakter). Akhlak merupakan manifestasi nyata dari kepercayaan (iman) kepada rukun yang enam, dengan keimanan yang teguh itu akan memnumbuhkan pengabdian dalam bentuk ibadah atau rukun Islam.  Dalam keimanan (terutama Kepada Allah dan rasul-Nya)  akan terbentuk nilai keteguhan bathin bahwa Allah Yang Maha Segalanya akan memberikan sugesti dalam diri bahwa apapun yang dilakukan semuanya akan diketahui Sang Khaliq. Sementara dalam ibadah yang dilakukan (shalat, puasa, zakat dan haji), semuanya itu merupakan simbol sebuah pembentukan karakter individual. Setelah kedua asas tadi menyatu dalam diri seseorang, maka dengan sendirinya akhlakpun tercipta dalam bentuk akhlakul mahmudah (akhlak yang baik). Akhlak inilah bukti nyata bahwa Islam telah terlebih dahulu menjadi sebuah mesin pencetak karakter manusia.
Dalam pendidikan Islam pembentukan karakter itu seyogyanya dilakukan sejak anak berada di dalam rahim ibunya. Penanaman nilai-nilai itu tercipta atas dasar kebiasaan yang ditanamkan sejak dini. Ini dijelaskan dalam Q.S. An-Nahl/78 sebagai berikut:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
78. dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Setidaknya dari ayat di atas pembinaan karakter itu dapat dialirkan dari tiga jalur yaitu pendengaran, penglihatan serta hati. Pembentukan karakter melalui penglihatan dapat diartikan sebagai pembelajaran yang didapatkan dari apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pendengaran juga merupakan sarana yang sangat membantu dalam mencerna apa yang diisukan meskipun tanpa dilihat. Sementara hati merupakan sarana yang memberikan motivasi kuat dari apa yang dilihat dan didengar.
Dari pengertian diatas, maka dapat diambil makna, bahwa pembentukan karakter tidak boleh hanya dengan mendengar saja atau melihat saja, namun harus terpadu (mahdhah) dalam sebuah sistem. Demikian juga dalam pendidikan, jangan terlalu berharap banyak dalam memperbaiki karakter siswa hanya dengan nasehat saja, tetapi realitas yang menyampaikanpun harus ada kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
Islam telah mengisyaratkan pembentukan karakter ini melalui ayat dan hadis nabi. Islam menunjuk 3 potensi dasar yang dikaruniai oleh Allah kepada manusia, yakni:potensi jisim (fisik), potensi akal, dan potensi qalbu. Potensi tersebut secara utuh dan bersama-sama dijadikan sasaran garapan pembinaan dalam upaya meningkatkan kualitas manusia.[19] .
Harus diakui, bahwa salah satu faktor penentu dalam pembentukan karakter adalah dunia pendidikan. Faktor ini merupakan pabrik pencetak manusia yang berkarakter. Namun kalau dikaji lebih mendalam maka dari lembaga pendidikan yang ada yang lebih cocok sebetulnya untuk membentuk karakter itu adalah lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah. Sebab madrasah dengan segala macam materi ajarnya ternyata banyak melibatkan aspek agama disamping aspek umum. Lembaga pendidikan umum seperti sekolah hanya menyediakan 2 jam saja pendidikan agama. Kalau dihitung-hitung secara materi dan lamanya belajar sekolah lebih sedikit jamnya. Tetapi kalau madrasah materi pelajaran agama lebih banyak.







C.    Kesimpulan.
Character Building (pembentukan karakter) merupakan suatu keharusan dalam membangun mentalitas bangsa ini. Hal ini disebabkan bahwa realitas yang ada sangat memberikan peluang bagi terjadinya kemerosotan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saling tuduh antara pengelola pendidikan, masyarakat serta pemerintah sebagai pengelola negara bukan merupakan solusi pemecahan masalah (problem solving). Namun saling bahu-membahu serta kerjasama antar lembaga, antar masyarakat hingga aparat hukum akan menjadikan awal keberhasilan dalam membentuk akarakter bangsa ini.
Hasil usaha dalam pembentukan karakter yang telah digulirkan  ini tidak serte-merta dapat dilihat dalam jangka waktu yang singkat. Ini diakibatkan adanya proses yang panjang  (long process) dalam beberapa puluh tahun ke depan. Membangun bangunan raksasa memang bisa diprediksi kesiapannya, tapi membangun mental yang berkarakter jauh lebih susah dan rumit dari itu.
Usaha pemerintah dalam hal ini , setidaknya akan membuka lembaran baru demi kemajuan bangsa dan negara. Bangsa yang berbudi luhur akan menjadikan negara yang disegani di dunia internasional. Dunia pendidikan merupakan perpanjangan tangan yang diharapkan mampu mewarnai karakter bangsa ini menjadi insan yang kamil sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Islam melalui al-Qur’an.





Daftar Pustaka
Arifin, M dan Barnawi . Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter .Jogjakarta: Ar-Ruzz Media: 2012.

Azizy, Qodry  A.  Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003.

Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi . Bandung: Alfabeta, 2012.

Hasan, Muhammad Thoha. Islam dan Sumber Daya Manusia.Jakarta: Lantabora Press, 2003.


Kartadinata, Sunaryo Kartadinata “Pengantar” dalam Educating for Character terj. Uyu Wahyudin, Mendidik Untuk Membentuk Karakter . Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

Lickona, Thomas  Educationfor Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991.

Mahmud, “Pengantar”  dalam  Heri Gunawan. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi . Bandung: Alfabeta, 2012.


Tilaar,H.A.R. Paradigma Pendidikan Nasional. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2004.

Wibowo, Agus . Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Prektik Implementasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Wibowo, Agus.  Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi .Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013.

Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.


[1] A. Qodry  A. Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial (Semarang:CV. Aneka Ilmu, 2003), h. 2.
[2] Ibid., h. 8
[3] Mahmud, “Pengantar”  dalam  Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012), h.vi
[4] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012), h.2
[6] Thomas Lickona, Educationfor Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991), h. 51
[7] H.A.R.Tilaar, Paradigma Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2004), h. 5-6
[8] Sunaryo Kartadinata, “Pengantar” dalam Educating for Character terj. Uyu Wahyudin, Mendidik Untuk Membentuk Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. vii
[10] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan…., h.20
[11] Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, dan nilai-nilai lainnya.
[12] A. Qodry A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun……,8-12
[14] Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Prektik Implementasi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 16
[15] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 15
[16] Barnawi dan M. Arifin. Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media: 2012), h. 70

[17] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), h. 27
[18] Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 81-82
[19] Muhammad Thoha Hasan, Islam dan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2003), h. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar