Jumat, 07 Februari 2014

SEKULARITAS DAN SPRITUALITAS: MENCARI FORMAT INTEGRASI ILMU UNTUK KONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM[1]



SEKULARITAS DAN SPRITUALITAS:
MENCARI FORMAT INTEGRASI ILMU UNTUK
KONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM[1]

Oleh:
Abdusima Nasution

Kata kunci: Sekularitas, Spritualitas, Integrasi Ilmu, dan Kurikulum.

Pendahuluan.
            Sekularitas mengandung makna kehidupan duniawi.[2] Sementara spritualitas mengandung arti yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, bathin).[3] Kedua kata itu kalau ditinjau mempunyai korelasi antara keduniaan yang bersifat materi dengan kejiwaan yang bersifat non materi. Seolah-olah ada makna yang terkandung bahwa sekularitas konotasinya materi sedangkan spritualitas konotasinya agama. Disini akan diuraikan bagaimana hubungan kedua unsur sekularitas dan spritualitas dengan pendidikan.
Salah satu tujuan pendidikan Islam yang sangat fundamental adalah untuk tercapainya hasil yang lebih baik, maksimal dan berdayaguna dalam menjawab tantangan zaman. Dewasa ini pendidikan dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang multikomplek dari berbagai aspek. Mulai dari perkembangan zaman, kondisi lingkungan hingga pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat. Dalam menjawab permasalahan itu, maka diperlukan suatu sistem yang tepat agar permasalahan-permasalahan itu bisa diatasi melalui berbagai pendekatan.
Orientasi masyarakat yang tertuju kepada materialis juga mempengaruhi pendidikan yang ada. Pendidikan diharapkan mampu menjadikan insan-insan yang berkualitas sekaligus mampu menata kehidupan ekonominya di masa mendatang. Disamping itu kemiskinan rohani (spritual) juga tak kalah penting bagi pendidikan, sehingga pendidikan juga diharapkan mampu mengisi spritual dari aspek religius yang berfungsi sebagai pedoman hidup di masa datang.
Untuk menjaga agar tidak terjadinya  kemiskinan materi dan nilai-nilai religius, maka merupakan hal yang diwajibkan bagi pemerhati pendidikan untuk menata kurikulum melalui penggabungan (integrasi) berbagai ilmu. Disatu sisi perihal ekonomi harus di perhatikan, disisi lain nilai-nilai keagamaan juga harus ditingkatkan. Dengan demikian maka disusunlah format baru untuk mengintegrasikan sekularitas dan spritualitas ke dalam sebuah kurikulum pendidikan Islam yang mampu menjawab tantangan di masa mendatang.




















PEMBAHASAN

A.    Sekularitas dan Spritualitas dalam Nilai-nilai Pendidikan.
Manusia adalah makhluk Allah yang telah ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi ini. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz (
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." [4]
Ayat di atas menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab manusia yang diberikan Allah dalam menangani dan menjaga kelestarian bumi. Selaku hamba Allah yang telah dikarunia akal fikiran, maka dengan berbagai usahapun dilakukan manusia termasuk menjaga kelestarian alam dengan ilmu atau pendidikan yang dimiliki.
Tujuan hidup dan menjaga kelestarian alam pada gilirannya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pada dasarnya pendidikan bertujuan memelihara kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam, tidak boleh tidak, harus terkait dengan tujuan hidup manusia. Manusia seperti apa yang hendak dibentuk dan diinginkan oleh pendidikan Islam, jawabannya tergantung kepada tujuan hidup yang hendak ditempuh oleh seorang muslim.[5] Dengan demikian pendidikan Islam sangat sesuai dengan harapan atau cita-cita hidup manusia.
Meski demikian, manusia selaku makhluk yang berakal serta mempunyai hawa nafsu tentu membutuhkan berbagai kebutuhan yang menjadi sarana dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam hal ini kehidupan materialis juga sangat berharga dalam kelangsungan hidupnya. Bukan hal yang berlebihan apabila dikatakan manusia rentan dengan gaya hidup yang sesuai dengan keadaan.
Sehingga para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada manusia. Predikat-predikat ini adalah sebagai berikut:
1.      Manusia adalah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi pekerti.
2.      Manusia adalah animale rationale, artinya binatang yang dapat berfikir.
3.      Manusia adalah homo laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa.
4.      Manusia adalah homo faber, artinya makhluk yang pandai membuat perkakas.
5.      Manusia adalah zoon politicon, artinya makhluk yang pandai bekerjasama.
6.      Manusia adalah homo economicus, artinya makhluk yang tunduk kepada prinsip-prinsip ekonomi.
7.      Manusia adalah makhluk homo religius, artinya makhluk yang beragama.
8.      Manusia adalah homo planemanet, artinya makhluk yang terdiri dari unsur ruhaniah-spritual.
9.      Manusia adalah homo educandum (educable), artinya makhluk yang dapat menerima pendidikan.[6]
Dengan demikian berbagai kebutuhan baik materi maupun non materi menjadi dasar berpijak untuk mencapai kehidupan manusia. Dalam perkembangan manusia dari zaman ke zaman, maka nampak jelas bagaimana kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia yang beraneka ragam. Kebutuhan pokok manusia itu antara lain:
1.      Kebutuhan Biologis
2.      Kebutuhan Psikis
3.      Kebutuhan Sosial
4.      Kebutuhan agama (Spritual)
5.      Kebutuhan Paedagogis.[7]
Namun terkadang, diantara manusia ada yang sangat menomorsatukan materi sebagai tujuan akhir dari kehidupan. Sehingga dengan tujuan yang demikian mengakibatkan tidak memikirkan aspek ketenangan jiwa (rohani). Padahal Islam lebih cenderung untuk menegaskan perpaduan antara kemampuan kejiwaan dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran” menurut ukuran proses hidup manusiawi dan bukan Ilahi.[8]
Tugas utama pendidikan sesungguhnya adalah mengubah (transform) potensi-potensi manusia menjadi kemampuan-kemampuan atau ketrampilan-keterampilan yang dapat dimanfaatkan manusia. Potensi intelektual misalnya, tidak ada gunanya kalau hanya disimpan di kepala. Ia akan menjadi berguna, manakal sudah diubah melalui proses pendidikan, menjadi penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang ilmu oengetahuan dan teknologi.[9] Sehingga orientasi sekuleritas nampak jelas disini sesuai dengan fokus yang diharapkan dari tuntutan zaman serta penambahan displin ilmu.
Dewasa ini telah muncul suatu fenomena yang perlu dicermati dengan serius. Pendidikan model Barat, pada satu sisi, telah dapat mengeksploitasi potensi intelektual manusia sebesar-besarnya sehingga melahirkan teknologi yang canggih. Namun pada sisi lain, pendidikan model Barat telah melupakan aspek moral dan spritual yang ada pada diri manusia. Akibatnya mereka mereka berhasil menciptakan manusia modern yang hidup dalam dunia teknologi, tetapi jiwa mereka dihinggapi dan dilanda suatu krisis yang disebut  dengan krisis moral-spritual.[10]  Ini berdampak kepada terjadinya manusia yang berfikiran maju namun hampa dengan nilai akhlak dan nilai religiusitas (keagamaan) atau yang lebih populer dengan sekuleritas.
Hal ini telah terjadi bukan hanya di negara Barat saja, bahkan telah menjalar ke dunia Timur termasuk di Indonesia yang selama ini masih tetap konsisten dengan ajaran religiusitas. Yang menjadi permasalahan yang krusial adalah bagaimana supaya kondisi ini segera diatasi dengan menguatkan kembalai nilai-nilai spiritual bagi manusia pada umumnya dan pelajar khususnya.
Berbicara mengenai spritualitas dalam hal ini nilai-nilai keagamaan jauh-jauh hari sebelumnya Islam telah dulu mengisyaratkan agar tetap menjadikan nilai-nilai spritualitas sebagai control of power dalam bertindak dan berfikir. Keinginan yang berlebihan dalam materi (sekularitas) sebaiknya diimbangi dengan nilai-nilai spritualitas. Dibawah ini akan diketengahkan bagaimana Islam memberikah arahan yang sangat jitu untuk menanggapi sekularitas.
Penekanan spritualitas dalam Islam diawali dari prose tauhid dan menjalar kepada tuntunan Al-Quran dan dimanifestasikan dengan ilmu dan akhlaqul karimah. Penekanan tauhid itu adalah mengenai “ke-Tuhanan”. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam menjelaskan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan. Hal ini merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadian manusia sebagaimana di jelaskan dalam firman Allah:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ [11] 
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
                        Juga di  ayat lain :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ[12]  
172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Kedua ayat itu menjelaskan bahwa pada hakikatnya Tauhid (ke-Tuhanan) merupakan hal yang telah ada bagi manusia. Fitrah itu ada seiring dengan diciptakannya manusia itu sendiri. Fitrah manusia yang telah ditanamkan sejak dalam rahim terus berkembang sesuai dengan fase-fase yang dilaluinya.
Lahirnya manusia ke atas dunia ini tentunya mengalami berbagai perubahan sesuai dengan pendidikan yang diterimanya. Sehingga berbagai permasalahan yang ada di muka bumi ini ada yang bisa dicerna oleh akal fikiran dan ada juga yang tidak terjawab kecuali dengan ajaran Islam.
B.     Integrasi Ilmu untuk Konstruksi Kurikulum Pendidikan Islam.
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non agama, sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi, dikotomi tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga sistem pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imperialisme.[13]
Penyebab dikotomi ilmu ini ternyata berdampak sampai ke dunia pendidikan termasuk pendidikan Islam. Nampaknya dikotomi ilmu telah berhasil memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi yang begitu ketat antara ilmu-ilmu agama dan sekuler, seperti yang telah digambarkan di atas tentunya sangat disayangkan karena telah mengarah kepada pemisahan yang tidak bisa dipertemukan lagi antara keduanya dan bahkan cenderung pada penolakan keabsahan masing-masing dengan menggunakan metode yang juga sangat berbeda dengan sudut jenis dan prosedurnya.[14]
Menilik kepada persoalan di atas ditambah dengan tantangan zaman yang selalu  merongrong dinamika pendidikan Islam, maka tidak ada tawar menawar kecuali merekonstruksi kurikulum pendidikan berdasarkan integrasi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Satu sisi pendidikan menyelamatkan nilai –nilai duniawi dan disisi lain pendidikan Islam bertanggung jawab penuh akan nilai-nilai Islami. Yang menjadi acuan awal dalam mengatasi ini adalah apa yang bernilai untuk diajarkan dan bagaimana model atau cara untuk menyusunnya.
Salah satu tugas pokok filsafat pendidikan Islam adalah memberikan kompas atau arah dan tujuan pendidikan Islam. Suatu tujuan kependidikan yang hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dalam apa yang disebut “kurikulum”.[15]  Kurikulumlah yang menjadi ujung tombak perbaikan pendidikan sekaligus perobah sisi kehidupan untuk peserta didik di masa mendatang.
Pendidikan Islam, akhir-akhir ini menghadapi banyak tantangan yang berusaha mengancam keberadaannya. Tantangan tersebut merupakan bagian dari sekian banyak tantangan global yang memerangi kebudayaan Islam.
Tantangan pertama adalah kebudayaaan Islam berhadapan dengan kebudayaan Barat Abad ke-20. Jika tidak ada respons dari para pemikir muslim yang ikhlas dapat meningkat menjadi ancaman bagi kebudayaan Islam, karena kebudayaan barat didukung dengan buku-buku, televisi, radio, bioskop dan semisalnya yang tersebar ke berbagai kalangan muslim.
Tantangan kedua bersifat intern, tampak pada kejumudan produktifitas pemikiran keislaman dan upaya menghalangi produktivitas tersebut. Tantangan ini membuat generasi muda muslim terpenjara dalam kebudayaan materialistis. Pendidikan Islam mempunyai tugas untuk menegakkan prinsip “sampaikanlah yang benar” dan menjunjung tinggi nilai dakwah berdasarkan pengetahuan, kesadaran, dan niat yang kuat.
Tantangan ketiga, kebudayaan yang dimiliki sebagian pemuda muslim yang sedang belajar di negeri asing, hanya kebudayaan asing. Jika mereka kembali ke negara asal, mereka bisa meniru kebudayaan asing secara buta dan membawa filsafat barat yang tidak sesuai dengan realitas dan warisan kebudayaan mereka.
Tantangan keempat, sistem kebudayaan Islam di sebagian negara muslim masih terpaku pada metode tradisional dan kurang merespons perkembangan zaman secara memadai agar generasi muda tidak berpaling kepada kemewahan kehidupan modern dan kebudayaan barat. Kebudayaan Islam di negara-negara tersebut belum membekali mereka dengan konsep Islam yang komprehensif tentang kehidupan islami yang didasarkan atas ilmu, amal, akidah dan jihad. Konsep yang dimaksud adalah bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan dengan metode orisinal-elastis yang di satu sisi memelihara dasar-dasar Islam dan di sisi yang lain memenuhi tuntutan zaman.
Tantangan kelima, kurikulum universitas di sebagian dunia Islam masih mengabaikan kebudayaan Islam. Alasan mereka, karena universitas hanya bertugas menghasilkan tenaga-tenaga terampil bagi masyarakat, sedangkan pembekalan keagamaan menjadi tugas fakultas-fakultas keagamaan.
Tantangan keenam, berkenaan dengan pendidikan wanita muslimah. Perlu dilakukan penelitian terhadap kekurangan pendidikan anak-anak putri. Karena di tangan ibu terbentuk kepribadian generasi mendatang.[16] Tantangan-tantangan itu harus dibahas demi langgengnya operasional pendidikan untuk generus bangsa.
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehenshif, mencakup ilmu agama dan umum. Permasalahannya adalah bagaimana caranya menetapkan prioritas ilmu pengetahuan yang perlu dituangkan ke dalam kurikulum tersebut.[17] Sehingga kurikulum sarat dengan nilai sekularitas dan spritualitas. Kesempurnaan manusia  tidak tercapai kecuali dengan menyerasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Demikian pandangan Ibnu Sina dan Ikhwanussofa, juga Al-Farabi.[18]
Berkaitan dengan itu Mulyadhi Kartanegara memberi konsep yang berbeda dalam mengintegrasikan ilmu. Dalam integrasi ilmu itu prinsip utama adalah konsep tauhid. Dikatakannya konsep tauhid tentu saja diambil dari formulasi konvensional Islam. “la Ilaha Illallah” yang artinya “tiada Tuhan selain Allah”. Dan seperti  yang telah dijelaskan diatas, ia telah menjadi prinsip paling dasardari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan concern kita tentang integrasi ilmu, telah menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsp epistimologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.[19]
Hal senada juga dinyatakan oleh Osman Bakar, dikatakannya bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan Yanag Maha Meengetahui. Menurut pandangan Al-Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal tuhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan  berfikir dan mengetahui, akal manusia mendapat pencerahan dari Ilahi.[20]
Dalam merekonstruksi pendidikan Islam, kurikulum sebuah pendidikan senantiasa mengalami perkembangan dan pendidikan. Di dalam kurikulum tidak dikenal adanya istilah selalu up to date. Kurikulum selalu mengalami perubahan dan perkembangan, seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Akan tetapi, perubahan dan pengembangan kurikulum tidak selalu diartikan secara total, tetapi sifatnya lebih merupakan revisi.[21] Di dalam merevisi atau membina sebuah kurikulum, ada empat asas yang perlu diperhatikan, yaitu asas filosofis yang berkaitan dengan filsafat dan tujuan pendidikan, asa psikologis yang menyangkut psikologi belajar dan psikologi anak, asas sosiologi menyangkut perubahan dalam masyarakat, dan asas organisatoris berkaitan dengan bentuk organisasi kurikulum.[22]  Dalam menata dan merekonstruksi kurikulum maka keempat asas ini mesti diperhatikan agar kruikulum itu sesuai dan berdaya saing tinggi bagi peserta didik.
Sementara itu, Noeng Muhajir, ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan akademik, pendekatan teknologik, dan pendekatan humanistik.[23] Pendekatan akademik digunakan apabila suatu program pendidikan dimaksudkan untuk mencetak disiplin ilmu tertentu, dalam arti membekali peserta didik dengan sebuah spesialisasi. Disini program pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan fungsi kreatif peserta didik secara oprimal. Pendekatan teknologik digunakan apabila sebuah program pendidikan bermaksud menghasilkan peserta didik yang dapat melaksanakan tugas kerja yang diembannya. Pendekatan ini biasanya digunakan bagi program pendidikan yang tugasnya menyiapkan tenaga kerja profesional, seperti menjadi pilot, menjadi guru, atau menjadi arsitektur. Sedangkan pendekatan humanistik, digunakan apabila program pendidikan dimaksud bertujuan mengembangkan wawasan dan prilaku peserta didik sesuai cita-cita ideal yang hendak dicapai. Jelasnya pendekatan akademik digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian berdasarkan sistematika disiplin ilmu, pendekatan teknologi untuk menyusun program pendidikan keahlian yang bertolak dari analisis komptensi yang dibutuhkan untuk melaksanakantugas tertentu, dan pendekatan humanistik digunakan untuk menyusun program pendidikan keahlian yang bertolak dari ide “memanusiakan manusia”.[24] Dari pendekatan-pendekatan itu maka lembaga pendidikan yang akan mencetak lulusan yang kompetitif mempunyai kemampuan melalui integrasi ilmu.
Konstruksi kurikulum yang dilandasi integrasi ilmu idealnya terkombinasi dalam kurikulum pendidikan Islam. Sehingga kurikulum berfungsi secara sendirinya dalam dinamika kehdupan manusia. Dengan fungsi seperti itu, kurikulum pendidikan Islam memiliki lima ciri utama yang membedakannya dari kurikulum secara umum.[25] Pertama, kurikulum pendidikan Islam menonjolkan dan mengutamakan agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya. Materi, metode, alat, dan tehnik pengajaran dalam kurikulum pendidikan Islam semuanya bercorak agama. Kedua, cakupan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam bersifat luas dan menyeluruh. Kurikulum pendidikan Islam seyogyanya merupakan cerminan dari semnagat, pemikiran dan ajaran Islam bersifat universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, baik intelektual, psikologis, sosial, dan spritual. Ketiga, kurikulum pendidikan Islam menerapkan prinsip kesimbangan di dalam muatan keilmuannya, dan di dalam fungsi ilmu pengetahuan, baik bagi pengembangan individu maupun bagi pengembangan masyarakat. Keempat, kurikulum pendidikan Islam mencakup keseluruhan mata pelajaran yang dibutuhkan peserta didik, baik yang sakral-keakhiratan maupun profan-keduniaan. Kelima, kurikulum pendidikan Islam selalu disusun berdasakan kesesuaian dengan minat dan bakat peserta didik.
Berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik di atas, kurikulum pendidikan Islam dibuat dan disusun dengan mengikuti tujuah prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsip pertautan dengan agama, dalam arti bahwa semua hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode, dan lain-lain yang berlaku dalam proses pendidikan Islam, senantiasa berdasar pada ajaran akhlak Islam.
2.      Prinsip universal, maksudnya tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus meliputi segala aspek bermanfaat, baik bagi peserta didik seperti pembinaan akidah, akal, jasmani, maupun bagi masyarakat seperti perkembangan spritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
3.      Prinsip keseimbangan di dalam tujuan kurikulum dengan kandungannya. Kurikulum pendidikan Islam yang berdasar pada filsafat dan ajaran Islam senantiasa menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang.
4.      Prinsip keterhubungan kurikulum dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan peserta didik, serta dengan lingkungan sosial yang menjadi tempat berinteraksi peserta didik. Dengan prinsip ini, kurikulum pendidikan Islam bermaksud memelihara keaslian peserta didik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
5.      Prinsip memerhatikan perbedaan individu, agar kurikulum pendidikan Islam memiliki relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakatnya.
6.      Prinsip perkembangan dan perubahan, dalam arti bahwa kurikulum pendidikan Islam senantiasa sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang memiliki nilai maslahat bagi masyarakat merupakan suatu keharusan.
7.      Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifivitas-aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. Pertautan ini menjadi penting agar kurikulum pendidikan Islam senantiasa mengikuti perkembangan zaman, yang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan peserta didik dan masyarakatnya.
Sehingga dengan prinsip – prinsip itu maka disusunlah konstruksi baru dalam bentuk kurikulum dengan mengintegrasikan ilmu umum untuk menjawab tantangan dunia dan ilmu agama dalam menumbuh kembangkan spritual (jiwa).
C.     Konstruksi Kurikulum
Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan memberi bekal sangat diperlukan, untuk menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya dan dunia kerja. Maka pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu upaya memanusiakan manusia (humanis); mengembangkan potensi dasar agar siswa berani dan mau mengahadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan; serta mau, mampu dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, dan lingkungannya.[26]
Dalam mencapai sasaran yang diinginkan dari pendidikan yang berfokus kepada kurikulum dan juga untuk menjawab tantangan pendidikan berdasarkan nilai sekularitas dan spritualitas, maka perlu diadakannya rekonstruksi kurikulum kembali. Rekonstruksi ini dilakukan bukan berarti menghilang kurikulum yang ada. Namun menambahnya dengan kapasitas yang berkualitas. Untuk itu setidaknya ada tiga rekonstruksi kurikulum yang harus diadakan:
1.      Merekonstruksi kurikulum
2.      Kembali kepada penekanan akhlaq kepada Allah dan Makhluk-Nya
3.      Penyetaraan antara pelajaran agama dan umum.
Merekonstruksi kurikulum yang ada itu merupakan sebuah keharusan. Perkembangan zaman yang multikompleks seharusnya disikapi dan dijawab dalam kurikulum. Setidaknya 3 tahun sekali kurikulum harus direkonstruksi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam merekanstruksi kurikulum, maka setiap sekolah idealnya wajib memberikan masukan yang bermanfaat terhadap kondisi yang terjadi dan berkembang dimana lembaga pendidikan itu berada. Misalkan saja; apabila terjadi krisis khatib, maka dalam pelajaran agama harus memasukkan kurikulum pembibitan khatib. Begitu juga tentang bilal mayit, muazzin, dan hal-hal yang dianggap mulai berkurang di tengah-tengah masyarakat.
Disamping itu penekanan akhlaq harus menjadi penekanan yang serius. Sebab titik tolak perbaikan nilai kemanusiaan baik bersifat duniawi maupun ukhrawi terletak dalam penekanan akhlaq. mungkin inilah yang dimaksudkan dengan pendidikan berkarakter. Semua mata pelajaran selalu dikaitkan dengan karakter yang akan di capai setelah pembelajaran. Sehingga muncul suatu asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang sepanjang kehidupannya membutuhkan orang lain, selalu bersama, berinteraksi dan bekerja sama.[27]
Penyetaraan antara pelajaran agama dan pelajaran umum dalam setiap sekolah atau madrasah diras sangat perlu. Hal ini akan berdampak kepada perbaikan nilai-nilai ilmu umum dan ilmu agama bagi anak didik. Kedangkalan ilmu agama akan menyebabkan anak alergi terhadap agama, sebalaiknya kedangkalan ilmu umum akan berdampak juga ketakutan untuk masuk ke jenjang pendidikan yang bermuatan ilmu umum. Namun apabila kesetaraan itu terlaksana, maka secara tidak langsung kurkulum akan mencetak pelajar-pelajar yang siap pakai dan faham tentang nilai-nilai agama (spritualisasi) dan kehidupan nyata (sekularitas).

KESIMPULAN

1.      Sekularitas dan Spritualitas merupakan dua hal yang harus tetap bagi setiap muslim yang dipadukan dalam desain integrasi ilmu.
2.      Menjawab tantangan sekularitas maka dibutuhkan kurikulum dalam pendidikan Islam itu dengan ilmu-ilmu umum, sedangkan untuk spritualitas dibutuhkan dengan ilmu-ilmu agama sehingga integrasi ilmu umum dan ilmu agama terintegrasi dalam sebuah wadah kurikulum pendidikan Islam.
3.      Dalam rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal terlebih dahulu memperhatikan aspek pendekatan, prinsip serta kebutuhan masyarakat ke depan.
4.      Pemerintah dalam hal ini lembaga pendidikan harus menempatkan kurikulum sebagaia acuan dasar dalam operasional pembelajaran sehingga anak bangsa mempunyai dedikasi intelektual religius dan intelektual teknologi.













DAFTAR PUSTAKA

Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah; At-Tarbijjah Al- Islamijjah; Diterjemahkan oleh Prof. H. Bustami Abdul Gani & Djohar Lubis L.I.S. Dasar Pokok Pendidikan Islam. t.p: Bulan Bintang, 1974.

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Edisi Revisi.

Bakar, Osman . Tauhid dan Sain: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains . diterjemahkan Yuliani Liputo & M.S.Nasrulloh .Bandung: Pusataka Hidayah, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.  Edisi Ke-Tiga.

http://elsya-arifin.blogspot.com/ diakses pada tanggal 4/4/13

Idi, Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Cet. I. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Mizan Media Utama, 2005

Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1988.

Muhajir, Noeng.  Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Cet. II. Edisi V. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2003.

Nasution, S.  Asas-Asas Kurikulum.  Edisi VI. Bandung: Jemmars. 1982.

Rusman . Manajemen Kurikulum . Jakarta: Raja Grafindi Persada. 2011.

Siti Halimah, Arah Pengembangan dan Muatan Isi Kurikulum Pendidikan Agama Islam , dalam Pendidikan & Transformasi Sosial.Bandung:Cita Pustaka, 2009.

Suharto, Toto Pergeseran Peradaban Menurut Arnold J. Toynbee dan Implikasinya pada Peradaban Islam, Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1 Januari 2004.

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.

REVISI
MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


 SEKULARITAS DAN SPRITUALITAS:
MENCARI FORMAT INTEGRASI ILMU UNTUK
KONSTRUKSI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Oleh:
Abdusima Nasution
NIM. 3122273
Program Doktor Pendidikan Islam



Dosen Pengasuh Mata Kuliah:
DR. AL-RASYIDIN, M.Ag








PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MEDAN SUMATERA UTARA
MEDAN
2013




[1] Disampaikan dalam  seminar  perkuliahan Filsafat Pendidikan Islam pada semester II Prodi Pendidikan Islam Program Doktor PPS IAIN SU
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) Edisi Ke-Tiga, h. 1015
[3] Ibid., h. 1087.
[4] Q.S. Al-Baqarah/2:30
[5] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), h.
[6] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 82
[7] Ibid., h. 95.
[8] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Edisi Revisi), h. 70.
[9] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 88.
[10] Toto Suharto, Pergeseran Peradaban Menurut Arnold J. Toynbee dan Implikasinya pada Peradaban Islam, Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1 Januari 2004, h. 130-132.
[11] Q.S. Ar-Rum/30: 30
[12] Q.S. Al-A’raf/7: 172
[13] Mulyadhi Kartanegara Sebuah Rekonstruksi Holistik ( Bandung: Mizan Media Utama, 2005), h.19
[14] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu…., h. 44.
[15] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,… h. 77.
[16] http://elsya-arifin.blogspot.com/ diakses pada tanggal 4/4/13
[17] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 86.
[18] Prof. DR. Muhammad ‘Athiyah Al- Abrasyi; At-Tarbijjah Al- Islamijjah; Diterjemahkan oleh Prof. H. Bustami Abdul Gani & Djohar Lubis L.I.S. Dasar Pokok Pendidikan Islam (t.p: Bulan Bintang, 1974), h. 17
[19] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu…..,h. 32
[20] Osman Bakar, Tauhid dan Sain: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains . diterjemahkan Yuliani Liputo & M.S.Nasrulloh (Bandung: Pusataka Hidayah, 2008), h. 149.
[21] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Cet. I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 218.
[22] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Edisi VI, (Bandung: Jemmars, 1982), h. 21-24
[23] Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif, Cet. II. Edisi V, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), 128-131.
[24] Ibid., h. 78.
[25] Ibid., h. 490-518
[26] Rusman , Manajemen Kurikulum (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2011), h.513.
[27] Siti Halimah, Arah Pengembangan dan Muatan Isi Kurikulum Pendidikan Agama Islam , dalam Pendidikan & Transformasi Sosial (Bandung:Cita Pustaka, 2009), h. 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar