METODE
PENDIDIKAN SHALAT BAGI ANAK MENURUT HADIS
Oleh
:
Abdusima
Nasution, S.Ag., MA
(
Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Islam IAIN SU)
Kata
kunci:
Hadis,
Sholat, dan Metode Pendidikan
Pendahuluan.
Ibadah, menurut bahasa artinya taat, patuh, tunduk, turut, ikut dan doa.
Dilihat dari pelaksanaannya, ibadah dapat dibagi tiga, yakni (1) ibadah
jasmaniah-rohaniah, yaitu ibadah yang
merupakan perpaduan jasmani dan rohani, seperti, shalat dan puasa; (2) ibadah
rohaniahdan maliah, yaitu ibadah perpaduan antara rohani dan harta, seperti
zakat, misalnya; (3) ibadah jasmaniah, rohaniah dan maliah (harta) sekaligus
contohnya ibadah haji.[1]
Ibadah shalat merupakan ibadah fundamental bagi setiap muslim yang harus
diterapkan bagi setiap anak sejak dini. Ibadah
dalam ranah prakteknya yang dianggap mudah ini ternyata banyak
terlupakan bagi setiap anak. Sehingga banyak juga anak yang belum terbiasa atau
tidak terbiasa sama sekali untuk tetap melaksanakan shalat. Apabila hal ini
dibiarkan dan tidak adanya ketegasan baik dari pihak guru apalagi orang tua,
maka tidak tertutup kemungkinan anak memandang shalat hanya sebagai perbuatan
yang biasa-biasa saja bahkan cenderung menjadi beban bukan menjadi kewajiban dalam kehidupan
mereka.
Memaknai ibadah dalam ranah pendidikan sangat penting dalam
mengaktualisasikannya ditengah-tengah masyarakat terlebih bagi peserta didik. Untuk itu dalam hadis-hadis tentang
metode pendidikan shalat ini nanti akan diketengahkan beberapa hadis yang telah
dikaji sesuai dengan takhrij, sanad, matan beserta rawinya dan
ditambah lagi dengan analisa yang mengaitkan antara ibadah dengan aspek
pendidikan. Sehingga akan tergambar jelas keterkaitan kedua variable ini demi
meningkatkan pemahaman dan kualitas ibadah sehari-hari.
Pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan Islam, tujuannya
tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge), tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer
of Islamic values). Tujuan Islam pada hakikatnya menjadikan manusia yang
bertaqwa, manusia yang dapat mencapai kesuksesan hidup di dunia dan akhirat (muflikhun).[2]
Hadis-hadis
suruhan anak sholat.
Perintah shalat
diwajibkan bagi setiap muslim yang mukallaf dalam arti yang telah cukup
umur (baligh) dalam ketentuan syara’. Perintah shalat bagi orang
tua dan guru untuk menyuruh anak dan anak didiknya melaksanakan shalat
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Bahkan dalam menyuruh anak
melaksanakan shalat jelas tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud:
“Qola rasululullah sallallhu ‘alaihi wasallam: muru auladakum bish shalati
wa hum abna’I sab’a sinina wadhribuhum ‘alaiha abna’a ‘asyara sinina wa farriqu
bainahum fil madhazi’[3]
rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah anak-anakmu
shalat jika sudah berusia 7 (tujuh) tahun, dan pukullah mereka jika tidak
mengerjakan shalat ketika berumur 10 (sepuluh) tahun, dan pisahkanlah tempat
tidur mereka (putra dan putri)”. (HR. Abu Dawud).
Dalam hadis lain hal yang senada maknanya
tetapi berbeda dalam redaksi kata yang ada di dalamnya juga disampaikan melalui
Sunan Turmudzi: Qola rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Allimush
shobiyyush sholata ibnu sab’I sinina wadhribuhu ‘alaiha ibnu ‘asyrin[4]
(rasulullah SAW bersabda:”Ajari anak-anakmu sholat pada saat usia tujuh
tahun dan berikan mereka pukulan (pendidikan) bagi yang tidak melaksanakan
sholat pada saat usia sepuluh tahun.”
Hadis-hadis tersebut diatas mempunyai legalitas
yang telah diakui berdasarkan sistematika penilaian keshahihan hadis. Dalam
hadis itu nampak jelas ketegasan wajibnya anak dalam mendirikan dan menjaga
ibadah sholat sejak dini. Batasan usia yang ditentukan ternyata sangat
menentukan dalam pelaksanaan ibadah sholat. Keterlibatan orang tua dan guru
juga sangat dibutuhkan dalam membimbing dan mengarahkan anak untuk shalat.
Tanggung jawab ini idealnya dibawah pengawasan orang tua di rumah dan guru di
sekolah sehingga anak benar-benar merasa terlatih dan terkontrol dalam
pelaksanaannya.
Metode Pendidikan Sholat Menurut Hadis.
Dalam
memahami teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, maka dapat diambil
pemahaman tentang keterkaitan ibadah shalat dengan pendidikan. Pada dasarnya
kalau ditinjau dari teks hadis itu, nampak tertulis antara kata مروا اولادكم (muru awladakum
) dan علموا الصبى (‘allimush shabiyyu) Setidaknya ada kata yang sangat menarik
antara “Suruhlah anak-anakmu shalat” dengan ”Ajarilah anak-anakmu shalat”.
Antara suruh dan ajarilah, maka disitu ada pemahaman yang mempunyai tingkatan.
Kata “suruh” mengandung arti: “perintah supaya untuk melakukan”[5] Sementara kata “Ajarilah” mengandung arti:
“petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti).[6]
Dari
kedua kata itu, maka jelas bisa dimaknai bahwa untuk anak yang berumur 7 tahun
harus disuruh dengan berbagai kemampuan agar melaksanakan shalat. Untuk anak
yang melebihi usia 7 tahun ke atas, maka penekanan untuk melaksnakan shalat
harus diperkuat dengan memberikan pukulan yang bersifat pendidikan.
Disamping
itu bagi anak yang dibawah 7 tahun, maka berkewajiban menyuruh dengan cara
memberikan petunjuk cara-cara shalat. Anak yang belum mencapai usia 7 tahun
harus terlebih dulu dibimbing sebagai perintah shalat. Pada saat usia 7 tahun
kebawah sangat diharapkan contoh dari orang tuanya atau orang yang memberikan
contoh dalam bentuk praktek.
Mengapa
anak usia 7 tahun sampai 10 tahun menggunakan kata suruh, sementara anak
dibawah 7 tahun menggunakan kata ajarilah? Ditinjau dari sudut perkembangan
anak, maka pada saat anak belum mencapai 7 tahun mereka diberi pendekatan
demonstrasi, atau latihan (drill).
Sementara apabila anak 7 tahun ke atas, maka metode yang dipakai adalah
memberikan rangsangan tubuh dengan pukulan. Artinya anak dibawah 7 tahun
merupakan masa pelatihan, masa usia 7 tahun ke atas dalam bentuk perintah
keras. Sementara kalau usia anak sudah mencapai 10 tahun maka rangsangan fisik
dalam bentuk pukulan mendidik yang tidak menciderai fisiknya harus dilakukan.
Sebab selama tahap praoperasional (2-7 tahun) perilaku intelektual bergerak
dari tingkat sensorik-motorik menuju tingkat konseptual.[7]
Sedangkan masa usia 7 tahun ke atas adalah penerapan ini dikarenakan pada tahap
ini anak telah masuk ke masa berfikir operasional konkrit. Tahap operasional
konkrit anak (7-11) perkembangan afektif utama selama tahap ini adalah
konservasi perasaan.[8]
Anak
usia dibawah 7 tahun cenderung meniru apa yang mereka lihat. Dari hadis- hadis
itu mengisyaratkan bahwa jauh sebelum dilancarkannya program Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), ternyata rasulullah telah menginstrusikan hal itu. Berkaitan
dengan usia anak 7 tahun ke atas (7, 8, 9) tahun, ini merupakan masa peralihan
antara kanak-kanak dengan masa baligh. Rasulullah juga telah menginstruksikan
betapa pentingnya penegasan perintah terhadap anak yang telah masuk jenjang Sekolah
Dasar. Makna yang tersirat bahwa masa SD atau MI merupakan manifestasi konkrit
dari apa yang telah ditiru dari pembelajaran masa PAUD atau TK. Sementara pada
usia 10 tahun dalam perspektif dunia pendidikan anak telah duduk di bangku
kelas 4 SD atau MI. Pada masa inilah diberlakukan sanksi-sanksi bagi anak untuk
bertanggung jawab penuh terhadap sholatnya. Namun perlu diingat bahwa pukulan
atau sanksi yang diberlakukan bagi anak usia 10 tahun yang tidak mau
melaksanakan shalat harus bersifat
mendidik bukan bertujuan untuk memberikan kesan kekerasan fisik. Bisa saja
pukulan itu dalam bentuk pukulan psikologis, bisa saja dalam bentuk pukulan
materi. Yang dimaksud dengan pukulan psikologis adalah ucapan-ucapan atau
konsekwensi logis yang memberikan tekanan bagi jiwa anak. Sementara pukulan
materi bisa saja diberikan melalui sanksi tidak
diberikannya tuntutan materi yang diminta oleh anak. Adanya pukulan
secara fisik itu merupakan alternative yang terakhir.
Dari
ibadah shalat yang diwajibkan akan memberikan pendidikan bagi anak agar; (1)
menjaga ketepatan waktu (disiplin); (2) melaksanakan rasa tanggung jawab dan
kewajiban terhadap sesuatu; (3) latihan mendisiplinkan diri; (4) menempa dan
membina watak; (5) tekun dan mengendalikan diri sendiri; (6) menumbuhkan sifat
sbar dan tabah; (7) mendidik kerapian dan ketepatgunaan; (8) membentuk sikap
rendah hati.[9]
Setelah
memahami pamahaman teks dan penjelasan dari hadis itu, maka dapat di gambarkan
sebagai berikut:
PENUTUP
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an telah
memberikan model pendidikan yang
memudahkan pendidikan ibadah shalat bagi anak. Dengan methode yang demikian
akan mempermudah pembiasan sholat sekaligus pembentukan pribadi yang taat
terhadap salah satu rukun Islam yaitu sholat. Sementara itu peranan orang tua dan
guru merupakan ujung tombak dalam merealisasikan terciptanya anak yang
bertanggung jawab terhadap dirinya untuk selalu ikhlas dalam beribadah.
Catatan kaki:
[1]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004), h. 245
2A.
Syafi’i Maarif, Pendidikan di Indonesia, Antara Cita dan Fakta,
(Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991) h. 43
3Sulaiman ibn Asy’ats Abu Dawud Assahsani al-Ardiy, Sunan Abu Dawud
(Beirut:Darul Fikri, tt), h. 187, Juz. 1
No.495
4 Muhammad Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahak At-Tarmizi, Sunan
Turmuzi, Juz 2, h. 210.
5Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), h. 109
6 Ibid., h. 17
7Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), h. 69
8Ibid.., h. 70
9Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam…, h. 264.
“PAK MURTHADHO, TOLONG MUAT TULISAN SAYA UNTUK
KEPERLUAN ANGKA KREDIT KULIAH, SAYA ALUMNI IAIN SU PAK”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar