Jumat, 07 Februari 2014

LIMA PRINSIP PETER SANGE



LIMA PRINSIP PETER M. SANGE
Pendahuluan
            Peter M. Senge adalah seorang ahli sosial dan manajemen. Kesarjanaannya dimulai dari sarjana Tehnik di Stanford, program Masternya dilaluinya pada pemodelan sistem sosial di MIT (Massachustts Institut of Teknology)  sementara program Doktornya dalam bidang Manajemen. Dari curriculum vitae studinya, maka bisa dimaknai bahwa pendidikan yang dilaluinya bernuansa penyatuan antara ilmu sosial dan manajemen. Dalam bukunya School That Learn Peter M. Senge menguraikan dengan gamblang dan tuntas prinsip-rinsip belajar.
Belajar merupakan aktifitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Baik – buruknya belajar seseorang akan berdampak kepada maksimal atau tidaknya hasil yang dicapai. Belajar bukan hanya dengan menggunakan benda saja. Belajar bisa dilakukan dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada dalam diri. Seseorang akan terfokus belajarnya jika kemampuan, keinginan serta sarana yang ada.
Menurut Peter M. Sange ada lima prinsip yang harus ditanamkan dan dipraktekkan bagi seseorang yang belajar. Apapun bentuknya, lima prinsip (five principle) sesuai digunakan karena prinsip-prinsip itu bisa dikondisikan dalam segala aktifitas. Kelima prinsip itu adalah : Personal Mastery (Penguasaan diri), Mental Models (Model mental), Shared Vision (Visi bersama), Team Learning (Belajar beregu), dan System Thinking (Berfikir sistem).
Kelima prinsip ini menjadi acuan dasar bagi orang yang ingin belajar. Dalam makalah ini akan diuraikan penjelasan dan cara kerja masing-masing prinsip. Dengan uraian itu nanti akan memberikan pemahaman sekaligus tolak ukur dalam sudut pandang tentang belajar baik aspek pendidikan, organisasi, maupun kinerja apapun yang ada dalam kehidupan.

A.    Personal Mastery  (Penguasaan Pribadi).
Pengertian dari Personal Mastery ini dapat didefenisikan dengan penguasaan pribadi. Kata “Mastery” bisa difahami sebagai “master”. Bila dirilik dari sudut bahasa, maka apabila dikatakan master, yang terbayang dalam maknanya adalah seseorang yang telah mapan, mampu, dan super. Sementara kata “Personal” dapat pula diartikan sebagai “diri, jiwa, dan pribadi.” Sehingga kalai kita artikan dengan bahasa yang bebas, personal mastery difahami sebagai diri yang telah mampu dalam menguasai masalah.
Pengertian ini senada dengan apa yang diungkapkan Peter M. Senge, “ The practice of personal mastery is an individual matter.” Kekuatan dan penguasaan diri dalam menghadapi permasalahan merupakan kematangan personal mastery. Dalam bukunya Peter M. Senge memberikan pemahaman personal matery ini dengan ilustrasi yang mudah difahami. Dalam iliustrasi itu dicontohkan dengan seorang anak yang ingin sekali untuk bisa membaca kepada gurunya. Gurunya menjawab, bahwa ia akan bisa membaca setelah dia selesai belajar dengan baik dan berhasil.
Dari penggalan percakapan ini, maka dapat difahami bahwa kemampuan seseorang itu akan dapat dia rasakan setelah benar-benar belajar dan telah mampu menguasai apa yang telah dipelajarinya. Dalam belajar seseorang akan mampu mengetahui apabila telah menguasai apa yang diterimanya.
Setiap orang memiliki kemampuan khusus yang khas. Keahlian individua ini akan menjadi nyata ketika setiap indisvidu di organisasi memberikan komitmen tinggi dalam proses pembelajatan dirinya sendiri sehingga menjadi pakar di bidangnya.yang nantinya akan membawa manfaat besar dalam organisasi.[1]
Demikian halnya tentang diri. Seseorang akan mampu bekerja apabila dia telah mengetahui dan menguasai dirinya. Kalau ingin mencapai sesuatu, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah mengukur kemampuan diri. Menguasai diri merupakan hal yang pertama sebelum menaklukkan dan mencapai apa yang diingini.
Alangkah banyaknya orang yang tidak mencapai puncak kejayaannya dikarenakan ketidak mampuannya menguasai diri. Orang yang miskin, apabila mendapat uang yang banyak yang diluar kebiasaannya ternyata kaget dan tidak mampu mempergunakan uangnya sehingga habis tanpa bekas dan miskin kembali. Orang yang taat dalam beribadah juga akan tergelincir ke lembah dosa diakibatkan ketidak mampuan menguasai diri. Bahkan seorang anak yang pada mulanya baik ternyata menjadi nakal karena ketidak mampuan menguasai diri dari pergaulan sesamanya.
Diri, jiwa atau pribadi manusia merupakan sosok yang harus dipelajari agar bisa menentukan langkah. Menguasai diri bukanlah perbuatan yang mudah. Hal ini disebabkan bahwa terkadang dengan berbagai kondisi ternyata penguasaan diri itu bisa tak terkendali. Maka dari itu hal yang pertama sekali dilakukan untuk melangkah itu adalah penguasaan diri.
Secara bahasa sederhana Personal Mastery dapat diartikan dengan menciptakan sesuatu dalam kehidupan dan pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkan. Dengan demikian diri kita akan menjadi apa yang dicita-citakan. Kalau ingin menjadi seorang teknokrat, maka mulailah membangun komitmen dan  tanamkan dalam diri untuk mencapainya melalui saluran yang tersedia. Seorang anak akan menjadi dokter, maka dengan tekad yang kuat ia akan belajar ilmu eksakta dan biologi. Seorang yang berkeinginan menjadi pengusaha sukses, maka tanamkanlah keinginan itu dalam diri dengan usaha-usaha ke arah itu. Seorang yang berkeinginan menjadi guru, maka tanamkanlah keinginan itu dengan berusaha terus melalui jalur pendidikan keguruan.
“Cita-cita itu dimulai dengan mimpi”. Itulah ungkapan yang sesuai dengan Personal Mastery. Cita-cita yang dimulai dengan mimpi akan masuk ke alam khayal dari waktu ke waktu, akan terngiang terus sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat. Keinginan yang kuat akan membuahkan kepada mengumpulkan segala bentuk kekuatan untuk meraihnya. Sehingga orang akan berhasil itu adalah orang yang tetap menjaga dan melestarikan penguasaan diri dalam mencapai keinginan yang terbaik.
B.     Shared Vision (Visi Bersama).
Shared Vision (Visi Bersama) dapat diartikan sebagai membangun rasa komitmen dalam suatu kelompok. Sebab masa depan itu akan lebih baik apabila terciptanya nilai-nilai kebersamaan. “the future we want to create together”.[2]  Dengan adanya kebersamaan tentu akan menciptakan satu visi yang harus dipatuhi dan dijalankan demi ketercapaian tujuan.
Ide yang ada dalam setiap individu dibangkitkan melalui kebersamaan. Berbagai macam ide individual digabungkan dalam satu ide besar yang handal untuk mewakili dari masing-masing individu. Beberapa visi yang dikumpulkan akan dikombinasikan menjadi sebuah variasi yang utuh dan universal. Inilah yang dinamakan Shared Visi.
Sebuah organisasi yang terdiri dari beberapa anggota terlebih dahulu menyamakan visi untuk menjalankan roda organisasi. Sebuah sekolah yang unggul merupakan kumpulan dari unsur guru-guru yang sama-sama membangun visi ke depan dalam mengarahkan tujuan sekolah itu. Ilsutrasi yang pantas untuk dipakaikan dalam shared visi ini seperti alat transportasi yang digunakan untuk pengangkutan penumpang. Dalam menentukan alat transportasi itu, maka pemilik, yang menjalankan serta orang-orang yang bekerja pada alat transportasi itu terlebih dahulu menyamakan nama merek dan tujuan sehingga calon penumpang cepat faham dan mengerti tentang alat transportasi itu. Melihat namanya saja penumpang akan mengerti dengan jelas mereknya, tujuannya serta kondisi alat transportasi itu.
Pada intinya shared visi ini merupakan langkah yang dilakukan demi terbangunnya komitmen anggota untuk mengembangkan visi bersama, dan sama-sama merumuskan strategi untuk mencapai visi tersebut.  Visi itu bukan hanya milik atau hasil fikiran pemimpin saja, tetapi merupakan milik dan hasil pemikiran dari seluruh anggota. Hal ini disebabkan bahwa organisasi atau lembaga itu tidak akan berjalan dan mencapai tujuan yang ingin dicapai kalau hanya pemimpin saja.
Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menciptakan shared vision ini? Peter  Senge memberikan 5 langkah, yaitu : Telling, Selling, Testing, Consulting, dan Co creating.
1.      Telling (Menceritakan)
Menceritakan disini bukanlah menceritakan dengan orang lain. Tetapi menceritakan dalam diri sendiri secara internal individual. Setiap individu merumuskan sendiri dalam dirinya visi yang dibentuknya dalam dirinya. Secara psikologis, maka disinilah terjadi proses berfikir individu tentang visinya yang akan dilimpahkannya ke dalam organisasinya.
2.      Selling (Menjualkan)
Selling (menjualkan) visi disini dimaksudkan menyampaikan visi hasil individual (Telling) ke forum anggota. Disinilah visi individual ditawarkan kepada seluruh anggota untuk disatukan. Masing-masing anggota menyampaikan visi yang telah mereka hasilkan agar anggota lainnya bisa memahaminya. Dari sini nanti akan nampak gambaran, keunggulan, keefisienan, serta daya dukung untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dari berbagai visi yang ada, maka akan dibuat suatu kesimpulan akhir yang terlebih dahulu memikirkan pemahaman dari seluruh anggota.
Ilustrasi yang bisa diungkapkan seperti pimpinan organisasi yang meminta pandangan visi anggotanya masing-masing. Seluruh anggota mengungkapkannya dan anggota lain menyimak dan menelaah. Setelah semua visi dikumpulkan, maka secara bersama-sama pimpinan dan anggota berkomitmen untuk menyatukannya dalam sebuah visi yang universal.
3.      Testing ( Uji coba)
Kebulatan hasil komitmen dalam melahirkan visi itu juga harus diuji kehandalannya. Sebab hal ini penting dilakukan untuk melihat dimana kelemahan dan kekurangan yang ada. Testing ini dimaksudkan selain mencari kelemahan juga sebagai penguatan pemahaman anggota dalam menyikapi kelemahan itu. Sebuah visi yang belum matang dan belum teruji kehandalannya apabila dilaksanakan  akan membawa kepada kerusakan di masa mendatang. Dalam mengujicobakan visi ini juga diperlukan objektivitas. Kalau ada kelemahan harus disampaikan sebagai bahan perbaikan untuk direvisi.
4.      Consulting (Dirundingkan)
Tahap ini merupakan tahap kedua terakhir dalam pelaksanaan visi. Kekurangan, kelemahan, dan hal-hal yang dipandang perlu untuk memperbaiki vis itu dkonsultasikan dalam anggota. Kelemahan yang banyak diminimalisir dan disempurnakan. Sehingga tidak ada celah yang akan mengganggu pelaksanaan visi itu. Ujicoba yang telah dilaksanakan harus dikonsltasikan demi kesempurnaan. Setelah diperbaiki dan disepakati, maka visi yang telah disempurnakan itu dilaksanakan secara bersama-sama.
5.      Co-Creating (Melaksanakan bersama)
Disinilah operasional dari visi yang telah sama-sama dibuat. Seluruh anggota, pimpinan dan unsur yang terkait wajib menjunjung tinggi dan melaksanakan visi itu. Ini merupakan konsenwensi yang harus dilaksanakan sebab seluruh anggota, pimpinan, dan unsur yang terkait telah faham  proses terciptanya visi yang dihasilkan. Semua bertanggung jawab penuh dalam menjaga agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan visi guna terlasananya organisasi yang ingin mencapai tujuan bersama.
C.     Mental Models (Model Mental)
Mental models mengandung arti karakter mental yang dimiliki oleh setiap individu. Model mental sangat menentukan bagi seseorang dalam bertindak. Gambaran mental model ini akan nampak di luar dirinya. Dalam diri seseorang apabila mentalnya baik, maka akan baik pula dirinya. Sebaliknya apabila mentalnya buruk, maka akan buruk pula perbuatannya.
Dalam organisasi atau lembaga, biasanya terdiri atas beberapa individu. Baik buruknya lembaga atau organisasi itu ditentukan juga dengan model mental anggotanya. Ibaratkanlah sebuah sekolah, yang teridira atas guru-guru, kepala sekolah, dan pegawai. Apabila guru-gur yang mengajar disekolah itu mempunyai mental baik, maka iklim kerja disekolah itu akan kondusif, jika dibandingkan dengan apabila guru-guru mempunyai mental yang buruk. Apa yang akan terjadi, jika mental guru-gur tidak baik? Sudah bisa ditebak, bahwa yang terjadi adalah akan ada terjadi saling menyalahkan satu sama lain yang berakibat kepada runtuhnya iklim kerja yang baik.
Mendeteksi model mental, bukanlah hal yang mudah untuk diketahui dari setiap individu. Sebab ini erat kaitannya dengan psikologi. The practice of working with mental models emerged from “action science.” Apa yang ada disekitar lingkungan kita bisa berubah sesuai dengan bagaimana model mental kita.
Model mental merupakan gambaran, asumsi, dan kisah yang kita bawa dalam benak kita tentang diri kita sendiri, orang lain, institusi, lingkungan, dan setiap aspek dari dunia ini. Melihat alam dengan segala problematikanya maka penilaian dari dalam diri, akan memberikan penilaian terhadap makna yang terjadi. Apabila orang lain berbuat, maka penilaian yang pertama sekali adalah bagaimana kita menilai orang tersebut.
Asumsi yang ada dalam benak seseorang akan ikut menentukan bagaimana penilaian terhadapnya. Sehingga model mental itu bisa dierinci sebagai : (1) lensa yang kita gunakan dalam memandang realitas, (2) kerangka untuk menginterpretasikan realitas, (3) struktur yang berhadapan dengan realitas, (4) dasar yang kita ambil untuk memilih kegiatan yang akan dilakukan.
Model mental merupakan alamiah individualistik bagi seseorang. Setiap orang memilikinya dan terus ada selagi hidup. Sehingga pandangan dan perbuatan selalu diiringi dengan model mental. Disamping itu, model mental yang ada dalam setiap individu bersifat aktif apabila melihat sebuah realitas. Apa yang dilihat secara spontan akan mempengaruhi penilaian. Penilaian benar atau salah bukan hal yang penting, sebab itu terjadi secara alami. Maka model mental kita itu tercermin dari interpratasi diri terhadap realitas.
Realitas yang ada itu bisa dibagi kepada: realitas eksternal yang mencakup; keluarga, masyarakat, dan tempat kerja. Sementara realitas internal itu mencakup; image, asumsi, generalisasi, dan sejarah hidup. Maka dari itu setiap ada permasalahan yang muncul dari dua bentuk realitas itu, pengambil keputusan dan tindakan sangat dipengaruhi oleh model mental.
Organisasi, sekolah, tempat kerja akan baik apabila model mental aparaturnya baik. Sementara kekacauan, iklim kerja yang tidak kondusif, dan perpecahan di tubuh organisasi atau lembaga sehingga visi yang sama-sama di bangun hancur berantakan juga di akibatkan lodel mental.
D.    Team Learning (Belajar Beregu)
Kemampuan dasar yang ada dalam diri seseorang tidak akan berkembang apabila hanya dimilikinya sendiri tanpa ditulrakan kepada orang di sekitar. Kemampuan/potensi yang ada hanya akan menjadi benda mati yang terus menerus akan terkubur di tengah berbagai macam kemampuan yang ada. Dinamika heterogenitas manusia akan menjadi sebuah keindahan dan sinerji yang kokoh apabila dibuktinyatakan dalam kondisi kebersamaan. Disinilah perlunya team learning dalam membangun pembelajaran sesama.
Akumulasi pengetahuan dari pembelajaran setiap individu yang kemudian dibagi kepada anggota lainnya sehingga menjadi pengetahuan tim.[3] Berbagi ilmu pengetahuan sangat diperlukan demi kekuatan tim di instansi/lembaga/organisasi. Merupakan suatu keterpurukan bersama apabila masing-masing individu bertahan dengan kemampuan yang dimiliki. Kalau ada permasalahan yang muncul nanti tentu akan berdampak kepada egois masing-masing.
Bukankah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh merupakan semboyan yang sangat ampuh dalam membangun kebersamaan dan kemajua?. Untuk itu team learning harus ditumbuh suburkan dalam sebuah organisasi/lembaga. Sehingga sistem berat sama dipikul ringan sama dijinjing sekaligus memupuk rasa kekeluargaan dalam dunia kerja akan menciptakan iklim yang kondusif dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan dalam visi.
E.     System Thinking (Berfikir sistem)
System Thinking merupakan motor penggerak pembelajaran dalam memberikan arah dalam mencapai visi dan tujuan. “System thinking is particularly relevan to education because of the types of problems that are prevalent in school system.[4] Kesesuaian system berfikir ini akan mendorong unsur yang berfungsi sesuai dengan tugasnya. Adanya keterkaitan dan saling tergantung diantara seluruh fungsi-fungsi organisasi. Semuanya bekerja dalam satu kesatuan dalam satu sistem.[5]
Berfikir sistemik juga akan memberikan kegiatan yang maksimal. Kepala sekolah bekerja sebagai fungsinya dalam memimpin (leader), sementara guru juga melaksanakan fungsinya sesuai dengan tugas yang diembannya, demikian juga tata usaha selaku fasilitator administratif operasional sekolah. Apabila salah satu sistem rusak, maka akan berdampak kepada seluruh unsur yang ada.
Komputer yang bekerja sistemik, akan sangat membantu kinerja bagi pemakainya. Segala urusan akan selesai sesuai perintah operator. Namun apabila satu unsur komputer itu rusak, maka semua keinginan operator tidak akan terbacanya sehingga terganggunya kerja.
Demikianlah system thinking bekerja dalam operasionalnya. Sistem berfikir yang positif dalam setiap individu akan menentukan tata kerja. Dengan sistem berfikir segala pekerjaan yang semula berat, akan dapat diselesaikan.
Kesimpulan
            Fifth dicipline (lima prinsip) yang dikemukakan Peter Senge ternyata telah membuka cakrawala berfikir bagi seluruh aspek. Tidak saja dalam dunia organisasi, lembaga, sekolah, bahkan masyarakat sendiripun sangat terbantu dengan lima prinsip ini. Dalam lima prinsip ini telah menggabungkan antara individualistik, masyarakat, dan bangsa.
            Kondisi zaman yang terus berkembang, seperti kompetisi yang semakin ketat, sinerji antar anggota tim yang berbeda-beda,  perubahan yang sangat cepat, dan mengantisipasi masa depan  yang penuh ketidakpastian, ternyata telah bisa teratasi kalau dengan menggunakan tulisan teori ini.
            Namun demikian, hambatan dan kelemahan-kelemahan dari teori ini pasti ada. Tinggal lagi konsep dasar dan tujuan tetap dipertahankan. Fleksibelitas dalam memecahkan problematika kerja dan individu harus  hal yang utama. Bukankah sebuah teori itu akan berkembang sesuai kondisi zaman yang ada? Bisa saja teori ini tergantikan dengan teori yang lebih menjawab tantangan zaman. Sebab ilmu itu dinamis. Sekarang dianggap baru namun beberpa saat ke depan telah usang dan tak terpakai lagi. 
Daftar Bacaan
Mouhammad Noer. Mengapa Organisasi/Perusahaan Perku Menciptakan Budaya Belajar. www.muhammadnoer.com. Diakses 10 Juni 2013.

Peter Senge.  School That Learn. London: Nicholas Brealey. 2012


  










[1] Mouhammad Noer. Mengapa Organisasi/Perusahaan Perku Menciptakan Budaya Belajar. www.muhammadnoer.com. Diakses 10 Juni 2013.
[2] Peter Senge, School That Learn,  (London: Nicholas Brealey, 2012), h. 89
[3]  Mouhammad Noer. Mengapa Organisasi/Perusahaan Perku Menciptakan Budaya Belajar. www.muhammadnoer.com. Diakses 10 Juni 2013.



[4] Peter Senge, School That Learn…., h.125
[5]  Mouhammad Noer. Mengapa Organisasi/Perusahaan Perku Menciptakan Budaya Belajar. www.muhammadnoer.com. Diakses 10 Juni 2013


1 komentar: