Character Building
(Pembentukan Karakter)
OLEH
ABDUSIMA NASUTION, S.Ag., MA
A.
Pendahuluan.
Ketika
terjadi tawuran siswa antar sekolah, lembaga pendidikan kita menjadi sasaran
kritik. Bagaimana bisa terjadi tawuran antar mereka dan mengapa hal itu
terjadi? Bagaimana seorang anak tega menyakiti anak lain? Bagaimana seorang
anak berani menyakiti anak lain? Nah, ukuran yang lebih besar, bagiamana
orang-orang manusia tega membunuh kawan atau tetangganya? Bagaimana pula mereka
berani melakukan pembunuhan tersebut? Bagimana seseorang atau banyak orang tega
dan berani menjarah milik orang lain? Dan bagaimana pertumpahan darah sesama
anak bangsa Indonesia itu bisa terjadi? [1]
Kritik
itu semakin nyaring setelah lengsernya penguasa otoriter Orde Baru yang
mengakibatkan krisis di segala bidang. Dari hasil pelbagai disiplin dan
pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu
berpangkal dari krisis moral. Fenomena yang dapat kita saksikan bukan saja
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di tingkat elite, namun juga
kenyataan bahwa kita sering dihadapkan pada kasus-kasus kerusakan etika/akhlak
anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah, seperti tawuran pelajar,
penyalahgunaan narkoba, penodongan di bus, dan semacamnya.[2]
Semua
prilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi di kalangan pelajar dan
mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas menunjukkan kerapuhan karakter
yang cukup parah yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya
pembangunan karakter di lembaga pendidikan. Pelaksanaan pendidikan karakter
tidak diserahkan kepada guru agama saja, karena pelaksanaan pendidikan karakter
harus dipikul oleh semua pihak, termasuk kepala sekolah, para guru, staf tata
usaha, tukang sapu, penjaga kantin, dan bahkan orang tua di rumah.[3]
Permasalahan
di atas telah terjadi di Indonesia ini. Berbagai peristiwa yang serupa tidak
hanya menimpa masyarakat kota, bahkan menjalar sampai ke pelosok-pelosok dan
perkampungan. Sehingga muncul berbagai asumsi dan pertanyaan besar dalam
menganalisis segala kejasian yang terjadi, “Apakah sudah begini karakter anak
bangsa yang telah terkenal dengan bangsa yang berbudaya? Akankah karakter
seperti ini akan terus berkembang sesuai tuntutan keinginan individual? Ataukah
ada penyebab lain yang memicu tumbuh suburnya problematika dan fenomena ini?
Atau apakah ada solusi yang lebih menyentuh aspek psikologi sehinga tercegahnya
kondisi seperti itu? Sehingga muncul pertanyaan besar “Ada apa dengan karakter
bangsa Indonesia”? Kesemua pertanyaan dan dugaan itu idealnya menuntut suatu
dimensis kehidupan pada pembangunan
karakter yang di sebut dengan “Building Character”.
B.
Pembahasan.
1.
Pengertian Karakter
Untuk mengetahui pengertian
karakter, kita dapat melihat dari dua sisi, yakni sisi kebahsaan dan sisi
istilah. Menurut bahasa (etimologis) istilah karakter berasal dari bahasa Latin
kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa Yunani
character dari kata characharassein, yang berarti membuat tajam dan
membuat dalam. Dalam bahasa Inggris character dan dalam bahasa Indonesia
lazim digunakan istilah karakter (Majid, 2011). Sementara itu, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata
karakter berarti sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Maka istilah
berkarakter artinya memeiliki karakter, memiliki kepribadian, berpetilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul
adalah seseorang yang berusaha melaukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan
YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).[4]
Itulah beberapa definisi tentang
karakter dari istilah akar kata dalam berbagai bahasa. Namun disini perlu juga
diketengahkan definisi istilah dari berbagai pendapat ahli tentang karakter. W.B.
Saunders, menjelaskan bahwa karakter
adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut
yang dapat diamati pada individu. Gulo W, menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian
ditinjau dari titik tolak etis atau moral,
misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang
relatif tetap. Kamisa, mengungkapkan
bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya
mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Wyne mengungkapkan bahwa kata karakter
berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to mark” yaitu menandai atau
mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku
tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara
orang yang berprilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang
berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality
(kepribadian) seseorang. Alwisol menjelaskan pengertian karakter sebagai
penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk)
baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian
kerena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik
kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan
kelingkungan sosial, keduanya relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan
mengorganisasikan aktifitas individu.[5]
Sementara Thomas Lickona memberikan
definisi tentang karakter, “A reliable inner disposition to respond to situations
in a morally good way”. Kemudian dirincinya lagi bahwa karaekter itu kepada
tiga bagian,”Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior.”[6] Menurutnya, karakter itu
akan terelaisasi dari tiga aspek; pengetahuan tentang kebaikan, komitmen untuk
berbuat baik dari dalam diri, serta bukti nyata atau realitas dari pengetahuan
dan komitmen yang nampak dari perbuatan
baik.
Beberapa dari definisi karakter di
atas mencerminkan bahwa betapa pentingnya karakter yang dimiliki individual
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian terjawab sudah apa penyebab
terjadinya kemerosotan nilai-nilai bangsa. Semua kemerosotan itu dilatar-belakangi
dengan rusaknya karakter bangsa. Buadaya-budaya yang sering terjadi di
tengah-tengah masyarkat, birokrasi pemerintahan, serta aspek kehidupan lain
akhirnya tergerus dan menjurus kepada kerusakan fatal serta terjadinya erupsi
karakter secara sistemik. Ada beberapa
kondisi yang secara tidak langsung dapat menumbuh-suburkan rusaknya karakter
anak bangsa, yakni:
a.
Budaya
di Masyarakat
Budaya yang sering terjadi di masyarakat
merupakan arena tempat menyuburkan kerusakan karakter. Sebab masyarakat yang
majemuk dan mempunyai latar belakang keinginan dan orientasi yang berbeda
selalu melakukan tindakan untuk memuluskan tujuannya masing-masing.
b.
Budaya di Pemerintahan
Apatur pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pelayan masyarakat, juga mempunyai andil dalam membentuk karakter yang
justru merusak. Segala urusan yang notabenenya harus melayani masyarakat
ternyata telah berorientasi kepada “kalau
dapat dipersulit, kenapa dipermudah”, dengan dalih ini maka munculllah
istilah “wani piro.” Segala urusan harus direalisasikan dengan budget
rupiah sebagai takarannya. Akhirnya antara aparatur pemerintah dengan
masyarakat menyamakan persepsi setiap urusan harus dengan uang tunai. Budaya
ini menyebabkan tumbuh suburnya KKN. Berapa banyak pejabat negara yang terseret
ke meja hijau dan akhirnya mendekan di terali besi.
c.
Budaya di Kalangan Pelajar
Lain lagi halnya dengan pelajar sebagai
generasi penerus bangsa. Selaku pelajar sudah banyak terjadi perubahan
nilai-nilai pendidikan. Paradigma baru yang terjadi di dalam dunia pendidikan
khususnya pelajar bahwa belajar bukanlah untuk mendapatkan ilmu, namun untuk
mendapatkan ijazah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Orientasi itu
diperparah lagi dengan adanya dunia komunikasi bertoknologi tinggi. Media-media
yang memberikan fasilitas multidimensi semakin memudahkan kaum pelajar untuk
berbuat sekehendak hati. Nilai-nilai pendidikan bagi pelajar akhirnya memudar.
Sebagaimana terjadinya siswi SMA yang mempermainkan sholat dan dishoting
melalui kamera handpon dan disebar sehingga menimbulkan konflik di
tengah-tengah masyarakat. Banyak lagi hal-hal yang telah terjadi pada kaum
pelajar yang diakibatkan oleh budaya yang berkembang dalam kehidupan
sehari-hari.
d.
Budaya dari Luar
Berbagai budaya luar yang masuk dan menjajah
budaya bangsa Indonesia yang orisinil juga turut merubah karakter bangsa kita.
Ini nampak dari bagaimana budaya Barat yang terus merambah hingga ke pelosok.
Baik dari segi pakaian, istilah, serta perbuatan yang dilakukan asal tidak
menyakiti dan menyinggung orang lain. Materialisme, komersialisasi, bahkan
sekularisme yang disuguhkan secara langsung dan tidak langsung ternyata telah
terkonsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Pemerintah dan Penanggulangan
Perbaikan Karakter Bangsa
Krisis menyeluruh yang telah membawa
masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keadaan keterpurukan, bermula dari
krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan. Para pemimpin masyarakat
mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis dari
masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling
curiga mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala “SARA” telah
mulai terbuka dalam masyrakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi
nasional. Berbagai praduga-praduga premordial dibesar-besarkan sehingga
menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan
anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin
atau penguasa berada di atas hukum. Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah
menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena
pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita
alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan
nasional.[7]
Dengan keadaan itu, maka pemerintah membentuk mekanisme baru dengan
mewujudkan generasi yang berkarakter. Perhatian pemerintah yang lebih besar
terhadap pendidikan karakter sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan
menempatkan pendidikan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab, bangsa Indonesia
ke depan akan dipegang oleh anak bangsa yang saat ini berusia antara 15 sampai
dengan 25 tahun. Jika pendidikan yang diberikan tidak mampu menjawab kebutuhan
mereka maka niscaya bangsa Indonesia akan kehilangan satu genereasi.
Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan
dan tak pernah berakhir (never ending proces) selama sebuahnbangsa ada
dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari
pendidikan alih generasi.[8]
Sejak dulu, pemerintah juga telah berusaha mengadakan tindakan
preventif guna menjaga stabilitas karakter bangsa yang telah dipaku dalam UUD
1945. Sebab dalam UUD juga telah dinyatakan bahwa Indonesia dalam hal ini ikut
aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna cerdas dalam UU ini telah
ditafsirkan sebagai kecerdasan yang multi kompleks, cerdas berfikir, cerdas
bertindak, dan cerdas dalam memaknai lingkungan.
Menyikapi permasalahan itu, pemerintah memulainya dari segi
pendidikan. Sebab untuk memperbaiki bangsa harus dimulai dari pendidikan. Maka
diprogramkanlah bagi setiap siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi dengan program P4. Dengan adanya program ini dapatlah kiranya
terseap bagi jiwa pelajar untuk memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang berakhlak, bermoral dan berkarakter
mulia.
Dewasa ini kembali pemerintah membuat program baru demi memperbaiki
karakter anak bangsa dari sektor pendidikan dengan meninggikan anggara
pendidikan 20% dari APBN. Kegunaan dari anggaran itu diperuntukkan bagi
operasional pendidikan sekaligus mendongkrak kualitas Pendidikan yang berilmu,
beriman, serta memiliki budi luhur.
Namun dalam perjalannnya, pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih
mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan, namun mengabaikan
pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam
pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian
orang mulai tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada
perilaku seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi
yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus
sejak dini. Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu
tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat,
suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan
tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat
globalisasi mempunyai faktor-faktor negatif antara lain mulai lunturnya
nilai-nilai kebangsaan yang dianggap sempit seperti patriotisme dan
nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-nilai globalisasi dan
universalisasi.
Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat
memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus 2012 yang
membahas Program Strategis Pemerintah di bidang Pendidikan berharap perlu ada
kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor pendidikan untuk memperkuat
toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi bangsa yang majemuk untuk
lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun, diajarkan, dan diperkuat
kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12 tahun, sehingga
diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9 tahun dapat
dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk karakter,
nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah
dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini
akan melekat lama.
Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara
lain National Summit dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan
pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden SBY
adalah sebagai berikut: “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan
modernisasi dewasa ini, watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi
kewajiban kita semua untuk membangun dan mengembangkannya. Character
building penting, sama dengan national development yang harus terus
menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa terang, berpikir positif, dan bersikap
optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat apapun persoalan yang dihadapi
bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan kita akan bisa terus
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.
Poin
dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis
bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter
sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua,
mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang
disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
1.
Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan
berperilaku baik;
2.
Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
3.
Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang
inovatif dan terus mengejar kemajuan;
4.
Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus
mencari solusi dalam setiap kesulitan;
5.
Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot
sejati yang mencintai bangsa, negara dan tanah airnya.
Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge,
tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan
perilaku. Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka
diharapkan dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common
sense. Tidak bisa ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk
dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di
atas.[9] Pendidikan
itu tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka dan juga bukan
hanya untuk mengembangkan inteligensi akademik peserta didik.[10] Keseimbangan
antara intelektual dan mentalitas merupakan hal yang harus tertanam dalam diri
setiap anak bangsa agar tercipta insan yang berkarakter mulia.[11]
3.
Realisasi
Penanaman Karakter di Lembaga Pendidikan
Sejauh menyangkut krisis moral/akhlak, ada
anggapan bahwa salah satu sebabnya adalah salahnya pelaksanaan sistem
pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional (baik yang dilakukan oleh
sekolah maupun madrasah) yang ada selama ini dideskripsikan oleh banyak ahli
pendidikan mengandung beberapa kelemahan berikut. Pertama, sistem pendidikan
yang kaku dan sentralistik. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah
mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Ketiga, kedua sistem
tersebut di atas (sentralistik dan tidak adanya pemberdayaan masyarakat)
ditunjang oleh sistem birokrasi kaku yang tidak jarang dijadikan alat kekuasaan
atau alat politik penguasa. Keempat
terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian dari alat birokrasi.
Kelima, pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian,
namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada anak didik. Keenam, anak
tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta
berorientasi pada keinginan.[12]
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 2 Pasal 3, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Dari fungsi dan tujuan tersebut, ada dua hal penting yang harus
diwujudkan oleh lembaga pendidikan. Pertama, mengembangan kemampuan yang
berkaitan dengan otak yang merujuk pada kualitas akademik. Kedua, membentuk
watak yang berkaitan dengan hati yang merujuk pada lulusan yang berakhlak
mulia.
Menurut
Kemdiknas komponen dari pendidikan
karakter dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Komponen
Pendidikan Karakter[13]
Dapat kiranya difahami bahwa keempat unsur itu akan mengolah anak
didik secara totalitas. Olah fikir fokusnya ke arah kecerdasan dan kreatifitas
berfikir. Olah hati titik fokusnya ke arah penanaman nilai-nilai religius dalam
diri. Sementara olah raga fokusnya menjadikan fisik dan keadaan linfkungan.
Olah rasa/karsa fokusnya menumbuh-kembangkan nilai kepekaan bathin terhadap
keadaan diri dan orang lain yang ada disekitar.
Ada
18 nilai-nilai karakter yang dapat digali dan ditanamkan antara lain sebagai
berikut:
Nilai-Nilai
Karakter
No
|
Nilai Karakter
|
Deskripsi
|
1
|
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
|
2
|
Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
3
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang
menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya.
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
|
5
|
Kerja keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6
|
Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
|
7
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas.
|
8
|
Demokratis
|
Cara berfikir,
bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
10
|
Semangat kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
|
11
|
Cinta tanah air
|
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12
|
Menghargai prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13
|
Bersahabat/komunikatif
|
Tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
|
14
|
Cinta damai
|
Sikap , perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
|
15
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
|
16
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
|
17
|
Peduli sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
18
|
Tanggung-jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
|
Pendidikan karakter harus masuk pada
setiap aspek kegiatan di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Cakupan Pendidikan
Karakter
Berdasarkan bagan pada gambar,
pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam kegiatan belajar mengajar pada
setiap mata pelajaran. Kemudian perlu dilakukan pembiasaan dalam kehidupan
keseharian di satuan pendidikan. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke
dalam kegiatan ekstrakurikuler misalnya pramuka, PMR, olahraga dan sebagainya.
Penerapan pada kehidupan keseharian di rumah harus selaras dengan penerapan
pendidikan karakter di satuan pendidikan
di jenjang PAUD, TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan Perguruan Tinggi.
Pendidikan karakter yang terintegrasi
dalam proses pembelajaran, artinya pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah
laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung di dalam
maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi
(materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan
peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai
karakter dan menjadikannya perilaku dalam kehidupan sehari-hari.[14]
Sementara implementasi pendidikan
karakter bisa dilakukan melalui:
a.
Terintegrasi dalam pembelajaran;
b.
Terintegrasi dalam pengembangan diri
melalui kegiatan ekstra kurikuler, dan
c.
Terintegrasi dalam manajemen sekolah.[15]
Pengintegrasian karakter dalam pembelajaran biasanya tergabung dalam
kurikulum yang telah dirancang oleh Kementerian Pendidikan. Rancangan itu
sengaja dalam bentuk materi pelajaran dibuat guna terciptanya pembentukan
karakter dengan memadukan antara unsur, tujuan, serta arah pendidikan yang
berkarakter memuat 18 nilai itu. Selain itu, sebagai bahan penunjang, dibuatlah
program pengembangan diri dalam bentuk akstrakurikuler. Ekstrakurikuler itu
dirancang guna mendukung kegiatan siswa di luar proses belajar mengajar,
seperti Pramuka, olah raga, kegiatan keagmaan, seni budaya, palang merah
remaja, dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan
alokasi waktu yang ada. dalam bidang manajemen sekolah, maka program yang
dilakukan adalah dengan menumbuh-kembangkan nilai-nilai ke dalam pengelolaan
sekolah yang termasuk di dalamnya peraturan, sumber daya manusia, sarana
prasarana, keuangan, perpustakaan, penilaian sekolah yang tercakup di dalamnya
seluruh stockholder yang terkait dalam pengelola pendidikan.
Penerapan
nilai-nilai karakter di sekolah haruslah diintegrasikan pada seluruh kegiatan
sekolah terutama pada saat KBM. Nilai-nilai karakter ini dapat diintegrasikan
ke dalam semua mata pelajaran dengan cara mencantumkan nilai karakter ke dalam
silabus sehingga guru harus dapat memastikan bahwa pembelajaran di kelas telah
memberikan dampak pada pembentukan karakter siswa. Hal ini sesuai dengan
pendapat McKay (dalam Barnawi & M. Arifin)[16], yaitu silabus silabus memberikan fokus
mengenai apa yang harus dipelajari serta penjelasan mengenai bagaimana konten
harus dipilih dan disusun.
Dalam
dunia perguruan tinggi juga menjadi sasaran yang sangat menentukan guna
merealisasikan karakter. Di dunia perguruan tinggi, unsur yang menjadi
sasarannya mulai dari mahasiswa, dosen, kurikulum, proses perkuliahan, hingga
pengelolaan universitas. Tawuran antar mahasiswa, pergaulan bebas, plagiasi,
hingga makelar ijazah merupakan hal yang harus diberantas. Sebab dunia
perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan yang akan terus menerus melahirkan generasi lanjutan kepemimpinan
negara ini.
Kerangka
umum dalam masyarakat akademik perguruan tinggi , menurut Djoko Santoso (2012)
terdiri atas dua unsur utama, yaitu dosen dan mahasiswa. Mereka ada dalam
lingkungan akademik yang didukung para tenaga kependidikan, infrastruktur
pendukung, dan program-program. Kedua unsur tersebut harus memiliki orientasi
ke arah perkembangan budaya akademik. Secara praktis mereka akan diikat dalam
etika akademik yang tumbuh dari nilai-nilai luhur dan berujung pada
terbentuknya budaya akademik.[17]
Budaya
kampus yang ditanamkan melalui tri dharma perguruan tinggi harus menegakkan
kebebasan berfikir yang orisinil tanpa adanya kecurangan dalam pelaksanaannya.
Kreatif mahasiswa dan inovasi dosen
dalam menciptakan budaya akademis yang sehat dan terjauh dari manipulatif
ilmiah juga harus menjadi acuan bagi perguruan tinggi.
Penekanan
nilai-nilai karakter dalam dunia pendidikan merupakan suatu keharusan dalam
menciptakan generasi bangsa yang berkualitas baik kognitif, efektif dan
psikomotorik serta memiliki kecintaan terhadap nilai-nilai agama, budaya serta
tatanan moral dan etika. Untuk itu, perbaikan dimasukkan ke dalam sistem
administrasi, tata kerja, sumber daya manusia, serta aturan-aturan yang ada.
4.
Islam dan Pembentukan Karakter (Character
Building)
Islam banyak menegaskan tentang
pentingnya pembentukan karakter. Realitas karakter dimanifestasikan dalam
akhlak. Sudah barang tentu yang dimaksud akhlak yang merujuk pada masa ketika
Nabi mulai diutus adalah dalam pengertian luas, termasuk-atau bahkan terutama
sekali etika sosial. Ada sebuah hadis Nabi Bu’itstu li-utammima makarim
al-akhlaq (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia/memperbaiki
akhlaq). kalau kita perhatikan, memang banyak sekali nilai-nilai ajaran moral
terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi. Ambil contoh, adil, ta’awun ala
birri wa al-taqwa, benar, amanah, terpuji, bermanfaat, respect
(menghargai orang lain), sayang, tanggung jawab, dan lain-lain. Semua ini
merupakan perilaku moralitas individual terhadap kehidupan sosial atau
berdampak pada kehidupan sosial (beretika sosial) dengan landasan nilai-nilai
ajaran Islam.[18]
Pada hakikatnya Islam merupakan
agama yang secara totalitas membentuk karakter manusia. Pembentukan karakter itu
dibina melalui tiga asas, yaitu: akidah (keimanan), syariah (amalan ibadah),
dan akhlak (karakter). Akhlak merupakan manifestasi nyata dari kepercayaan
(iman) kepada rukun yang enam, dengan keimanan yang teguh itu akan memnumbuhkan
pengabdian dalam bentuk ibadah atau rukun Islam. Dalam keimanan (terutama Kepada Allah dan
rasul-Nya) akan terbentuk nilai
keteguhan bathin bahwa Allah Yang Maha Segalanya akan memberikan sugesti dalam
diri bahwa apapun yang dilakukan semuanya akan diketahui Sang Khaliq. Sementara
dalam ibadah yang dilakukan (shalat, puasa, zakat dan haji), semuanya itu
merupakan simbol sebuah pembentukan karakter individual. Setelah kedua asas
tadi menyatu dalam diri seseorang, maka dengan sendirinya akhlakpun tercipta
dalam bentuk akhlakul mahmudah (akhlak yang baik). Akhlak inilah bukti nyata
bahwa Islam telah terlebih dahulu menjadi sebuah mesin pencetak karakter
manusia.
Dalam pendidikan Islam pembentukan
karakter itu seyogyanya dilakukan sejak anak berada di dalam rahim ibunya.
Penanaman nilai-nilai itu tercipta atas dasar kebiasaan yang ditanamkan sejak
dini. Ini dijelaskan dalam Q.S. An-Nahl/78 sebagai berikut:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
78. dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Setidaknya dari ayat di atas
pembinaan karakter itu dapat dialirkan dari tiga jalur yaitu pendengaran,
penglihatan serta hati. Pembentukan karakter melalui penglihatan dapat
diartikan sebagai pembelajaran yang didapatkan dari apa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Pendengaran juga merupakan sarana yang sangat membantu
dalam mencerna apa yang diisukan meskipun tanpa dilihat. Sementara hati
merupakan sarana yang memberikan motivasi kuat dari apa yang dilihat dan
didengar.
Dari pengertian diatas, maka dapat
diambil makna, bahwa pembentukan karakter tidak boleh hanya dengan mendengar
saja atau melihat saja, namun harus terpadu (mahdhah) dalam sebuah sistem.
Demikian juga dalam pendidikan, jangan terlalu berharap banyak dalam
memperbaiki karakter siswa hanya dengan nasehat saja, tetapi realitas yang
menyampaikanpun harus ada kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
Islam telah mengisyaratkan
pembentukan karakter ini melalui ayat dan hadis nabi. Islam menunjuk 3 potensi
dasar yang dikaruniai oleh Allah kepada manusia, yakni:potensi jisim (fisik),
potensi akal, dan potensi qalbu. Potensi tersebut secara utuh dan bersama-sama
dijadikan sasaran garapan pembinaan dalam upaya meningkatkan kualitas manusia.[19] .
Harus diakui, bahwa salah satu
faktor penentu dalam pembentukan karakter adalah dunia pendidikan. Faktor ini
merupakan pabrik pencetak manusia yang berkarakter. Namun kalau dikaji lebih
mendalam maka dari lembaga pendidikan yang ada yang lebih cocok sebetulnya
untuk membentuk karakter itu adalah lembaga pendidikan Islam dalam hal ini
madrasah. Sebab madrasah dengan segala macam materi ajarnya ternyata banyak
melibatkan aspek agama disamping aspek umum. Lembaga pendidikan umum seperti
sekolah hanya menyediakan 2 jam saja pendidikan agama. Kalau dihitung-hitung
secara materi dan lamanya belajar sekolah lebih sedikit jamnya. Tetapi kalau
madrasah materi pelajaran agama lebih banyak.
C.
Kesimpulan.
Character
Building (pembentukan
karakter) merupakan suatu keharusan dalam membangun mentalitas bangsa ini. Hal
ini disebabkan bahwa realitas yang ada sangat memberikan peluang bagi terjadinya
kemerosotan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saling
tuduh antara pengelola pendidikan, masyarakat serta pemerintah sebagai
pengelola negara bukan merupakan solusi pemecahan masalah (problem solving).
Namun saling bahu-membahu serta kerjasama antar lembaga, antar masyarakat
hingga aparat hukum akan menjadikan awal keberhasilan dalam membentuk akarakter
bangsa ini.
Hasil
usaha dalam pembentukan karakter yang telah digulirkan ini tidak serte-merta dapat dilihat dalam
jangka waktu yang singkat. Ini diakibatkan adanya proses yang panjang (long process) dalam beberapa puluh
tahun ke depan. Membangun bangunan raksasa memang bisa diprediksi kesiapannya,
tapi membangun mental yang berkarakter jauh lebih susah dan rumit dari itu.
Usaha
pemerintah dalam hal ini , setidaknya akan membuka lembaran baru demi kemajuan
bangsa dan negara. Bangsa yang berbudi luhur akan menjadikan negara yang
disegani di dunia internasional. Dunia pendidikan merupakan perpanjangan tangan
yang diharapkan mampu mewarnai karakter bangsa ini menjadi insan yang kamil
sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Islam melalui al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Arifin, M dan Barnawi . Strategi
& Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter .Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media: 2012.
Azizy, Qodry A. Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial.
Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi .
Bandung: Alfabeta, 2012.
Hasan, Muhammad Thoha. Islam dan Sumber Daya Manusia.Jakarta:
Lantabora Press, 2003.
Kartadinata, Sunaryo Kartadinata “Pengantar” dalam Educating for
Character terj. Uyu Wahyudin, Mendidik Untuk Membentuk Karakter . Jakarta:
Bumi Aksara, 2012.
Lickona,
Thomas Educationfor Character: How
Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York, Toronto, London,
Sydney, Aucland: Bantam Books, 1991.
Mahmud, “Pengantar” dalam Heri Gunawan. Pendidikan Karakter Konsep
dan Implementasi . Bandung: Alfabeta, 2012.
Thanon Aria
Dewangga http://www.unidayan.ac.id/:pendidikan-karakter-untuk-membangun-manusia-indonesia-yang-unggul
diakses 2/4/2014
Tilaar,H.A.R. Paradigma Pendidikan Nasional. Jakarta:
PT.Rineka Cipta, 2004.
Wibowo, Agus . Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep
dan Prektik Implementasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Wibowo, Agus. Pendidikan
Karakter di Perguruan Tinggi .Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter
Bangsa Berperadaban .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
[1] A. Qodry A. Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun
Etika Sosial (Semarang:CV. Aneka Ilmu, 2003), h. 2.
[2] Ibid., h. 8
[3] Mahmud,
“Pengantar” dalam Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep
dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012), h.vi
[4] Heri Gunawan, Pendidikan
Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012), h.2
[6] Thomas
Lickona, Educationfor Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility (New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books,
1991), h. 51
[7] H.A.R.Tilaar, Paradigma
Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2004), h. 5-6
[8] Sunaryo
Kartadinata, “Pengantar” dalam Educating for Character terj. Uyu Wahyudin, Mendidik
Untuk Membentuk Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. vii
[9] Thanon Aria Dewangga http://www.unidayan.ac.id/:pendidikan-karakter-untuk-membangun-manusia-indonesia-yang-unggul diakses
2/4/2014
[10] H.A.R. Tilaar,
Paradigma Baru Pendidikan…., h.20
[11] Karakter mulia
berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai
dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis,
analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta
ilmu, sabar, berhati-hati, dan nilai-nilai lainnya.
[12] A. Qodry A.
Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun……,8-12
[14] Agus Wibowo, Manajemen
Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Prektik Implementasi),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 16
[15] Agus Wibowo, Pendidikan
Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), h. 15
[16]
Barnawi dan M. Arifin. Strategi &
Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media:
2012), h. 70
[17] Agus Wibowo, Pendidikan
Karakter di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), h. 27
[18] Qodri A.
Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003), h. 81-82
[19] Muhammad Thoha
Hasan, Islam dan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2003),
h. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar