ISLAMISASI
ILMU DALAM PANDANGAN
SYED
MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS[1]
Kata
kunci: Naquib Al-Attas, Islam, Ilmu, Islamisasi Ilmu
PENDAHULUAN
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, merupakan sosok pribadi yang telah menorehkan tinta
emasnya dalam pergolakan pemikiran didunia ilmu pengetahuan Islam. Berbagai
pemikiran yang telah diketengahkannya di dalam realitas dunia keilmuwan telah
mampu menggugah nuansa berfikir bagi kaum intelek, pelajar dan masyarakat luas.
Tidak
sedikit hasil karyanya yang tersebar baik di Asia, Eropa dan berbagai belahan
negara-negara di dunia. Dengan demikian karya-karyanya yang dibukukan telah diterjemahkan ke berbagai
bahasa seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berbagai pandangan dan
kritikan yang mengulas isi karyanya itu ternyata banyak memberikan inspirasi
baru dalam menambah literatur karya tulis.
Prof. Syed Muhammad
Naquib al-Attas diakui sebagai sarjana ulung dan pemikir Muslim yang telah
memberikan sumbangan besar dalam pemikiran Islam kontemporar dan pendidikan
Islam. Ide dan pandangan beliau sering menjadi rujukan bukan saja oleh golongan
mahasiswa tetapi juga oleh sebahagian besar para pakar dan cendekiawan pada
hari ini.
Salah
satu bentuk pemikiran yang menggelitik dunia keilmuwan adalah pandangan beliau
tentang islamisasi ilmu. Dari berbagai buku yang ditulisnya, beliau memberikan
ulasan yang luas dan mendalam serta mendudukkan keberadaan ilmu dan Islam demi
menjawab permasalahan selama ini. Sebagaimana dalam dunia keilmuwan bahwa
terkesan adanya pemisahan antara ilmu dan agama.
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5
September 1931.[2]
Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis
keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara
inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan
orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan
bangsawan sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor.
Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi islam orang yang mendapat
gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad.
Melihat
garis keturunan di atas dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas
merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangan inteleqtual islam di
Indonesia dan Malaysia. Faktor inhern keluarga Syed Muhammad Naquib Al-Attas
inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang
tua selama lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan
hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar
yang sangat kuat.
Ayahnya bernama Syed Ali putra dari
Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Kakek Syed Muhammad Naquib adalah
salah seorang wali yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun negeri Arab.
Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah
dengan Ungku Abdul Majid, Adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah
dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah
Ungku Abdul Majid meninggal, Ruqayah menikah lagi dengan Syed Abdullah Al Attas
dan dikarunia anak bernama Syed Ali Attas (ayah Muhammad Naquib).
Sedangkan Ibunya bernama Syarifah
Raguan al-Aydarus, yang masih keturunan dari kerabat raja-raja Sunda Sukapura,
Bogor Jawa Barat. Salah seorang ulama leluhur Muhammad Naquib dari pihak ibu
adalah Syed Muhammad al-Aydarus. Dimana beliau merupakan guru dan pembimbing
ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut, dan yang mengantarkan Nur
al-Din ar-Raniri, salah satu ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat
Rifa’iyah.
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah
anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya adalah seorang ilmuwan dan pakar
sosiologi di Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia yaitu Syed Hussein
al-Attas. Sedangkan adiknya bernama Syed Zaid al-Attas, seorang insinyur kimia
dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.
Ketika
berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke
Malaysia. Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar
Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Sebagaimana lazimnya di Malaya
waktu itu setiap anak yang bersekolah sudah pasti diajarkan ilmu ke Islaman
sebab di Malaya sistem pendidikan Islam trdisional tetap bertahan. Pondok,
surau, dan madrasah muncul sebagai pusat pengajaran agama yang sangat penting.[3]
Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai
Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia.
Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-wusqa, Sukabumi
selama lima tahun. Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan
mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa
dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat
Naqsabandiyah. [4]
Syed
Muhammad Naquib Al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang
inteleqtual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat mashuk
Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasan dan ketekuananya, dia
dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of
Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962,
dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and
the Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh. Alasan dia mengambil
judul tersebut? karena ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di
kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari
upaya Islam sendiri.
Belum puas
dengan pengembaraan intelektualnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas kemudian
melanjutkan studie School of Oriental and African Studies di Univesitas London,
disinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggeris yang memiliki
pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran
metodologis. Selama lebih kurang dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin
Lings, al-attas menyelesaikan studinya dengan mempertahankan disertasinya yang
berjudul “The Misticisme of Hamzah Pansuri.”[5]
ia mempunyai pengaruh besar dalam diri Syed Muhammad Naquib Al-Attas, adalah
asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis,
kosmologis dan psikologis, asumsi dasar inilah yang pada perkembangan
selanjutnya dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas sendiri.
Memasuki
tahapan pengabdian kepada Islam, Syed Muhammad Naquib Al-Attas memulai dengan
jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan
pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya Kajian Melayu.
Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi
di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang berisi
ajaran ajaran islam yang kebanyakan dibicarakan dalam karya melayu adalah
ajara-ajaran Islam terutama tasawuf. Bahkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas
mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam
terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut
positif oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978
berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamuic Thought
and Civilization) dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.[6]
Dari
biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas, maka dapat difahami mengapa pola fikir
beliau begitu penuh dengan nuansa agama dan sains. Hal ini disebabkan bahwa masa kecilnya beliau telah ditempa dalam
situasi sufistik (Naqasabandiyah). Banyak sedikitnya dunia tasauf telah
merasuki jiwanya sejak kecil. Pendalaman tasauf juga dipelajarinya dibangku
perkuliahan sehingga dengan disiplin ilmu tasawuf telah menghantarkannya ke
jenjang program Master hingga Doktornya dengan pembahasan yang sangat pekat dengan faham mutasawwufin..
Setelah
mendalami dunia tasawuf, beliau menambah wawasan keilmuwannya di negara Eropa
yang lebih dikenal dengan negara sekularis dengan ilmu filsafat. Sehingga
berbagai disi[lin ilmu terkombinasi
dalam jiwanya. Tak heran dengan jenjang pendidikan yang dijalaninya baik di
Indonesia, Malaysia, Amerikan dan London menjadikan sosok Syed Muhammad Naquib
Al-Attas tampil sebagai ilmuwan yang memadukan tasawuf, filsafat dan cabang
studi Islam lainnya yang tergolong rumit. Pantas saja kalau kedalaman ilmu dan
ketajaman pemikirannya diakui di kancah dunia ilmu pengetahuan.
Dalam
karya tulis, Naquib Al-Attas telah banyak menambah litertur ilmu pengetahuan.
Buku-buku yang telah berhasil diantaranya: The
Mysticism of Hamzah Fansuri
(1969), Raniri
and the Wujudiyah of 17th century Acheh, Sufism as understood and
Practiced Among the Malays (1966), The Origin of the Malay Sha’ir
(1968), Concluding
Postcript to origin of the Malay Sha’ir (1971), Islam in
the History and Culture of the Malays (1972), Comment
on the Re-examination of al-Rainiri’s Hujjatul Siddiq: a refutalion, islam: the
cncept of religion and the foundation of ethics and morality (1975),
Rangkaian
Ruba’iyyat (1959), Some Aspect of Sufism an Understood and
Practiced Among the Malays (1963), Preleminary Statement on a General Theory of
the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (1969), The
Correct date of the Trengganu Inscription (1971), Islam
the Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality
(1976) Tejemahan berjudul Tantangan Islam, Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education
(1977), Islam
and Secularism (1978) Terjemahan berjudul Islam
dan Sekularisme, dan juga dengan judul Dilema Kaum Muslim, The
Concepts of Education in Islam: A Franework for an Islamis Philosophy of
Education (1980), Terjemahan berjudul Islam dan Filsafat Sains, A
Comentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniry (1986), The
Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id
of al-Nasafi (1988), Islam
and the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of the
Human Soul (1990), On
Quiddity and Essence (1990), The Intuition of Existence (1990), The Meaning and Experience of Happiness in
Islam (1993), The
Degrees of Existence(1994), Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995), Risalah untuk Kaum Muslimin (2001), Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam
(2007).
B.
ISLAM DAN ILMU
Pemahaman Syed
Muhammad Naquib Al-Attas tentang Islam.
Secara bahasa, Islam diidentikkan
oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan din yang secara umum dimaknai
dengan agama yang difahami dan ditafsirkan dalam konteks sejarah keagamaan di Barat. Apabila kita berbicara
tentang Islam dan merujuknya dalam bahasa Inggeris sebagai ‘religion’,
maka yang dimaksud dan mengerti tentang agama tersebut adalah din,
dimana seluruh makna dasar yang terkandung di dalam kata din itu
difahami dan membentuk kesatuan makna yang bersepadu, seperti tergambar dalam
al-Qur’an dan berasal dari bahasa Arab.[7]
Dalam penjelasan selanjutnya Naquib Al-Attas[8]
Makna-makna utama dalam kata din dapat disimpulkan menjadi empat: (1) keadaan
berhutang; (2) penyerahan diri; (3) kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami.
Makna-makna tersebut ditempatkan pada konteks yang sesuai, dimana ia membawa
maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti seorang muslim
secara individu maupun secara kolektif sebagai satu umat terjelma secara
keseluruhan sebagai agama yang disebut dengan Islam.
Menilik dari penjelasan diatas, maka
pemaknaan Islam menurut Naquib Al-Attas mencakup seluruh aspek dan waktu bagi
kehidupan, permasalah serta tujuan akhir
akhir setiap muslim baik individu maupun secara keseluruhan. Keadaan berhutang
mengandung arti bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban yang harus
dilaksanakan. Begitu juga penyerahan diri yang menjadi tujuan hidup seorang
muslim secara total untuk taat dan menjadi hamba yang setia kepada Allah. Konsep hukum, peraturan dan keadilan serta
otoritas, juga perbaikan budaya sosial yang terkandung dalam pemaknaan kuasa
peradilan merupakan suatu cermin bahwa setiap muslim harus patuh dan taat
terhadap tatanan hukum yang digariskan dalam syar’I melaui Al-Qur’an dan
al-Hadis. Sementara kecenderungan alami bermakna bahwa kebiasaan, adat,
pembawaan atau kecenderungan alamiah lainnya juga tergabung dalam konsep Islam.
Dari aspek yang berbeda Naquib
Al-Attas memberikan komentar lain bahwa Islam merupakan pelambang dari tata
kosmos Ilahi, maka manusia Islam yang menyadari takdirnya menyadari bahwa ia
sendiri, sebagai makhluk fisik, juga merupakan pelambang dari pada kosmos, atau
merupakan gambaran mikrokosmis, ‘alam shaghir, dari makrokosmos, ‘alam
al-kabir. [9]
Pandangan ini digunakan dalam memberikan pemahaman Islam melalui ketergantungan
manusia dengan Sang Pencipta. Sehingga manusia mempunyai hubungan dengan Sang
Pencipta melalui tatanan ibadah dan
aspek pengetahuan yang menerangkan inti dari agama Islam.
Dalam buku yang sama Naquib Al-Attas[10]
juga mengatakan bahwa Islam sebagai agama pribadi yang subyektif bagi
individu-individu maupun sabagai agama obyektif yang meliputi bagi masyarakat –
dan bahwa agama ini berlaku di dalam diri individu sebagai sebuah entitas
tunggal maupun di dalam masyarakat yang terdiri dari entitas-entitas tunggal
maupun di dalam masyarakat yang teridiri dari entitas-entitas itu secara
kolektif.[11]
Perbedaan ini memberikan makna mendalam bahwa tingkat keIslaman itu bertingkat
sesuai dengan aktualisasi diri dalam melaksanakan ajaran Islam.
Di dalam Islam- karena menurut Islam
agama itu mencakup seluruh bidang kehidupan- segala kebajikan adalah perbuatan
yang religius. Kebajikan ini harus berhubungan dengan kemerdekaan dari jiwa
yang rasionil, kemerdekaan yang berarti kesanggupan untuk berlaku adil kepada
diri sendiri. [12] Sehingga dengan Islam itu, maka setiap muslim
dinyatakan berbuat kebajikan kalau berusaha menggunakan akal pikrannya demi
mengembangkan kebebasan berfikir.
Pemahaman
Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Ilmu.
Secara umum dapat difahami bahwa
ilmu tidak memerlukan pendefenisian (hadd).[13]
Makna yang terkandung dalam istilah ‘ilm secara alami dapat langsung
dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, karena ilmu adalah
salah satu sifat yang paling penting baginya.[14] Memaknai
hal itu bahwa ilmu menurut Naquib Al-Attas hanya dapat dirasakan melalui apa
objek yang difahami oleh manusia itu sendiri. Makanya ilmu itu dibedakan
sesusai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga untuk tujuan
pengklasifikasian yang sesuai tindakan kita, kita akan katakan bahwa dengan
cara yang sama sebagaimana manusia yang teridir dari dwi hakikat yang memiliki
dua jiwa, demikian pula ilmu terbagi kepada dua jenis: yang satu adalah hidangan
dan kehidupan bagi jiwanya, dan yang lainnya adalah bekalan bagi melengkapai
diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya.[15]
Dalam pandangan seanjutnya Naquib
Al-Attas mengatakan bahwa ilmu yang menjadi hidangan bagi jiwa manusia itu merupakan
jenis ilmu pertama yang diberikan Allah melalui wahyu-Nya kepada manusia; dan
ini merujuk kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu banyak terkandung
hikmah-hikmah, syariah yang bisa dijadikan ilmu. Sementara terkait dengan ilmu spritual dan
kebijaksanaan hanya dapat diperoleh
manusia melalui ibadah (‘ibadat) yang dilakukan dengan cara penikmatan
spritual (dawq), penglihatan spritual (kasyf) sehingga dengan itu
ma’rifah akan nampak tergambar dalam jiwanya. Ilmu seperti ini diterima
dengan belajar melaui sufistik.
Adapun jenis ilmu yang bekal bagi
melengkapi diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya itu
merujuk kepada ilmu-ilmu sains (‘ulum) yang diperoleh melalui berbagai
penelitian, pengalaman, dan pengamatan. Dalam pencapaian ilmu seperti ini maka
sarana yang dipakai manusia adalah panca indera dan diolah oleh rasi berfikir
sesuai bidang pengkajiannya. Inilah yang dilakukan manusia dengan belajar atau
sistem pendidikan.
Menurut Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, dalam mendapatkan ilmu itu ada dua jenis; pertama, yang
diberikan oleh Allah kepada manusia, dan kedua, yang diperoleh manusia, melalui
usaha penyelidikan rasionalnya yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan. [16]
Dijelaskannya bahwa ilmu yang pertama hanya dapat diterima oleh manusia melalui
perbuatan penyembahan dan ketaatan, perbuatan-perbuatan pengabdian kepada allah
(ibadah), yang bergantung kepada kemurahan Allah dan kemampuan serta kekuatan
spritualnya yang tersembunyi, yang diciptakan oleh Allah untuk menerimanya.
Usaha dalam mendapatkan ilmu seperti ini dengan menggunakan pendekatan langsung
kepada Allah (basyirah) melalui kekuatan spritual (bathin) yang disebabkan
terbukanaya pandangan spritualnya (kasyf). Inilah yang dimaksudnya dengan
hubungan antara makrokosmos – mikrokosmos (Allah – manusia).
Sementara untuk jenis ilmu yang
kedua yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan; yang bersifat diskursif
dan deduktif yang merujuk kepada objek-objek bernilai pragmatis.[17] Dalam
mendapatkan ilmu seperti ini harus melalui berbagai pendekatan individu melalui
berbagai kegiatan belajar. Mulai dari mengenal, mempelajari, menganalisa serta
meneliti dengan kemampuan akal yang dimiliki.
Dari pendapat yang diketengahkan
oleh Naquib al-Attas, maka dapatlah difahami bahwa ilmu itu semua bersumber
dari Allah melaui sejumlah saluran: indra yang sehat, laporan yang benar yang
disandarkan pada otoritas akal yang sehat dan instuisi.[18]
Ini sesuai dengan makna bahwa Allah memberikan ilmu itu sesuai dengan kemauan,
kemampuan serta kepada siapa ilmu itu diizinkan_Nya bagi manusia.
C.
PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG
ISLAMISASI ILMU
Setelah memahami kajian Naquib
Al-Atta tentang Islam dan Ilmu, maka akan dilanjutkan dengan bagaimana prinsip,
pandangan, gagasan, ide serta formulasi yang dibangun beliau dalam sebuah
sistem yang disebut dengan Islamisasi Ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu untuk
pertama kalinya dilontarkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas dalam Konferensi
Internasional tentang Pendidikan Islam (World Conference on Islamic
Education) di Mekkah (1977) dan
Islamabad (1980).[19]
Gagasan ini kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi melalui karyanya
yang berjudul Islamization of Knowledge (1982).[20]
Islamisasi Ilmu yang dimaksudkan
oleh Al-Attas adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan
atas idiologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan
manusia-manusia sekuler.[21]
Islamisasi Ilmu yang digagas oleh Al-Attas ini bisa dikatakan sebagai
dekonstruksi atas sekularisasi ilmu dan melanjtukannya dengan melakukan
rekonstruksi dengan cara meletakkan pondasi ontologi yang kokoh yang didasarkan
atas prinsip kesatuan (tawhid), yaitu bahwa semua ilmu berasal dari Yang
Satu. Dari prinsip ini secara aksiologis diletakkan nilai-nilai moralitas (adab),
kemudian secara epistemologis dimulai dengan islamisasi bahasa, dibangun
kerangka keilmuwan yang holistik dengan cara mengintegrasikan semua sumber ilmu
yang berasal dari wahyu, intuisi, rasio, maupun empiri.[22]
Kronologis dalam proses islamisasi
ilmu dalam pandangan Naquib Al-Attas berpijak dari kondisi ilmu yang telah
dikuasai oleh Barat. Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat
berasal dari penghapusan keterpesonaan manusia terhadap agama sebagaimana yang
difahami oleh peradaban tersebut.[23]
Berbagai cara yang dilakukan orang Barat semuanya bertujuan untuk menyimpangkan
pemikiran manusia dari agamanya terlebih agama Islam.
Dengan dalih bahwa kebenaran agama
yang asasi dipandang, dalam cara berfikir yang digunakan dianggap tidak berguna
serta dengan berbagai argumentasi agar ada penolakan untuk menerima agama
sebagai landasan. Sehingga timbullah sebuah kondisi “Manusia dipertuhankan dan
Tuhan dipermanusiakan.”[24]
Sehingga dengan demikian makin jauhlah manusia dari nilai-nilai ajaran Islam
dan mengagungkan hasil penelitian Barat yang dianggap unggul dan rasional.
Dengan demikian ilmu yang secara
sistematik disebarkan ke seluruh dunia saat ini bukanlah ilmu yang sejati,
tetapi ilmu itu sudah diserapi oleh watak dan kepribadian kebudayaan Barat,
dipenuhi dengan semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya.[25]
Untuk itu, merupakan suatu keharusan bagi kaum pelajar untuk segera mengetahui
tujuan yang terselubung dari kemasan ilmu yang diformulasi dalam kemajuan ilmu.
Kalau sudah tahu keadaan ini maka bersegera untuk menyikapi dan mengambil sikap
demi terbebasnya diri . inilah yang dimaksud dengan sekularisme yang
didfinisikan Al-Attas sebagai “suatu proses kesejarahan ,yang tidak dapat
diterbalikkan , dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari bimbingan dan
kawalan agama serta pandangan alam (worldview) metafisik yang tertutup”.[26]
Dalam kaitannya dengan pandangan
selaku manusia, tempat ‘ilm itu berada pada jiwa manusia (al-nafs),
hatinya (al-qalb), dan akhirnya akalnya (al-‘aql).[27]
Melalui unsur-unsur inilah Barat mempengaruhi umat Islam. Dimasuki jiwa, hati
dan akal dengan memberikan keraguan terhadap agama sehingga agama dianggap
menjadi sebuah pola yang mengekang dan mengarah kepada ketertinggalan.
Memahami epistemologi Islam yang
paling tepat untuk ilmu, dengan Allah SWT sebagai sumbernya, ialah tibanya
(husul) makna sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan jiwa sebagai
penafsir maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa kepada makna sesuatu hal
atau suatu objek ilmu. Alam semesta, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an
bagaikan sebuah Buku Agung (A Great Book), dan setiap bagiannya yang meliputi
cakrawala terjauh dan termasuk diri kita sendiri, bagaikan sebuah kata dalam
Buku Agung yang berbicara kepada manusia tentang pengarangnya.[28]
Berpatokan kepada epistimologi yang memuat seperti si atas, maka ini menjadi
landasan utama dalam memaknai Islam dan ilmu.
Untuk menilai perumusan masalah dan
penyebaran ilmu dalam dunia Islam pada masa ini, kita harus melihat bahwa penyusupan
konsep-konsep kunci daripada dunia Barat telah membawa kekeliruan yang pada
akhirnya menimbulkan akibat yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang
dirumuskan dan disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas dan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya mulai dari tingkat dasar hingga tingkat
tinggi sebenarnya adalah ilmu yangmengandung watak, kepribadian, kebudayaan dan
peradaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat.[29]
Untuk itu dalam menghadapi semua ilmu yang telah terkontaminasi dengan nuansa
Barat yang akan menjauhkan dari agama (Islam), maka harus diadakan tindakan
yang dapat mencegah dan memperbaiki konsep Barat yang ada dalam ilmu. Untuk itu
Naquib Al-Attas[30]
memberikan 4 langkah: (1) mengasingkan unsur-unsur itu termasuk konsep-konsep
kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban itu. (2) mengisinya dengan
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. (3) pencantuman atau pemindahan
dengan sains dan prinsip-prinsip Islam. (4) merumuskan dan memadukan
unsur-unsur Islam yang utama serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan
suatu kandungan yang merangkumi ilmu teras untuk kemudian ditempatkan dalam
pendidikan Islam dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Dengan
langkah-langkah ini sekaligus tugas dalam memadukan ilmu dengan Islam
(Islamisasi Ilmu) serta menghapuskan doktrin Barat yang membayang-bayangi dalam
tatanan ilmu itu sendiri.
Selanjutnya Naquib Al-Attas
mengatakan, bahwa pendidikan Islam dirancang dalam susunan berperingkat agar
sesuia dengan tahap masing-masing tingkat. Ilmu teras pada tingkat universitas,
yaitu yang harus pertama sekali dirumuskan sebelum tingkat lainnya, haruslah
mengandungi bahan-bahan yang bertalian dengan hakikat manusia (insan); hakikat
agama (din) dan keterlibatan manusia di dalamnya; ilmu (‘ilm dan ma’rifah),
kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (‘adl) yang berhubungan dengan manusia dan
agamanya, hakikat amal yang benar (‘amal-adab). Semua ini harus merujuk kepada
konsep Tuhan, Esensi dan sifat-sifat-Nya (tauhid), Wahyu (Kitab Suci
Al-Qur’an), makna dan pesannya; Hukum yang diwahyukan (Syari’ah) dengan segala
tuntutannya. Disamping itu dalam melengkapi kompelsitas keilmuwan Islam itu
harus ditambah dengan tashawuf, filsafat Islam, etika Islam dan Bahasa Arab.
Dengan demikian maka kalau semua
unsur yang disebutkan di atas telah lengkap, maka diaplikasikandi dalam sistem pendidikan
di seluruh dunia Muslim, oleh karena ilmu teras ini wajib bagi setiap Muslim
(Fard ‘ayn).[31]
Begitulah pemikiran Naquib Al-Attas dalam menata dan memprogramkan Islamisasi
Ilmu bagi ummat Islam sehingga ilmu itu menutup celah bagi Barat untuk mereka pengaruhi.
Bagaimana halnya dengan ilmu sains?
Adapun ilmu sains ditetapkan sebagai
wajib untuk sebagian orang (fard kifayah) telah dinyatakan bahwa ia mesti diisi
dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam setelah unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci asing itu dipisahkan dari setiap cabangnya. Ilmu ini harus
disertai dengan ilmu tentang sejarah Islam, kebudayaan dan peradaban Islam.[32]
Sehingga sains itu dipelajari melalui keberhasilan para ulama terdahulu dengan
keberhasilannya dalam menemukan ilmu sains dan diperkenalkan melalui sejarah.
Untuk itu menurut Al-Attas harus ada
kerja keras bagi segenap kaum muslim memperkenalkan, mengajarkan dan
mempelajari mulai dari pelajar, mahasiswa, masyarakat hingga penguasa Islam.
Senada dengan itu perguruan-perguruan tinggi harus berusaha merobah tatanan
pembelajaran melalui materi yang berguna
bagi perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian harus ada
pengklasifikasian ilmu bagi jenis kelamin antara wanita dengan laki-laki.jika
kewajiban untuk memperoleh ilmu teras ditujukan kepada semua orang, baik
laki-laki maupun wanita, namun dalam ilmu sains, cabang-cabang ilmu tertentu
boleh jadi dilihat tidak sesuai bagi wanita, sehingga sebagian ada yang
diwajibkan untuk laki-laki saja dan sebagian lagi bagi wanita saja.[33]
Perbedaan ini diberikan agar adanya kesesuaian ilmu dengan kemampuan dan
kewajaran yang mepelajarinya agar tidak terjadi kesalahan dan norma yang
melampaui batas hakikat kemanusiaan.
Demikianlah pandangan dan gagasan
yang dilemparkan bagi umat Islam dalam membentuk serta menerapkan Islam ke
dalam ilmu. Pemikiran yang cemerlang itu ternyata disambut baik oleh muslim di
negara-negara Islam. Aplikasinya nampak dari banyaknya perubahan lembaga
pendidikan Islam tingkat tinggi yang dulunya IAIN sekarang berubah menjadi Universitas (UIN)
termasuk di Indonesia.
PENUTUP
Islam merupakan sarana yang
menghubungkan manusia dengan Allah. Sehingga antara manusia dengan Allah
terbingkai dalam mikrokosmos dan makrokosmos. Saluran yang dipakai dalam hubungan
itu adalah ilmu. Maka Islam dan Ilmu merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan mencapai kebenaran. Pencapaian ilmu didapatkan melalui hidayah
Allah dan usaha manusia itu sendiri. Idealnya muslim yang berpegang teguh akan
Islam dan Ilmu akan meraih kesuksesan dalam berfikir.
Ternyata, hal yang seperti itu tidak
terjadi selama ini. Penyebab dari permasalahan ini adalah munculnya pemikiran
dan budaya Barat dalam setiap aspek ilmu. Barat telah berhasil meracuni pikiran
Muslim melalui kebudayaan yang masuk ke tubuh umat Islam. Lembaga pendidikan
Islam hampir semua terkontaminasi oleh budaya Barat yang berusaha untuk
menjauhkan muslim dari Islam melalui ilmu.
Melihat kenyataan ini maka sosok
Syed Muhammad Naquib Al-Attas tampil sebagai sosok yang ingin memberi perubahan
dengan menggabungkan Islam dalam Ilmu. Usaha yang dilakukannya ternyata
mendapat sambutan baik sehingga terjadilah Istilah Islamisasi Ilmu yang
berdampak kepada perbaikan lembaga pendidikan. Akhirnya lembaga pendidikan Islam
berhasil menemukan jati dirinya dengan selalu dekat dengan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al- Attas, Syed Muhammad Naquib . Prolego Mena to The Metaphysics of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
Al- Attas, Syed Muhammad Naquib . Islam dan Sekularisme. Bandung:
Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010.
Al- Attas, Syed Muhammad Naquib . Islam: Konsep Agama dan Dasar
dari Etika dan Moralitas dalam buku Altaf Gauhar, Tantangan Islam. Bandung:
Pustaka, 1978.
Kuswanjono, Arqom . Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Mulla
Sadra.Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010.
Nata, Abuddin . Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat . Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Nizar, Syamsul . Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan praktis. Jakarta: Ciputat, 2002.
Nur, Syaifan . Filsafat Wujud Mulla Sadra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Sadra, Mulla. Kitab Al-Masha’ir, penerjemah:Henry Corbin. Tehran:
Departement d’Iranologie l’Institut Franco-Iranean, 1964.
Thohir, Ajib . Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif
Etno-Linguistik dan Geo Politik .Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
[1]
Disampaikan pada seminar kelas mata kuliah Epistemologi Islam Program Doktor
Pendidikan Islam semester II IAIN SU pada tanggal 11 Mei 2013 dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Nur A.
Fadhil Lubis, MA.
[2]
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), h. 331
[3]
Ajib Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo
Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 348
[4]
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam…., h. 331
[5]
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolego Mena to The Metaphysics of
Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), H. 252-283
[6]
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002), h. 117-121
[7]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Institut
Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), h. 63
[8]
Ibid., h. 64
[9]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan
Moralitas dalam buku Altaf Gauhar, Tantangan Islam (Bandung: Pustaka,
1978), h. 48.
[10]
Ibid., h. 51
[11]
Sebenarnya tidak ada hal yang disebut sebagai Islam subyektif dan Islam
obyektif di dalam pengertian bahwa Islam subyektif mempunyai lebih sedikit
realitas dan kebenaran daripada Islam obyektif sehingga Islam subyektif dapat
dipandang kurang berlaku dan kurang
otentik daripada Islam obyektif; atau bahwa Islam obyektif berbeda dengan Islam
subyektif sebagai sebuah realitas dan kebenaran yang berdiri sendiri sedangkan
Islam subyektif adalah sebagai interprestasi-interprestasi dari pengalaman obyektif.
Islam subyektif dan Islam obyektif adalah sama. Penggunaan kata “subyektif” dan
“obyektif” untuk memisahkan bukan untuk membeda-bedakan diantara keduanya.
Perbedaan keduanya tergantung kepada tingkat pemahaman, wawasan dan praktek di
antara sesama muslim. Jadi perbedaan ini menunjukkan aspek keihsanan dari pengalaman Islam. Walaupun adanya
perbedaan tingkat pemahaman, wawasan dan praktek diantara sesama orang muslim,
namun mereka semua adalah orang-orang muslim, hanya ada satu Islam, dan yang
dimiliki oleh mereka semua adalah Islam yang sama.
[12]
Ibid., h. 54-55
[13]
Telah banyak upaya yang dilakukan pemikir Muslim untuk mendefinisikan ilmu baik
secara filsafat maupun epistimologi, defeinisi paling baik- menurut al-Amidi
dalam karyanya yang dikutip dan juga
pada karya lainnya; al-ihkam fi Usul al –Ahkam- dibuat oleh Fakhr al
–Din al-Razi. Ibnu Hazm, dan juga al-Ghazali dalam Maqasid al-Falasifah,
telah membedakan makna definisi sebagai wujud dalam dua bentuk, yang satu
merujuk kepada penggambaran akan hakikat sesuatu objek yang didefinisikan (rasm);
dan yang lain terkait dengan ringkasan mengenai karakteristik khusus dari objek
yang didefinisikan (hadd). Disini kita tidak menyinggung definisi ilmu
baik secara filsafat maupun epistimologi, anun lebih pada klasifikasi umumnya
yang ditetapkan untuk dugunakan dalam sebuah sistem aturan dan disiplin dalam
sistem pendidikan.
[14]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan……, h. 179
[15]
Ibid.,
[16]
Ibid …,h.97-98.
[17]
Ibid., h. 99
[18]
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam….,h. 338
[19]
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 168
[20]
Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Mulla Sadra,
(Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010), h. 72
[21][21]
Mulla Sadra, Kitab Al-Masha’ir, penerjemah:Henry Corbin, (Tehran:
Departement d’Iranologie l’Institut Franco-Iranean, 1964), h. 35
[22]
Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu…, h.74
[23]
Syed Muhammad Naquib Al_Attas, Islam dan……., h. 168
[24]
Ibid., h. 169.
[25]
Ibid.,
[26] Ibid.,
h.20.
[27]
Ibdi., h. 173
[28]
Ibid., h.198
[29]
Ibid., h. 200
[30]
Ibid.,
[31]
Ibid., h. 202
[32]
Ibid.,
[33]
Ibid., 203
mantab cuy
BalasHapusBenar2 kontribusi ilmiah.
BalasHapus