Minggu, 13 Maret 2016

BIMBINGAN KONSELING ISLAMI



KONSELING ISLAMI DAN PROBLEM SOLVING
OLEH : ABDUSIMA NASUTION, S.Ag., MA
Pendahuluan
            Diantara problem yang sedang dihadapi manusia sekarang adalah kemiskinan yang semakin meluas.[1] Kompleksitas permasalahan dalam kehidupan sehari-hari terus berkembang sesuai dengan banyaknya kondisi yang dihadapi. Permasalahan-permasalahan itu ada yang berupa masalah keluarga, frustasi, ketakutan, ekonomi, persaingan, hingga perilaku yang menyimpang. Bisa saja permasalahan itu muncul akibat faktor dalam diri dan bisa juga diakibatkan lingkungan tempat tinggal, tempat kerja, pasangan, hingga pergaulan.
            Salah satu jalan keluar (problem solving) yang akan membantu dari permasalahan itu adalah konseling. Konseling islami merupakan salah satu pemecahan yang arif, sebab dalam konseling islami itu menitik beratkan pemecahan masalah dari aspek psikologi melalui terapi al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Konseling islami merupakan bentuk penanganan permasalahan yang berangkat dari permasalahan yang ada dan diarahkan melalui jalan religiusitas keimanan,
            Dalam mengkaji Permasalahan yang dihadapi (problem) sebaiknya terlebih mengkaji bagaiamana pandangan islam tentang permasalahan yang ada pada manusia. Setelah ini difahami, maka akan dilanjutkan dengan membangkitkan kemampuan diri (power self) dalam memecahkan permasalahan melalui rentetan/alur yang akan memberikan proses pemecahan masalah.
            Kedua kajian ini (konseling Islami dan problem solving) merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sebab dalam konseling itu intinya adalah pemecahan masalah (problem solving). Setiap manusia pasti membutuhkan kedua unsur ini. Sebab manusia merupakan makhluk yang tidak terlepas dari berbagai masalah (complecitas problem). Dimana saja, kapan saja, dan kondisi apa saja pun problematika pasti ada. Untuk itu, penanganan masalah itu harus terlebih dahulu mengetahui akar permasalahan sehingga akan memudahkan pemecahan masalah.
Pembahasan
A.    Pandangan Islam Tentang Masalah pada Manusia
Dalam ayat-ayat suci al-Qur’an, terdapat sejumlah pernyataan yang mendudukkan manusia sebagai makhluk pilihan, makhluk berkualitas tinggi, makhluk kreatif dan produktif, dengan sederet istilah yang dipasang:
-          Sebagai khalifah di bumi
-          Sebagai makhluk yang diunggulkan
-          Sebagai pewaris kekayaan bumi
-          Sebagai penakluk sumber daya alam
-          Sebagai pengemban amanat, dan lain-lain.[2]
Ungkapan-ungkapan di atas merupakan tanggung jawab selaku manusia yang telah ditadqirkan Allah selama hidup di atas dunia ini. Namun harus dipahami bahwa dalam mengelola dan melaksanakan tanggung jawab itu, maka disitu pulalah berbagai permasalahan muncul dalam diri setiap manusia.
Pada dasarnya, keberadaan manusia yang telah digariskan Allah sebagai makhluk pilihan ternyata dalam kehidupannya selalu berhadapan dengan berbagai masalah. Masalah-masalah yang terjadi telah menumbuh-kembangkan  suatu keadaan krisis multidimensi. Krisis-krisis yang dihadapi oleh masyarakat dunia, baik krisis lingkungan maupun krisis manusia.[3]
Selaku makhluk Allah yang sempurna dan dikaruniai berbagai kelebihan dari makhluk lain, ternyata manusia tidak lepas dari berbagai permasalahan. Meskipun manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka (manusia-pen) dimulai dari kelemahan dan ketidak-mampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya.[4]
Modernisasi yang terjadi, ternyata telah membawa perubahan-perubahan psikososial, dimana terjadi pula perubahan nilai-nilai kehidupan, yang antara lain dapat dilihat dari hal-hal berikut ini, yaitu:
a.       Pola hidup masyarakat dari yang semula sosial religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual materialistis dan sekuler.
b.      Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.
c.       Struktur keluarga yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family, bahkan sampai kepada single parent family.
d.      Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan rapuh.
e.       Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat, cenderung berubah menjadi masyarakat modern bercorak sekuler dan serba boleh (permissive society) .
f.       Lembaga perkawinan mulai diragukan, dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
g.      Ambisi karier dan materi yang tak terkendali dapat mengganggu interpersonal baik dalam keluarga maupun di masyarakat.[5]
Dari perkembangan peradaban manusia di muka bumi ini, maka kondisi-kondisi seperti itu telah menjamur di tengah-tengah kehidupan. Ada yang telah larut dan terbuai dalam momongan realitas, dan ada yang hampir terkontaminasi, dan ada pula yang tidak sadar bahwa dia telah terjerumus ke dalam keadaan itu.
Kondisi-kondisi seperti itu akhirnya menghantarkan manusia ke gerbang permasalahan yang lebih kompleks dan terkombinasi melalui kebutuhan hidup. Beratnya permasalahan itu tidak sedikit membawa ke arah penyakit jiwa yang biasa disebut stres. Kini masalah kesehatan tidak lagi hanya menyangkut beberapa angka kematian (mortalitas) atau angka kesakitan (morbilitas), melainkan mencakup ruang lingkup kehidupan yang lebih luas, yaitu berbagai faktor psikososial yang dapat dan merupakan stres kehidupan anggota masyarakat, yaitu:
a.       Tidak adanya jaminan sosial (loss of social security)
b.      Pengangguran (unemployment)
c.       Penyalah-gunaan obat/narkotika (drug abuse)
d.      Penyalah-gunaan minuman keras (alcoholism)
e.       Kejahatan (crime)
f.       Kenakalan remaja (juvenile delinquency)
g.      Kemiskinan (proverty)
h.      Bunuh diri (sucide)
i.        Orang-rang lanjut usia (elderly people)
j.        Orang-orang dengan kelainan kepribadian (inadequate/psuchopatic personality).[6]
Faktor penyebab di atas akan bermuara kepada gejolak permasalahan bagi manusia. Sehingga dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia mempunyai berbagai permasalahan seperti yang disinyalir dalam firman Allah Swt:
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur
 ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ  
155. dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.[7]
Dari ayat itu bisa diindikasikan bahwa permasalahan pada manusia pada al-Qur’an ketakutan, kelaparan, harta benda yang berkurang, kematian, dan paceklik (ruginya hasil pertanian). Ketakutan-ketakutan itu akan membawa kepada suatu permasalahan jiwa yang harus ditangani seperti stres. Goncangnya kejiwaan (stres) diawali dengan keluh kesah jiwa. Memang manusia itu telah diciptakan bersifat keluh kesah. Ini dinyatakan dalam firman Allah:
* ¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd ÇÊÒÈ   #sŒÎ) çm¡¡tB Ž¤³9$# $Yãrây_ ÇËÉÈ  
#sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB ÇËÊÈ                            
19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
20. apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,
21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.[8]

Permasalahan keluh kesah, stres, dan ketakutan ini kalau dilihat dalam relitas kehidupan manusia pada umumnya digolongkan kepada jenis stres psikososial sebagai berikut:
a.       Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang; misalnya pertengkaran, perpisahan (separation)  perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidak-setiaan, dan lain-lain sebagainya. Stres perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
b.      Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit; hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya. Permaslahan tersebut di atas dapat merupakan sumber stres yang pada gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.
c.       Hubungan interpersonal (Antar pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dengan bawahan, dan lain sebagainya. Konflik hubungan interpersonal ini dapat merupakan sumber stres bagi seseorang, dan yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya.
d.      Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masa perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, keholangan pekerjaan (PHK), dan lain sebagainya.
e.       Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang ururk besar pengaruhnya bagi kesehatan sesorang, misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggususran, hidup dalam lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa tercekam dan tidak aman ini amat mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh ke dalam depresi dan kecemasan.
f.       Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan, dan lain sebagainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang dan sering kali masalah keuangan ini merupakan faktor yang membuat seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
g.      Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres pula, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Stres di bidang hukum ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi kecemasan.
h.      Perkembangan
Yang dimaksud di sini adalah masalah perkembangan baik fisik maupun mental seseorang misalnya masa remaja, masa dewasa, manipause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sementara individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan; terutama mereka yang mengalami manipause dan usia lanjut.
i.        Penyakit fisik atau cidera
Sumber stres yang dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini adalah antara lain: penyakit, kecelakaan, operasi/pembedahan, aborsi, dan lain sebaginya. Dalam hal penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker, dan sebangsanya.
j.        Faktor keluarga
Yang dimaksud di sini adalah faktor stres dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak baik (yaitu sikap orang tua), misalnya:
1.      Hubungang kedua orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak acuh
2.      Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-anak
3.      Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik
4.      Kedua orang tua berpisah atau bercerai
5.      Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa/kepribadian
6.      Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter, dan lain sebagainya.
k.      Lain-lain
Stresor kehidupan lainnya juga dapat menimbulkan depresi dan kecemasan adalah antara lain, bencana alam, kebarakaran, perkosaan, kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.[9]
Permasalahan manusia itu sebenarnya telah dahulu diuraikan dalam al-Qur’an. Kerusakan dalam bentuk masalah itu sebenarnya berasal dari diri manusia itu sendiri. Sebagimana firman Allah:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/
Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  
41. telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[10]

Manusialah yang berpotensi membesar-besarkan masalah itu diakibatkan kondisi yang dihadapinya. Ketidak mampuan memecahkan masalah berasal dari jauhnya hati dalam memaknai dan mengimani ilmu ketauhidan.
Pada dasarnya permasalahan yang ada pada manusia itu secara ilmu jiwa terjadinya itu didorong oleh faktor dorongan fisiologis dan dorongan psikis. Dorongan-dorongan fisiologis (disebut juga dorongan primer) ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan kekurangan atau hilangnya keseimbangan yang terjadi dalam jaringan-jaringan tubuh. Dorongan-dorongan ini mengarahkan tingkahlaku individu pada tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis tubuh atau menutup kekurangan yang terjadi pada jaringan-jaringan tubuh dan mengembalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya. Sementara dorongan-dorongan psikis (disebut pula dorongan-dorongan sekunder, atau dorongan yang diperoleh dengan belajar, atau dorongan sosial) dorongan-dorongan ini diperoleh lewat belajar selama proses sosialisasi yang dilalui seseorang.[11]
Kalau ditanyakan mengapa manusia itu terjangkiti berbagai masalah? Maka jawabannya ada pada dorongan diri dalam mencapai tujuan. Demi mencapai dan mendapatkan sesuatu, maka berbagai carapun dilakukan. meski terkadang jalan yang ditempuh mendatangkan resiko yang fatal. Seperti halnya terganggunya kesehatan yang diakibatkan dengan pola makan yang tidak teratur. Sehingga menyebabkan berkembangnya penyakait dalam tubuh dan akhirnya akan mendatangkan masalah bagi manusia. Hubungan asmara/kasih sayang  yang merupakan kebutuhan yang didiorong oleh faktor psikologis juga mendatangkan masalah bagi manusia. Termasuk juga bagi yang ingin mendapatkan harta (materialistis) yang didorong oleh kebutuhan diri kahirnya kekurangan, kelebihan serta cara mendapatkannya pun akan memberikan maslah bagi manusia. Kompleksitas problem/masalah itu jelas terjadi akibat diri manusia itu sendiri.
B.     Potensi Dasar Manusia Dalam Menyelesaikan Masalah
Allah Swt telah menciptakan manusia dengan berbagai kelebihannya. Mulai dari fikiran, bertindak, serta kemampuan dalam mengaktualisasikan diri.  Kemampuan manusia itu merupakan titik sentral dalam mengatasi masalah. Banyak ungkapan dalam al-Qur’an  yang menyatakan suruhan untuk memikirkan apa yang ada, termasuk masalah yang ada.
Insan adalah makhluk yang tersusun paling kompleks dari aspek luar maupun aspek dalamnya, dan adalah satu-satunya model dan satu-satunya prototype (model asli) yang kita kenal sebagai makhluk yang mampu memproblemkan dirinya sendiri.[12] Kompleksnya permasalahan dalam diri manusia itu mampu diselesaikan sebenarnya jika digunakan dengan kemampuan atau potensi yang ada dalam  dirinya.
Potensi itu lebih dikenal dengan fitrah yang diberikan Allah Swt bagi manusia. Manusia, antara satu sama lainnya, mempunyai banyak perbedaan dalam kesiapan  dan kemampuan fisik, psikis, dan intelektual mereka. Perbedaan-perbedaan ini terjadi karena interaksi antara faktor-faktor keturunan dan lingkungan. [13] Hal ini bisa saja menjadi faktor yang menentukan terhadap kesiapan mental dalam memahami masalah yang terjadi. Orang yang garis keturunannya tergolong keturunan yang tegar bisa menjadi lentur dan lemah dalam menghadapi masalah dengan adanya pengaruh lingkungan. Sebaliknya dikarenakan lingkungan yang sudah terbiasa dengan berbagai masalah maka masalah itupun menjadi enteng dan mudah untuk diatasi.
Potensi dasar yang berbeda itu sangat tergantung dari seberapa berat masalah yang dihadapi. Terkadang perbedaan sudut pandang dan orang yang menghadapi masalah bisa menyebabkan permasalahan itu berat-seberat-beratnya. Lain halnya apabila yang menghadapi masalah itu orang lain, maka bisa saja orang yang berada di luar masalah itu menganggap itu masalah biasa, sementara bagi yang menghadapi masalah itu sangat berat sekali.
Al-Qur’an juga memberikan dorongan kepada manusia untuk memikirkan tentang dirinya sendiri, tentang keajaiban penciptaan dirinya, dan kepelikan struktur kejadiannya. Ini mendorong manusia untuk mengadakan pengkajian tentang jiwa dan rahasia-rahasianya. Sebab, pengetahuan akan mengantarkan kepada pengetahuan Allah Swt.[14] Sebagaimana firman Allah Swt:
Îûur ÇÚöF{$# ×M»tƒ#uä tûüÏZÏ%qçHø>Ïj9 ÇËÉÈ   þÎûur ö/ä3Å¡àÿRr& 4 Ÿxsùr& tbrçŽÅÇö7è? ÇËÊÈ  
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?[15]
Potensi yang dimiliki manusia dalam mengatasi masalah yang dihadapinya juga telah dinyatakan Allah dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an sebagaimana  firman Allah Swt:
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka  merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[16]
Sementara itu, dari sudut pandang filsafat juga ada diketengahkan bagaimana kemampuan manusia dalam mengatasi masalah yang dihadapinya seperti yang dikutip oleh Prayitno dari penulis Barat yang menyatakan bahwa manusia itu pada hakikatnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.      Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2.      Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya khususnya apabila dia beriasaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3.      Manusia berusaha terus-menerus mengambangkan dan menjadikan dirinya sendiri, khusunya melalui pendidikan.
4.      Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan bururk dan hidup berarti serta berupaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengintrol keburukan.[17]
Dari penjelasan di atas nyatalah bahwa kemampuan manusia dalam memahami permasalahan akan tercipta dari berbagai unsur penunjang seperti; keluasan berfikir, ilmu pengetahuan, belajar dari pengalaman, keinginan untuk memecahkan masalah, serta jenjang pendidikan yang dilaluinya. Artinya, makin matang kemampuan berfikir dan ilmunya maka makin kompleksnya penegtahuannya dalam mamahami dan mengatasi masalah.
Setiap orang punya masalah tentunya tidak menginginkan masalah itu berlarut-larut bersamanya, dan sebaliknya dia berusaha mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dialaminya itu. Sebahagian orang dapat keluar dari masalahnya berkat kesungguhan, percaya diri (optemisme) dan kedalaman agama yang ia miliki, tetapi juga tidak jarang di antara manusia tidak bisa keluar dari masalahnya tanpa bantuan, arahan dan peranan orang tua.[18]  Disinilah betapa pentingnya bersosialisasi dengan masyarakat dan terus berusaha meningkatkan pengamalan agama. Sebab tidak semua permasalah bisa diselesaikan dengan ilmu dan nasehat orang saja. Aspek ajaran agama dalam perspektif keimanan juga menentukan berat ringannya permasalahan itu. Manusia itu merupakan makhluk yang lemah dan esensinya tergolong kepada lemahnya dimata Tuhan. Saat manusia telah berusaha dengan kemampuan kemanusiaannya, maka saat itu pulalah harus kembali ke dalam tuntunan agama.
Dalam mengembangkan dimensi kemanusiaan tersebut setiap manusia memiliki daya cipta, rasa, karsa, karya dan taqwa yang dinamakan dengan panca daya. Panca daya merupakan perangkat instrumental dalam mengembangkan kebulatan dan keutuhan yang ada dalam diri manusia. Panca daya yang dimiliki manusia akan berkembang dengan baik bila ditunjang dengan berbagai aspek di luar lingkungan individu. Aspek yang dimaksud ialah gizi, penerimaan dan sikap, pendidikan, budaya dan kondisi incidental yang dinamakan lima lingkungan di luar individu (likadu). Perwujudan aktualisasi diri manusia yang diabstraksikan sebagai tingkah laku yang bulat dan utuh akan berkembang dengan baik bila manusia dalam kondisi rasa aman, memiliki kompetensi/keterampilan, aspirasi, semangat dan kesempatan yang kondusif. Kelima kondisi ini dinamakan lima kondisi individu (masidu) yang dijaga dengan sebaik-baiknya. Pilar pengembangan sumber daya manusia ini adalah pancadaya, karena itu perlu diurus, diperhatikan dan diarahkan secara selaras, serasi dan seimbang dengan berpatokan kepada harkat dan martabat manusia untuk mengatur dan membentuk pola, rekayasa dan pengarahan dari perkembangan tingkah laku manusia.[19]
Potensi-potensi yang dimiliki manusia merupakan anugerah Sang Pencipta bagi keberlangsungan hidup. Tinggal lagi bagaimana mengelola potensi itu dan dapat diaplikasikan terhadap problema yang terjadi. Kesiapan mental dan keluasan cakrawala berfikir merupakan unsur terpenting dalam memahami masalah.
C.     Keberanian Mengambil Keputusan
Tidak semua orang mampu mengekspresikan masalahnya secara gamblang di tengah-tengah kehidupannya. Banyaknya faktor-faktor yang selalu menekan individual sehingga mengakibatkan dirinya hanyut dan terbenam dalam masalah yang dihadapinya. Tak jarang seseorang itu terus dan terus memendam permasalahan itu dan bahkan tak jarang melampiaskannya kepada hal-hal yang dianggapnya mampu memberikan jalan keluar yang ternyata justru menambah besarnya masalah yang dihadapinya.
Bisa dilihat, betapa banyaknya orang yang dihimpit permasalahan yang akhirnya mengambil langkah yang salah, seperti; bunuh diri, frustasi, penggunaan narkotika, minuman keras dan yang lebih sadis lagi menghilangkan nyawa orang lain dengan alasan hal itu bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapinya.
Setiap ada masalah, hal yang seharusnya dilakukan adalah menumbuhkan keberanian untuk menyelesaikannya. Dalam keberanian ini, maka ada dua unsur yang memegang peranan penting atas permasalahan yang dihadapi bisa terselasaikan, berani mengungkapkan dan berani mengambil tindakan tegas. Tidak semua orang yang bermasalah berani mengemukakan permasalahan yang diahadapinya apalagi kepada orang lain. Terkadang keberanian itu muncul seketika, dan berniat untuk mengkomunikasikannya dengan orang yang berkompeten dalam memberikan solusi dalam hal ini konselor.
Keberanian semacam ini harus dimulai dari diri seseorang yang menghadapi masalah. Permasalahan yang dia hadapi wajib disampaikan secara terinci agar yang memberikan solusi (konselor) bisa menganalisa demi terciptanya solusi yang terbaik. Biasanya bagi orang yang menghadapi permasalahn itu terkesan malu apabila permasalahannya diketahui orang lain. Namun apabila permasalahan itu berkepanjangan dan tak terselesaikan,maka barulah menyerah dan berkonsultasi dengan konselor. Sama halnya dengan orang yang menderita suatu penyakit. Apabila penyakit itu masih bisa ditahankannya, maka ia akan berusaha menahankannya selagi ia bisa. Namun apabila sakitnya itu sudah kronis dan tak tertahankannya lagi, baru ia menyerah dan membawanya ke dokter.
Keberanian seseorang ada juga yang secara spontanitas dalam mengambil sebuah keputusan. Biasanya orang seperti ini adalah orang yang telah terbiasa mengahadpi persoalan-persoalan dalam diri, keluarga, bahkan di masyarakat. Namun harus diakui biasanya orang yang mengambil keputusan itu akan menyesali dirinya andai saja keuputusan yang diambilnya itu ternyata salah.
Bagi seorang konselor yang berkecimpung dalam dunia konseling, biasanya terlebih dahulu membangkitkan keberanian klienya agar terbuka menjelaskan permasalahannya. Sebab harus disadari bahwa dalam diri klien itu terkadang muncul resistensi. Resisten adalah suatu proses mengelak untuk berkomunikasi tentang diri apabila ditanya oleh seseorang. Hal ini karena berupaya untuk menimbulkan ketidak bahagiaan dan kegelisahan. Dalam kata lain resisten dilihat sebagai keengganan klien untuk berubah dalam proses konseling.[20]
Jadi dapat difahami bahwa sebenarnya keberanian dalam mengambil keputusan itu harus disadari oleh kedua belah pihak. Konselor harus berani mengambil keputusan dalam bertindak, sementara klien harus berani dalam mengeluarkan penjelasan tentang masalah yang dihadapinya. Setelah permasalahan itu diuraikan dan difahami oelh konselor, maka langkah selanjutnya yang diambil oleh konselor yaitu memproses pengambilam keputusan.
D.    Langkah-langkah Pengambilan Keputusan Yang Tepat
Hal yang terpenting dalam mengahadapi masalah adalah mengambil keputusan (problem solving) dari permasalahan yang ada. Pengambilan keputusan ini menghasilkan jalan keluar dari permasalahan yang sangat diharapkan oleh orang yang menghadapi masalah. Hal yang harus ditekankan dalam mengambil keputusan adalah bagaimana langkah-langkah yang akan diambil dalam memecahkan masalah (problem solving) sehingga dengan langkah tersebut tercipta solusi yang universal dan terarah.
Menurut Utsman Najati[21] ada lima langkah berfikir dalam memecahkan masalah. Langkah-langkah berfikir tersebut bisa diikhtiarkan sebagai berikut:
Pertama: kesadaran akan adanya problem
Pemikiran bermula ketika seseorang merasakan adanya suatu problem yang penting baginya, dan ia merasakan adanya dorongan yang kuat untuk memecahkannya, agar supaya ia bisa sampai pada tujuan yang ingin dicapainya. Kesadaran akan adany problem ini merupakan langkah awal dalam proses pemikiran.
Kedua : penghimpunan data mengenai problem yang dihadapi
Ketika seseorang merasakan adanya suatu problem, biasanya ia berusaha mengkaji problem itu dari berbagai aspeknya, agar ia bisa memahaminya dengan baik, dan menghimpun berbagai data dan informasi yang berkaitan dengannya. Pun ia berusaha meneliti data dan  informasi data itu secara mendalam, guna mengetahui relevansi data informasi tersebut dengan problem yang dihadapinya. Data dan informasi yang relevan dengan problem itu diambilnya, sementara yang tidak relevan ditinggalkannya. Penghimpun data dan informasi yang relevan dengan problem yang ada membantunya dalam meperjelas, memahami, dan membatasi problem itu dengan teliti, sehingga bisa mengantarkkannya untuk menyusun berbagai hipotesa guna memcahkan problem tersebut.
Ketiga: Penyusunan Hipotesa
Selama data dan informasi sedang dihimpun, pada benak yang bersangkutan terbersit beberapa kemungkinan jalan keluar ata hipotesa bagi problem tersebut atau beberapa hipotesa.
Keempat: Penilaian Terhadap Hipotesa
Ketika seseorang sedang memikirkan suatu problem,  biasanya ia berusaha menguji dan mendiskusikan hipotesa tersebut berdasarkan berbagai data dan informasi yang dimilikinya. Ini untuk mengetahui sejauhmana kelayakan dan kecocokan hipotesa tersebut untuk memecahkan problem tersebut. Kadang-kadang orang itu mendapatkan bahwa hipotesa yang disusunnya tidak sesuai dengan sebagian data dan informasi tentang problem yang ada. dalam keadaan demikian, ia akan meninggalkan hipotesa tersebut dang menganggapnya tidak memeadai untuk memecahkan problem yang dihadapinya. Dan ia akan menyusun hipotesa lain yang kemudian diuji dan didiskusikannya seperti halnya yang telah ia lakukan pada hipotesa yang pertama. Proses ini terus berlangsung hingga akhirnya ia sampai pada suatu hipotesa yang bisa diterima dan cocok dengan berbagai data dan informasinya tentang problem yang dihadapinya dan cocok untuk memecahkan problem tersebut.
Kelima: Pengujian Kebenaran Hipotesa
Setelah hipotesa-hipotesa yang tidak alayk dijauhkan dan hipotesa yang alayk didapatkan, biasanya seseorang akan mengumpulkan berbagai data lain, mengadakan berbagai percobaan, guna mengetahui sejauh mana kebenaran hipotesa tersebut.
Langkah-langkah dalam memecahkan masalah (problem solving) yang telah disampaikan di atas bisa menjadi acuan guna memberikan solusi yang dihadapi klien. Seharusnya konselor harus ememahami sistematika ini sehingga solusi itu berkekuatan dan berkualitas dalam memberikan jalan yang terbaik.
Tidak jauh beda dengan langkah-langkah tersebut, Jhon Dewey yang dikutip oleh Arikunto (1993) juga memberikan enam langkah sebagai dasar acuan formal pemecahan masalah, yaitu:
1.      Mengidentifikasi masalah
Masalah-masalah biasanya cukup luas dan kadang-kadang bercampur dengan masalah-masalah lain sehingga nampak ruwet dan seolah-olah tidak dapat atau tidak mudah diatasi. Untuk masalah yang menyatu atau hampir bersamaan perlu dirincikan, sehingga jelas batas-batasnya.
2.      Merumuskan masalah
Langkah ini merupakan sesuatu yang paling kritis di dalam langkah-langkah problem solving, karena baiktidaknya rumusan masalah akan menentukan dipahami dan diterimanya masalah oleh orang lain sebagai masalah yang perlu dipecahkan.
3.      Menentukan alternatif-alternatif pemecahan
Pada tahap ini perlu diingat faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah dan hal-hal yang berkenaan dengan hadirnya masalah yang akan dipecahkan.
4.      Mengidentifikasi akibat atau konsekwensi dari pengambilan setiap alternatif. Berbagai ahli dalam hal ini mengusulkan dipertimbangkannya unsur dana, agar akibat dari problem solving merupakan sesuatu yang sudah dilihat efisiensinya.
5.      Memilih alternatif yang terbaik
Dalam hal ini, seorang konselor perlu membandingkan dan memilih alternatif yang terbaik (yang paling sedikit dampak negatifnya) dari beberapa alternatif yang ada.
6.      Menguji akibat-akibat dari pengambilan keputusan.
Sebelum pemecahan masalah dilakukan, sebaiknya diuji terlebih dahulu akibat-akibat negatif serta kelemahan apa yang akan diperoleh setelah keputusan diambil, atau dengan kata lain sebelum pemecahan masalah dijalankan perlu dianalisa kemungkinan apa yang akan terjadi setelah menetapkan pilihan itu.
Dari kedua model langkah-langkah pemecahan masalah di atas memang ada sedikit perbedaan. Kalau Utsman Najati mengawalinya dengan adanya pemahaman akan eksistensi awal masalah.  Sehingga konselor akan lebih faham betul problem yang terjadi bagi kliennya. Sementara itu dari segi efisesnsi kerja secara rinci, John Dewey memberikan rincian yang lebih akurat. Pandangan Jhon Dewey ini menguraikan sampai kepada dana, akibat positif dan akibat negatif dalam proses pemcahan masalah. 
E.     Upaya Konseling Islami Menumbuhkan Keberanian Manusia
Konseling Islami merupakan cara dalam mengatasi berbagai permasalahan yang melanda jiwa atau mentalitas manusia. Pada seminar Bimbingan dan Konseling Islami yang diselenggarakan oleh UUI di Yogyakarta pada tahun 1985 dirumuskan bahwa Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[22]
Dalam penjabarannya, maka sebagai fokus akhir dari Konseling Islami menitik beratkan kepada entitas ketauhidan dalam melandasi kehidupannya. Konseling Islami berusaha untuk mengembalikan kembali dasar dan fitrah kepada  eksistensi manusia sebagai ciptaan Allah. Sebenarnya, terjadinya ketidakpaduan antara dassein dan dassolen, antara kenyataan dan yang seharusnya[23] itu diakibatkan oleh jauhnya seseorang dari garis serta tuntunan iman dan Islam.
Besarnya perhatian Konseling Islami dalam menyelesaikan permasalahan manusia semuanya itu untuk menciptakan insan kamil yang paripurna. Meletakkan kembali dasar ajaran tauhid, merevisi kembali jiwa yang terkontaminasi dengan masalah kehidupan serta menjadikan manusia yang hidup dalam kehidupan Islami.
Realitas kehidupan manusia yang telah berbaur dengan berbagai kepentingan baik untuk individual, keluarga, hingga bermasyarakat mengaharuskan setiap manusia untuk terus meningkatkan kreatifitasnya. Dalam meningkatkan kreatifitas itulah terkadang secara sengaja atau tidak, disadari atau tidak terkadang terjerumus kepada perbuatan yang merugikan jiwanya sendiri.
Perbuatan yang dilakukan itu (apalagi negatif), biasanya akan memberikan pertentangan batin dalam jiwa seseorang. Pada saat pertentangan ini terjadi, maka disitulah lahir permasalahan batin yang berakibat kepada kegelisahan jiwa. Banyaknya kegelisahan-kegelisahan jiwa ternyata bermuara kepada penyakit kejiwaan, seperti stres, depresi, merasa bersalah, putus asa, serta pesimistis yang berlebihan.
Dalam mengahadapi kondisi seperti ini, maka tampillah upaya-upaya Konseling Islami sebagai pembangkit sekaligus penetralisir keadaan. Konseling Islami yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis ternyata mampu memberikan solusi yang ampuh. Salah satu kunci utama yang ditekankan adalah iman. Sebab, dalam iman terdapat Islam dan ihsan, dalam Ihsan terdapat Iman dan Ihsan, dan dalam Ihsan terdapat Iman dan Islam. dari sudut  pengertian inilah terlihat iman, Islam dan Ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.[24]
Selain itu, upaya yang dilakukan Konseling Islami terhadap manusia bisa dilaksanakan dengan tiga metode. Pertama: metode yang dikembangkan oleh para sufi yaitu: tahalli, takhalli, tajalli. Kedua: metode syariah, thariqah, ma’rifah. Ketiga: metode iman, Islam, Ihsan.[25] 
Upaya yang dilakukan dalam membangkitkan keberanian untuk mampu menyelesaikan masalah melalui konseling Islami Hanna Djumhana Bastaman menawarkan tiga cara untuk peningkatan diri yang semuanya merupakan strategi sadar untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
Cara pertama adalah hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai akodah, syari’ah dan akhlak, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat, serta sekaligus berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama dan aturan-aturan yang berlaku.
Cara kedua adalah melakukan latihan intensif yang bercorak psiko-edukatif. Mislanya yang dikemas dalam program dan paket-paket pelatihan pengembangan pribadi, seperti Pengenalan dan Pengembangan Diri (Self Development), AMT (Archievement Motivation Training), Menjadi Orang Tua Efektif (Parent Efektif Training), Komunikasi Lintas Budaya (Transcultural Communication). Semua betujuan meningkatkan aspek-aspek yang positif dan mengurangi aspek-aspek negatif, baik yang masih potensial maupun yang sudah teraktualisasi dalam prilaku. Tentu semuanya itu harus dimodifikasi secara mendasar dengan landasan dan warna Islami. Dengan pelatihan yang bercorak psiko-edukasi inil seseorang diharapkan menyadarkan diri terhadap keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya dan menyadari serta menghayati betapa pentingnya meningkatkan diri.
Cara ketiga yaitu pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi kepada spritual-religius, yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah, melalui berzikir, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Swt dalam firmannya pada surah al-Baqarah (2) ayat 152.[26]











Kesimpulan
Selama menempuh hidup di atas dunia ini manusia selalu dan tetap dirundung masalah. Hal ini merupakan suatu bentuk realitas hidup, semakin banyak masalah yang dihadapi, maka semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan dari permasalahan itu. Dalam menjalani problem-problem itu, dibutuhkan pemecahan atau solusi yang disebut dengan “problem solving”.
Ada dua jalur yang ditawarkan bagi orang yang mengalami problem itu, pertama lewat konseling manusiawi, dan kedua konseling ilahi. Konseling manusiawi mengandung arti bahwa permasalahan yang dihadapi itu dippecahkan melalui sistem berfikir manusia melalui proses konseling. Sehingga muncul istilah konselor dan konseling. Yang memberikan solusi itu adalah orang yang telah diakui keilmuannya dalam bidang layanan konseling baik akademis maupun kualitas solvingnya. Sementara konseling ilahi mengandung arti sebuah pengaharapan melalui pendekatan manusia (yang mengalami problem) kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Konseling seperti ini biasanya memeberikan ketengangan bathin apabila seluruh problem yang dihadapinya dicurahkan kepada-Nya.
Al-Qur’an banyak memberikan solusi bagi manusia dalam mengahadapi permasalahan. Kekuatan yang dibangkitkan dalam al-Qur’an itu disamapaikan melaui menumbuhkan keberanian dalam diri manusia guna mengambil keputusan dari permasalahan yang ada.  Keberanian itu ada pada setiap diri manusia hanya saja seberapa maksimal usaha yang dilakukan konselor untuk membangkitkan keberanian itu. 


Daftar Pustaka


Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Mi’atu Su’al ‘An-Islam terj. Abdullah Abbas,  Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman . Jakarta: Lentera Hati. 2012.

Dahlan, M.D.  Dasar-dasar Konseptual Penanganan Masalah-masalah Bimbingan dan Konseling Islami di Bidang Pendidikan. Yogyakarta: UII, 1997.

Hasan, Muhammad Tholhah.  Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lantabora Press. 2003.

Hawari, Dadang.  Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

Lubis, Lahmuddin.  Landasan Formal Bimbingan Konseling di Indonesia. Bandung: Cita Pustaka Media  Perintis, 2012.

Lubis, Lahmuddin. Bimbingan Konseling Islami. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2007.
Lubis, Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami dan Kesehatan Mental. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
Luddin, Abu Bakar M.  Psikologi Konseling. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.

Musthafa, Ibnu. Keluarga Islam Menyongsong abad 21. Bandung: Al-Bayan, 1997.

Mutahhari, Murtadha Mutahhari. terj. Jalaluddin Rahmad, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama. Bandung: Mizan, 1986.

Najati, Utsman.  Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka, 1985.

Prayitno dan Erman Amti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2004.
Qamarulhadi, S.  Membangun Insan Seutuhnya. ttp: PT. Ma’arif, 1991.

Sukardi, Dewa Ketut dan Desak P.E. Nila Kusmawati, Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.


[1] Syaikh Muhammad al-Ghazali, Mi’atu Su’al ‘An-Islam terj. Abdullah Abbas,  Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 807
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lantabora Press, 2003), h.  57
[3] Ibnu Musthafa, Keluarga Islam Menyongsong abad 21 (Bandung: Al-Bayan, 1997), h. 38
[4] Murtadha Mutahhari, terj. Jalaluddin Rahmad, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia Dan Agama (Bandung: Mizan, 1986), h. 121-122
[5] Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 6.
[6] Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran……, h. 7.
[7] Q.S. Al-Baqarah/2:155.
[8] Q.S. Al-Ma’arij/70:19-21
[9] Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu kedokteran……, h. 46-48
[10] Q.S. Ar-Ruum/30:41
[11] Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa (Bandung: Pustaka, 1985), h. 10
[12] S. Qamarulhadi, Membangun Insan Seutuhnya (ttp: PT. Ma’arif, 1991), h. 15
[13] Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa…..,h.269-270
[14] Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa……, h. 5
[15] Q.S. Adz-Dzariat/51:20-21
[16] Q.S. Ar-Ra’d/31:11
[17] Lahmuddin Lubis, Landasan Formal Bimbingan Konseling di Indonesia (Bandung: Cita Pustaka Media  Perintis, 2012), h. 12
[18] Ibid., h. 158
[19] Abu Bakar M. Luddin, Psikologi Konseling (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h.11
[20] Abu Bakar M. Luddin, Psikologi Konseling….,, h. 105
[21] Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa…., 152-153
[22] M.D. Dahlan, Dasar-dasar Konseptual Penanganan Masalah-masalah Bimbingan dan Konseling Islami di Bidang Pendidikan  (Yogyakarta: UII, 1997), h. 3
[23] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami dan Kesehatan Mental …., h. 164
[24] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami dan….., h. 155.
[25] Ibid., h. 154.
[26] Ibid.,…. h. 156-157