Jumat, 07 Februari 2014

METODE PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK



METODE PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK MENURUT HADIS



Oleh :
Abdusima Nasution, S.Ag., MA
( Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Islam IAIN SU)

Kata kunci:
Hadis, Sholat, dan Metode Pendidikan
Pendahuluan.
Ibadah, menurut bahasa artinya taat, patuh, tunduk, turut, ikut dan doa. Dilihat dari pelaksanaannya, ibadah dapat dibagi tiga, yakni (1) ibadah jasmaniah-rohaniah,  yaitu ibadah yang merupakan perpaduan jasmani dan rohani, seperti, shalat dan puasa; (2) ibadah rohaniahdan maliah, yaitu ibadah perpaduan antara rohani dan harta, seperti zakat, misalnya; (3) ibadah jasmaniah, rohaniah dan maliah (harta) sekaligus contohnya ibadah haji.[1]
Ibadah shalat merupakan ibadah fundamental bagi setiap muslim yang harus diterapkan bagi setiap anak sejak dini. Ibadah  dalam ranah prakteknya yang dianggap mudah ini ternyata banyak terlupakan bagi setiap anak. Sehingga banyak juga anak yang belum terbiasa atau tidak terbiasa sama sekali untuk tetap melaksanakan shalat. Apabila hal ini dibiarkan dan tidak adanya ketegasan baik dari pihak guru apalagi orang tua, maka tidak tertutup kemungkinan anak memandang shalat hanya sebagai perbuatan yang biasa-biasa saja bahkan cenderung menjadi beban bukan menjadi kewajiban dalam kehidupan mereka.
Memaknai ibadah dalam ranah pendidikan sangat penting dalam mengaktualisasikannya ditengah-tengah masyarakat terlebih bagi peserta  didik. Untuk itu dalam hadis-hadis tentang metode pendidikan shalat ini nanti akan diketengahkan beberapa hadis yang telah dikaji sesuai dengan takhrij, sanad, matan beserta rawinya dan ditambah lagi dengan analisa yang mengaitkan antara ibadah dengan aspek pendidikan. Sehingga akan tergambar jelas keterkaitan kedua variable ini demi meningkatkan pemahaman dan kualitas ibadah sehari-hari.
Pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan Islam, tujuannya tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of Islamic values). Tujuan Islam pada hakikatnya menjadikan manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai kesuksesan hidup di dunia dan akhirat (muflikhun).[2]
Hadis-hadis suruhan anak sholat.
Perintah shalat  diwajibkan bagi setiap muslim yang mukallaf dalam arti yang telah cukup umur (baligh) dalam ketentuan syara’. Perintah shalat bagi orang tua dan guru untuk menyuruh anak dan anak didiknya melaksanakan shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Bahkan dalam menyuruh anak melaksanakan shalat jelas tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud: “Qola rasululullah sallallhu ‘alaihi wasallam: muru auladakum bish shalati wa hum abna’I sab’a sinina wadhribuhum ‘alaiha abna’a ‘asyara sinina wa farriqu bainahum fil madhazi’[3] rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah anak-anakmu shalat jika sudah berusia 7 (tujuh) tahun, dan pukullah mereka jika tidak mengerjakan shalat ketika berumur 10 (sepuluh) tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (putra dan putri)”. (HR. Abu Dawud).
Dalam hadis lain hal yang senada maknanya tetapi berbeda dalam redaksi kata yang ada di dalamnya juga disampaikan melalui Sunan Turmudzi: Qola rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Allimush shobiyyush sholata ibnu sab’I sinina wadhribuhu ‘alaiha ibnu ‘asyrin[4] (rasulullah SAW bersabda:”Ajari anak-anakmu sholat pada saat usia tujuh tahun dan berikan mereka pukulan (pendidikan) bagi yang tidak melaksanakan sholat pada saat usia sepuluh tahun.” 
Hadis-hadis tersebut diatas mempunyai legalitas yang telah diakui berdasarkan sistematika penilaian keshahihan hadis. Dalam hadis itu nampak jelas ketegasan wajibnya anak dalam mendirikan dan menjaga ibadah sholat sejak dini. Batasan usia yang ditentukan ternyata sangat menentukan dalam pelaksanaan ibadah sholat. Keterlibatan orang tua dan guru juga sangat dibutuhkan dalam membimbing dan mengarahkan anak untuk shalat. Tanggung jawab ini idealnya dibawah pengawasan orang tua di rumah dan guru di sekolah sehingga anak benar-benar merasa terlatih dan terkontrol dalam pelaksanaannya.
Metode Pendidikan Sholat Menurut Hadis.
Dalam memahami teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, maka dapat diambil pemahaman tentang keterkaitan ibadah shalat dengan pendidikan. Pada dasarnya kalau ditinjau dari teks hadis itu, nampak tertulis antara kata مروا اولادكم  (muru awladakum ) dan   علموا الصبى (‘allimush shabiyyu) Setidaknya ada kata yang sangat menarik antara “Suruhlah anak-anakmu shalat” dengan ”Ajarilah anak-anakmu shalat”. Antara suruh dan ajarilah, maka disitu ada pemahaman yang mempunyai tingkatan. Kata “suruh” mengandung arti: “perintah supaya untuk melakukan”[5]  Sementara kata “Ajarilah” mengandung arti: “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti).[6]
Dari kedua kata itu, maka jelas bisa dimaknai bahwa untuk anak yang berumur 7 tahun harus disuruh dengan berbagai kemampuan agar melaksanakan shalat. Untuk anak yang melebihi usia 7 tahun ke atas, maka penekanan untuk melaksnakan shalat harus diperkuat dengan memberikan pukulan yang bersifat pendidikan.
Disamping itu bagi anak yang dibawah 7 tahun, maka berkewajiban menyuruh dengan cara memberikan petunjuk cara-cara shalat. Anak yang belum mencapai usia 7 tahun harus terlebih dulu dibimbing sebagai perintah shalat. Pada saat usia 7 tahun kebawah sangat diharapkan contoh dari orang tuanya atau orang yang memberikan contoh dalam bentuk praktek.
Mengapa anak usia 7 tahun sampai 10 tahun menggunakan kata suruh, sementara anak dibawah 7 tahun menggunakan kata ajarilah? Ditinjau dari sudut perkembangan anak, maka pada saat anak belum mencapai 7 tahun mereka diberi pendekatan demonstrasi, atau  latihan (drill). Sementara apabila anak 7 tahun ke atas, maka metode yang dipakai adalah memberikan rangsangan tubuh dengan pukulan. Artinya anak dibawah 7 tahun merupakan masa pelatihan, masa usia 7 tahun ke atas dalam bentuk perintah keras. Sementara kalau usia anak sudah mencapai 10 tahun maka rangsangan fisik dalam bentuk pukulan mendidik yang tidak menciderai fisiknya harus dilakukan. Sebab selama tahap praoperasional (2-7 tahun) perilaku intelektual bergerak dari tingkat sensorik-motorik menuju tingkat konseptual.[7] Sedangkan masa usia 7 tahun ke atas adalah penerapan ini dikarenakan pada tahap ini anak telah masuk ke masa berfikir operasional konkrit. Tahap operasional konkrit anak (7-11) perkembangan afektif utama selama tahap ini adalah konservasi perasaan.[8]
Anak usia dibawah 7 tahun cenderung meniru apa yang mereka lihat. Dari hadis- hadis itu mengisyaratkan bahwa jauh sebelum dilancarkannya program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), ternyata rasulullah telah menginstrusikan hal itu. Berkaitan dengan usia anak 7 tahun ke atas (7, 8, 9) tahun, ini merupakan masa peralihan antara kanak-kanak dengan masa baligh. Rasulullah juga telah menginstruksikan betapa pentingnya penegasan perintah terhadap anak yang telah masuk jenjang Sekolah Dasar. Makna yang tersirat bahwa masa SD atau MI merupakan manifestasi konkrit dari apa yang telah ditiru dari pembelajaran masa PAUD atau TK. Sementara pada usia 10 tahun dalam perspektif dunia pendidikan anak telah duduk di bangku kelas 4 SD atau MI. Pada masa inilah diberlakukan sanksi-sanksi bagi anak untuk bertanggung jawab penuh terhadap sholatnya. Namun perlu diingat bahwa pukulan atau sanksi yang diberlakukan bagi anak usia 10 tahun yang tidak mau melaksanakan shalat   harus bersifat mendidik bukan bertujuan untuk memberikan kesan kekerasan fisik. Bisa saja pukulan itu dalam bentuk pukulan psikologis, bisa saja dalam bentuk pukulan materi. Yang dimaksud dengan pukulan psikologis adalah ucapan-ucapan atau konsekwensi logis yang memberikan tekanan bagi jiwa anak. Sementara pukulan materi bisa saja diberikan melalui sanksi tidak  diberikannya tuntutan materi yang diminta oleh anak. Adanya pukulan secara fisik itu merupakan alternative yang terakhir.
Dari ibadah shalat yang diwajibkan akan memberikan pendidikan bagi anak agar; (1) menjaga ketepatan waktu (disiplin); (2) melaksanakan rasa tanggung jawab dan kewajiban terhadap sesuatu; (3) latihan mendisiplinkan diri; (4) menempa dan membina watak; (5) tekun dan mengendalikan diri sendiri; (6) menumbuhkan sifat sbar dan tabah; (7) mendidik kerapian dan ketepatgunaan; (8) membentuk sikap rendah hati.[9]
Setelah memahami pamahaman teks dan penjelasan dari hadis itu, maka dapat di gambarkan sebagai berikut:



 
PENUTUP
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an telah memberikan model  pendidikan yang memudahkan pendidikan ibadah shalat bagi anak. Dengan methode yang demikian akan mempermudah pembiasan sholat sekaligus pembentukan pribadi yang taat terhadap salah satu rukun Islam  yaitu  sholat. Sementara itu peranan orang tua dan guru merupakan ujung tombak dalam merealisasikan terciptanya anak yang bertanggung jawab terhadap dirinya untuk selalu ikhlas dalam beribadah.





Catatan kaki:

[1]Mohammad Daud Ali,  Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 245
2A. Syafi’i Maarif, Pendidikan di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) h. 43
3Sulaiman ibn Asy’ats Abu Dawud Assahsani al-Ardiy, Sunan Abu Dawud (Beirut:Darul Fikri, tt), h. 187,  Juz. 1 No.495
4 Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan Turmuzi,  Juz 2, h. 210.
5Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 109
6 Ibid., h. 17
7Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 69
8Ibid.., h. 70
9Mohammad Daud Ali,  Pendidikan Agama Islam…, h. 264.

“PAK MURTHADHO, TOLONG MUAT TULISAN SAYA UNTUK KEPERLUAN ANGKA KREDIT KULIAH, SAYA ALUMNI IAIN SU PAK”



[1] Mohammad Daud Ali,  Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 245
[2] A. Syafi’i Maarif, Pendidikan di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991) h. 43
[3] Sulaiman ibn Asy’ats Abu Dawud Assahsani al-Ardiy, Sunan Abu Dawud (Beirut:Darul Fikri, tt), h. 187,  Juz. 1 No.495
[4] Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan Turmuzi,  Juz 2, h. 210.

[5] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 109
[6] Ibid., h. 17
[7] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 69
[8] Ibid.., h. 70
[9] Mohammad Daud Ali,  Pendidikan Agama Islam…, h. 264.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar