Jumat, 07 Februari 2014

ISLAMISASI ILMU DALAM PANDANGAN NAQUIB AL-ATTAS



ISLAMISASI ILMU DALAM PANDANGAN
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS[1]
Kata kunci: Naquib Al-Attas, Islam, Ilmu, Islamisasi Ilmu
PENDAHULUAN
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, merupakan sosok pribadi yang telah menorehkan tinta emasnya dalam pergolakan pemikiran didunia ilmu pengetahuan Islam. Berbagai pemikiran yang telah diketengahkannya di dalam realitas dunia keilmuwan telah mampu menggugah nuansa berfikir bagi kaum intelek, pelajar dan masyarakat luas.
Tidak sedikit hasil karyanya yang tersebar baik di Asia, Eropa dan berbagai belahan negara-negara di dunia. Dengan demikian karya-karyanya yang  dibukukan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berbagai pandangan dan kritikan yang mengulas isi karyanya itu ternyata banyak memberikan inspirasi baru dalam menambah literatur karya tulis.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas diakui sebagai sarjana ulung dan pemikir Muslim yang telah memberikan sumbangan besar dalam pemikiran Islam kontemporar dan pendidikan Islam. Ide dan pandangan beliau sering menjadi rujukan bukan saja oleh golongan mahasiswa tetapi juga oleh sebahagian besar para pakar dan cendekiawan pada hari ini.
Salah satu bentuk pemikiran yang menggelitik dunia keilmuwan adalah pandangan beliau tentang islamisasi ilmu. Dari berbagai buku yang ditulisnya, beliau memberikan ulasan yang luas dan mendalam serta mendudukkan keberadaan ilmu dan Islam demi menjawab permasalahan selama ini. Sebagaimana dalam dunia keilmuwan bahwa terkesan adanya pemisahan antara ilmu dan agama.


PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB  AL-ATTAS
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931.[2] Pada waktu itu berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunanya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren, sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan  mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad.
Melihat garis keturunan di atas dapat dikatakan bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangan inteleqtual islam di Indonesia dan Malaysia. Faktor inhern keluarga Syed Muhammad Naquib Al-Attas inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang tua selama lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar  yang sangat kuat.
Ayahnya bernama Syed Ali putra dari Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Kakek Syed Muhammad Naquib adalah salah seorang wali yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun negeri Arab. Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, Adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid meninggal, Ruqayah menikah lagi dengan Syed Abdullah Al Attas dan dikarunia anak bernama Syed Ali Attas (ayah Muhammad Naquib).
Sedangkan Ibunya bernama Syarifah Raguan al-Aydarus, yang masih keturunan dari kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Bogor Jawa Barat. Salah seorang ulama leluhur Muhammad Naquib dari pihak ibu adalah Syed Muhammad al-Aydarus. Dimana beliau merupakan guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut, dan yang mengantarkan Nur al-Din ar-Raniri, salah satu ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya adalah seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Universitas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia yaitu Syed Hussein al-Attas. Sedangkan adiknya bernama Syed Zaid al-Attas, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.
Ketika berusia 5 tahun, Syed Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan dasar Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Sebagaimana lazimnya di Malaya waktu itu setiap anak yang bersekolah sudah pasti diajarkan ilmu ke Islaman sebab di Malaya sistem pendidikan Islam trdisional tetap bertahan. Pondok, surau, dan madrasah muncul sebagai pusat pengajaran agama yang sangat penting.[3] Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan terekat Naqsabandiyah. [4] 
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang inteleqtual. Untuk itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat  mashuk Univesitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasan dan ketekuananya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17th Centhury Acheh. Alasan dia mengambil judul tersebut? karena ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan di kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya Islam sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas kemudian melanjutkan studie School of Oriental and African Studies di Univesitas London, disinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggeris yang memiliki pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama lebih kurang dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, al-attas menyelesaikan studinya dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul “The Misticisme of Hamzah Pansuri.”[5] ia mempunyai pengaruh besar dalam diri Syed Muhammad Naquib Al-Attas, adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis dan psikologis, asumsi dasar inilah yang pada perkembangan selanjutnya dikembangkan oleh Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Syed Muhammad Naquib Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya Kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia  dan Malaysia. Karya-karya pujangga melayu banyak yang berisi ajaran ajaran islam yang kebanyakan dibicarakan dalam karya melayu adalah ajara-ajaran Islam terutama tasawuf. Bahkan  Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi. Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah Malaysia, sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute Of Islamuic Thought and Civilization) dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.[6]
Dari biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas, maka dapat difahami mengapa pola fikir beliau begitu penuh dengan nuansa agama dan sains. Hal ini disebabkan  bahwa masa kecilnya beliau telah ditempa dalam situasi sufistik (Naqasabandiyah). Banyak sedikitnya dunia tasauf telah merasuki jiwanya sejak kecil. Pendalaman tasauf juga dipelajarinya dibangku perkuliahan sehingga dengan disiplin ilmu tasawuf telah menghantarkannya ke jenjang program Master hingga Doktornya dengan pembahasan  yang sangat pekat dengan faham mutasawwufin..
Setelah mendalami dunia tasawuf, beliau menambah wawasan keilmuwannya di negara Eropa yang lebih dikenal dengan negara sekularis dengan ilmu filsafat. Sehingga berbagai disi[lin  ilmu terkombinasi dalam jiwanya. Tak heran dengan jenjang pendidikan yang dijalaninya baik di Indonesia, Malaysia, Amerikan dan London menjadikan sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas tampil sebagai ilmuwan yang memadukan tasawuf, filsafat dan cabang studi Islam lainnya yang tergolong rumit. Pantas saja kalau kedalaman ilmu dan ketajaman pemikirannya diakui di kancah dunia ilmu pengetahuan.
Dalam karya tulis, Naquib Al-Attas telah banyak menambah litertur ilmu pengetahuan. Buku-buku yang telah berhasil diantaranya: The Mysticism of Hamzah Fansuri (1969), Raniri and the Wujudiyah of 17th century Acheh, Sufism as understood and Practiced Among the Malays (1966), The Origin of the Malay Sha’ir (1968), Concluding Postcript to origin of the Malay Sha’ir (1971), Islam in the History and Culture of the Malays (1972), Comment on the Re-examination of al-Rainiri’s Hujjatul Siddiq: a refutalion, islam: the cncept of religion and the foundation of ethics and morality (1975), Rangkaian Ruba’iyyat (1959), Some Aspect of Sufism an Understood and Practiced Among the Malays (1963), Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago (1969), The Correct date of the Trengganu Inscription (1971), Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (1976) Tejemahan berjudul Tantangan Islam, Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and Definition and the Aims of Education (1977), Islam and Secularism (1978) Terjemahan berjudul Islam dan Sekularisme, dan juga dengan judul Dilema Kaum Muslim, The Concepts of Education in Islam: A Franework for an Islamis Philosophy of Education (1980), Terjemahan berjudul Islam dan Filsafat Sains, A Comentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniry (1986), The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi (1988), Islam and the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990), On Quiddity and Essence (1990), The Intuition of Existence (1990), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), The Degrees of Existence(1994), Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995), Risalah untuk Kaum Muslimin (2001), Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (2007).
B.     ISLAM DAN ILMU
Pemahaman Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Islam.
Secara bahasa, Islam diidentikkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dengan din yang secara umum dimaknai dengan agama yang difahami dan ditafsirkan dalam konteks sejarah  keagamaan di Barat. Apabila kita berbicara tentang Islam dan merujuknya dalam bahasa Inggeris sebagai ‘religion’, maka yang dimaksud dan mengerti tentang agama tersebut adalah din, dimana seluruh makna dasar yang terkandung di dalam kata din itu difahami dan membentuk kesatuan makna yang bersepadu, seperti tergambar dalam al-Qur’an dan berasal dari bahasa Arab.[7] Dalam penjelasan selanjutnya Naquib Al-Attas[8] Makna-makna utama dalam kata din dapat disimpulkan menjadi empat: (1) keadaan berhutang; (2) penyerahan diri; (3) kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami. Makna-makna tersebut ditempatkan pada konteks yang sesuai, dimana ia membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti seorang muslim secara individu maupun secara kolektif sebagai satu umat terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang disebut dengan Islam.
Menilik dari penjelasan diatas, maka pemaknaan Islam menurut Naquib Al-Attas mencakup seluruh aspek dan waktu bagi kehidupan, permasalah serta tujuan  akhir akhir setiap muslim baik individu maupun secara keseluruhan. Keadaan berhutang mengandung arti bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga penyerahan diri yang menjadi tujuan hidup seorang muslim secara total untuk taat dan menjadi hamba yang setia kepada Allah.   Konsep hukum, peraturan dan keadilan serta otoritas, juga perbaikan budaya sosial yang terkandung dalam pemaknaan kuasa peradilan merupakan suatu cermin bahwa setiap muslim harus patuh dan taat terhadap tatanan hukum yang digariskan dalam syar’I melaui Al-Qur’an dan al-Hadis. Sementara kecenderungan alami bermakna bahwa kebiasaan, adat, pembawaan atau kecenderungan alamiah lainnya juga tergabung dalam konsep Islam.
Dari aspek yang berbeda Naquib Al-Attas memberikan komentar lain bahwa Islam merupakan pelambang dari tata kosmos Ilahi, maka manusia Islam yang menyadari takdirnya menyadari bahwa ia sendiri, sebagai makhluk fisik, juga merupakan pelambang dari pada kosmos, atau merupakan gambaran mikrokosmis, ‘alam shaghir, dari makrokosmos, ‘alam al-kabir. [9] Pandangan ini digunakan dalam memberikan pemahaman Islam melalui ketergantungan manusia dengan Sang Pencipta. Sehingga manusia mempunyai hubungan dengan Sang Pencipta melalui tatanan  ibadah dan aspek pengetahuan yang menerangkan inti dari agama Islam.
Dalam buku yang sama Naquib Al-Attas[10] juga mengatakan bahwa Islam sebagai agama pribadi yang subyektif bagi individu-individu maupun sabagai agama obyektif yang meliputi bagi masyarakat – dan bahwa agama ini berlaku di dalam diri individu sebagai sebuah entitas tunggal maupun di dalam masyarakat yang terdiri dari entitas-entitas tunggal maupun di dalam masyarakat yang teridiri dari entitas-entitas itu secara kolektif.[11] Perbedaan ini memberikan makna mendalam bahwa tingkat keIslaman itu bertingkat sesuai dengan aktualisasi diri dalam melaksanakan ajaran Islam.
Di dalam Islam- karena menurut Islam agama itu mencakup seluruh bidang kehidupan- segala kebajikan adalah perbuatan yang religius. Kebajikan ini harus berhubungan dengan kemerdekaan dari jiwa yang rasionil, kemerdekaan yang berarti kesanggupan untuk berlaku adil kepada diri sendiri. [12]  Sehingga dengan Islam itu, maka setiap muslim dinyatakan berbuat kebajikan kalau berusaha menggunakan akal pikrannya demi mengembangkan kebebasan berfikir.

Pemahaman Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Ilmu.
Secara umum dapat difahami bahwa ilmu tidak memerlukan pendefenisian (hadd).[13] Makna yang terkandung dalam istilah ‘ilm secara alami dapat langsung dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, karena ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya.[14] Memaknai hal itu bahwa ilmu menurut Naquib Al-Attas hanya dapat dirasakan melalui apa objek yang difahami oleh manusia itu sendiri. Makanya ilmu itu dibedakan sesusai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga untuk tujuan pengklasifikasian yang sesuai tindakan kita, kita akan katakan bahwa dengan cara yang sama sebagaimana manusia yang teridir dari dwi hakikat yang memiliki dua jiwa, demikian pula ilmu terbagi kepada dua jenis: yang satu adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwanya, dan yang lainnya adalah bekalan bagi melengkapai diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya.[15]
Dalam pandangan seanjutnya Naquib Al-Attas mengatakan bahwa ilmu yang menjadi hidangan bagi jiwa manusia itu merupakan jenis ilmu pertama yang diberikan Allah melalui wahyu-Nya kepada manusia; dan ini merujuk kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu banyak terkandung hikmah-hikmah, syariah yang bisa dijadikan ilmu.  Sementara terkait dengan ilmu spritual dan kebijaksanaan  hanya dapat diperoleh manusia melalui ibadah (‘ibadat) yang dilakukan dengan cara penikmatan spritual (dawq), penglihatan spritual (kasyf) sehingga dengan itu ma’rifah akan nampak tergambar dalam jiwanya. Ilmu seperti ini diterima dengan belajar melaui sufistik.
Adapun jenis ilmu yang bekal bagi melengkapi diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya itu merujuk kepada ilmu-ilmu sains (‘ulum) yang diperoleh melalui berbagai penelitian, pengalaman, dan pengamatan. Dalam pencapaian ilmu seperti ini maka sarana yang dipakai manusia adalah panca indera dan diolah oleh rasi berfikir sesuai bidang pengkajiannya. Inilah yang dilakukan manusia dengan belajar atau sistem pendidikan.
Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam mendapatkan ilmu itu ada dua jenis; pertama, yang diberikan oleh Allah kepada manusia, dan kedua, yang diperoleh manusia, melalui usaha penyelidikan rasionalnya yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan. [16] Dijelaskannya bahwa ilmu yang pertama hanya dapat diterima oleh manusia melalui perbuatan penyembahan dan ketaatan, perbuatan-perbuatan pengabdian kepada allah (ibadah), yang bergantung kepada kemurahan Allah dan kemampuan serta kekuatan spritualnya yang tersembunyi, yang diciptakan oleh Allah untuk menerimanya. Usaha dalam mendapatkan ilmu seperti ini dengan menggunakan pendekatan langsung kepada Allah (basyirah) melalui kekuatan spritual (bathin) yang disebabkan terbukanaya pandangan spritualnya (kasyf). Inilah yang dimaksudnya dengan hubungan antara makrokosmos – mikrokosmos (Allah – manusia).
Sementara untuk jenis ilmu yang kedua yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan; yang bersifat diskursif dan deduktif yang merujuk kepada objek-objek bernilai pragmatis.[17] Dalam mendapatkan ilmu seperti ini harus melalui berbagai pendekatan individu melalui berbagai kegiatan belajar. Mulai dari mengenal, mempelajari, menganalisa serta meneliti dengan kemampuan akal yang dimiliki.
Dari pendapat yang diketengahkan oleh Naquib al-Attas, maka dapatlah difahami bahwa ilmu itu semua bersumber dari Allah melaui sejumlah saluran: indra yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas akal yang sehat dan instuisi.[18] Ini sesuai dengan makna bahwa Allah memberikan ilmu itu sesuai dengan kemauan, kemampuan serta kepada siapa ilmu itu diizinkan_Nya bagi manusia.




C.    PANDANGAN  SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG ISLAMISASI ILMU

Setelah memahami kajian Naquib Al-Atta tentang Islam dan Ilmu, maka akan dilanjutkan dengan bagaimana prinsip, pandangan, gagasan, ide serta formulasi yang dibangun beliau dalam sebuah sistem yang disebut dengan Islamisasi Ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas dalam Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam (World Conference on Islamic Education)  di Mekkah (1977) dan Islamabad (1980).[19] Gagasan ini kemudian dipopulerkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi melalui karyanya yang berjudul Islamization of Knowledge (1982).[20]
Islamisasi Ilmu yang dimaksudkan oleh Al-Attas adalah pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan atas idiologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia-manusia sekuler.[21] Islamisasi Ilmu yang digagas oleh Al-Attas ini bisa dikatakan sebagai dekonstruksi atas sekularisasi ilmu dan melanjtukannya dengan melakukan rekonstruksi dengan cara meletakkan pondasi ontologi yang kokoh yang didasarkan atas prinsip kesatuan (tawhid), yaitu bahwa semua ilmu berasal dari Yang Satu. Dari prinsip ini secara aksiologis diletakkan nilai-nilai moralitas (adab), kemudian secara epistemologis dimulai dengan islamisasi bahasa, dibangun kerangka keilmuwan yang holistik dengan cara mengintegrasikan semua sumber ilmu yang berasal dari wahyu, intuisi, rasio, maupun empiri.[22]
Kronologis dalam proses islamisasi ilmu dalam pandangan Naquib Al-Attas berpijak dari kondisi ilmu yang telah dikuasai oleh Barat. Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat berasal dari penghapusan keterpesonaan manusia terhadap agama sebagaimana yang difahami oleh peradaban tersebut.[23] Berbagai cara yang dilakukan orang Barat semuanya bertujuan untuk menyimpangkan pemikiran manusia dari agamanya terlebih agama Islam.
Dengan dalih bahwa kebenaran agama yang asasi dipandang, dalam cara berfikir yang digunakan dianggap tidak berguna serta dengan berbagai argumentasi agar ada penolakan untuk menerima agama sebagai landasan. Sehingga timbullah sebuah kondisi “Manusia dipertuhankan dan Tuhan dipermanusiakan.”[24] Sehingga dengan demikian makin jauhlah manusia dari nilai-nilai ajaran Islam dan mengagungkan hasil penelitian Barat yang dianggap unggul dan rasional.
Dengan demikian ilmu yang secara sistematik disebarkan ke seluruh dunia saat ini bukanlah ilmu yang sejati, tetapi ilmu itu sudah diserapi oleh watak dan kepribadian kebudayaan Barat, dipenuhi dengan semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya.[25] Untuk itu, merupakan suatu keharusan bagi kaum pelajar untuk segera mengetahui tujuan yang terselubung dari kemasan ilmu yang diformulasi dalam kemajuan ilmu. Kalau sudah tahu keadaan ini maka bersegera untuk menyikapi dan mengambil sikap demi terbebasnya diri . inilah yang dimaksud dengan sekularisme yang didfinisikan Al-Attas sebagai “suatu proses kesejarahan ,yang tidak dapat diterbalikkan , dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari bimbingan dan kawalan agama serta pandangan alam (worldview) metafisik yang tertutup”.[26]
Dalam kaitannya dengan pandangan selaku manusia, tempat ‘ilm itu berada pada jiwa manusia (al-nafs), hatinya (al-qalb), dan akhirnya akalnya (al-‘aql).[27] Melalui unsur-unsur inilah Barat mempengaruhi umat Islam. Dimasuki jiwa, hati dan akal dengan memberikan keraguan terhadap agama sehingga agama dianggap menjadi sebuah pola yang mengekang dan mengarah kepada ketertinggalan.
Memahami epistemologi Islam yang paling tepat untuk ilmu, dengan Allah SWT sebagai sumbernya, ialah tibanya (husul) makna sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan jiwa sebagai penafsir maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa kepada makna sesuatu hal atau suatu objek ilmu. Alam semesta, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an bagaikan sebuah Buku Agung (A Great Book), dan setiap bagiannya yang meliputi cakrawala terjauh dan termasuk diri kita sendiri, bagaikan sebuah kata dalam Buku Agung yang berbicara kepada manusia tentang pengarangnya.[28] Berpatokan kepada epistimologi yang memuat seperti si atas, maka ini menjadi landasan utama dalam memaknai Islam dan ilmu.
Untuk menilai perumusan masalah dan penyebaran ilmu dalam dunia Islam pada masa ini, kita harus melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci daripada dunia Barat telah membawa kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang serius jika tidak ditangani. Karena apa yang dirumuskan dan disebarkan dalam dan melalui universitas-universitas dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi sebenarnya adalah ilmu yangmengandung watak, kepribadian, kebudayaan dan peradaban Barat dan dibentuk dalam cetakan budaya Barat.[29] Untuk itu dalam menghadapi semua ilmu yang telah terkontaminasi dengan nuansa Barat yang akan menjauhkan dari agama (Islam), maka harus diadakan tindakan yang dapat mencegah dan memperbaiki konsep Barat yang ada dalam ilmu. Untuk itu Naquib Al-Attas[30] memberikan 4 langkah: (1) mengasingkan unsur-unsur itu termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban itu. (2) mengisinya dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam. (3) pencantuman atau pemindahan dengan sains dan prinsip-prinsip Islam. (4) merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang utama serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu kandungan yang merangkumi ilmu teras untuk kemudian ditempatkan dalam pendidikan Islam dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Dengan langkah-langkah ini sekaligus tugas dalam memadukan ilmu dengan Islam (Islamisasi Ilmu) serta menghapuskan doktrin Barat yang membayang-bayangi dalam tatanan ilmu itu sendiri.
Selanjutnya Naquib Al-Attas mengatakan, bahwa pendidikan Islam dirancang dalam susunan berperingkat agar sesuia dengan tahap masing-masing tingkat. Ilmu teras pada tingkat universitas, yaitu yang harus pertama sekali dirumuskan sebelum tingkat lainnya, haruslah mengandungi bahan-bahan yang bertalian dengan hakikat manusia (insan); hakikat agama (din) dan keterlibatan manusia di dalamnya; ilmu (‘ilm dan ma’rifah), kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (‘adl) yang berhubungan dengan manusia dan agamanya, hakikat amal yang benar (‘amal-adab). Semua ini harus merujuk kepada konsep Tuhan, Esensi dan sifat-sifat-Nya (tauhid), Wahyu (Kitab Suci Al-Qur’an), makna dan pesannya; Hukum yang diwahyukan (Syari’ah) dengan segala tuntutannya. Disamping itu dalam melengkapi kompelsitas keilmuwan Islam itu harus ditambah dengan tashawuf, filsafat Islam, etika Islam dan Bahasa Arab.
Dengan demikian maka kalau semua unsur yang disebutkan di atas telah lengkap, maka diaplikasikandi dalam sistem pendidikan di seluruh dunia Muslim, oleh karena ilmu teras ini wajib bagi setiap Muslim (Fard ‘ayn).[31] Begitulah pemikiran Naquib Al-Attas dalam menata dan memprogramkan Islamisasi Ilmu bagi ummat Islam sehingga ilmu itu menutup celah  bagi Barat untuk mereka pengaruhi.
Bagaimana halnya dengan ilmu sains?
Adapun ilmu sains ditetapkan sebagai wajib untuk sebagian orang (fard kifayah) telah dinyatakan bahwa ia mesti diisi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci Islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing itu dipisahkan dari setiap cabangnya. Ilmu ini harus disertai dengan ilmu tentang sejarah Islam, kebudayaan dan peradaban Islam.[32] Sehingga sains itu dipelajari melalui keberhasilan para ulama terdahulu dengan keberhasilannya dalam menemukan ilmu sains dan diperkenalkan melalui sejarah.
Untuk itu menurut Al-Attas harus ada kerja keras bagi segenap kaum muslim memperkenalkan, mengajarkan dan mempelajari mulai dari pelajar, mahasiswa, masyarakat hingga penguasa Islam. Senada dengan itu perguruan-perguruan tinggi harus berusaha merobah tatanan pembelajaran melalui materi yang berguna  bagi perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian harus ada pengklasifikasian ilmu bagi jenis kelamin antara wanita dengan laki-laki.jika kewajiban untuk memperoleh ilmu teras ditujukan kepada semua orang, baik laki-laki maupun wanita, namun dalam ilmu sains, cabang-cabang ilmu tertentu boleh jadi dilihat tidak sesuai bagi wanita, sehingga sebagian ada yang diwajibkan untuk laki-laki saja dan sebagian lagi bagi wanita saja.[33] Perbedaan ini diberikan agar adanya kesesuaian ilmu dengan kemampuan dan kewajaran yang mepelajarinya agar tidak terjadi kesalahan dan norma yang melampaui batas hakikat kemanusiaan.
Demikianlah pandangan dan gagasan yang dilemparkan bagi umat Islam dalam membentuk serta menerapkan Islam ke dalam ilmu. Pemikiran yang cemerlang itu ternyata disambut baik oleh muslim di negara-negara Islam. Aplikasinya nampak dari banyaknya perubahan lembaga pendidikan Islam tingkat tinggi yang dulunya IAIN  sekarang berubah menjadi Universitas (UIN) termasuk di Indonesia.

PENUTUP
             
            Islam merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Allah. Sehingga antara manusia dengan Allah terbingkai dalam mikrokosmos dan makrokosmos. Saluran yang dipakai dalam hubungan itu adalah ilmu. Maka Islam dan Ilmu merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mencapai kebenaran. Pencapaian ilmu didapatkan melalui hidayah Allah dan usaha manusia itu sendiri. Idealnya muslim yang berpegang teguh akan Islam dan Ilmu akan meraih kesuksesan dalam berfikir.
            Ternyata, hal yang seperti itu tidak terjadi selama ini. Penyebab dari permasalahan ini adalah munculnya pemikiran dan budaya Barat dalam setiap aspek ilmu. Barat telah berhasil meracuni pikiran Muslim melalui kebudayaan yang masuk ke tubuh umat Islam. Lembaga pendidikan Islam hampir semua terkontaminasi oleh budaya Barat yang berusaha untuk menjauhkan muslim dari Islam melalui ilmu.
            Melihat kenyataan ini maka sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas tampil sebagai sosok yang ingin memberi perubahan dengan menggabungkan Islam dalam Ilmu. Usaha yang dilakukannya ternyata mendapat sambutan baik sehingga terjadilah Istilah Islamisasi Ilmu yang berdampak kepada perbaikan lembaga pendidikan. Akhirnya lembaga pendidikan Islam berhasil menemukan jati dirinya dengan selalu dekat dengan Islam. 




DAFTAR PUSTAKA

Al- Attas, Syed Muhammad Naquib .  Prolego Mena to The Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.

Al- Attas, Syed Muhammad Naquib . Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010.

Al- Attas, Syed Muhammad Naquib . Islam: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan Moralitas dalam buku Altaf Gauhar, Tantangan Islam. Bandung: Pustaka, 1978.

Kuswanjono, Arqom . Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Mulla Sadra.Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010.

Nata, Abuddin . Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat . Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Nizar, Syamsul . Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis. Jakarta: Ciputat, 2002.

Nur, Syaifan . Filsafat Wujud Mulla Sadra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Sadra, Mulla. Kitab Al-Masha’ir, penerjemah:Henry Corbin. Tehran: Departement d’Iranologie l’Institut Franco-Iranean, 1964.

Thohir, Ajib . Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik .Jakarta: Rajawali Pers, 2011.




[1] Disampaikan pada seminar kelas mata kuliah Epistemologi Islam Program Doktor Pendidikan Islam semester II IAIN SU pada tanggal 11 Mei 2013  dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Nur A. Fadhil Lubis, MA.
[2] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 331
[3] Ajib Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 348
[4] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam…., h. 331
[5] Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolego Mena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), H. 252-283
[6] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis, (Jakarta: Ciputat, 2002), h. 117-121
[7] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), h. 63
[8] Ibid., h. 64
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan Moralitas dalam buku Altaf Gauhar, Tantangan Islam (Bandung: Pustaka, 1978), h. 48.
[10] Ibid., h. 51
[11] Sebenarnya tidak ada hal yang disebut sebagai Islam subyektif dan Islam obyektif di dalam pengertian bahwa Islam subyektif mempunyai lebih sedikit realitas dan kebenaran daripada Islam obyektif sehingga Islam subyektif dapat dipandang  kurang berlaku dan kurang otentik daripada Islam obyektif; atau bahwa Islam obyektif berbeda dengan Islam subyektif sebagai sebuah realitas dan kebenaran yang berdiri sendiri sedangkan Islam subyektif adalah sebagai interprestasi-interprestasi dari pengalaman obyektif. Islam subyektif dan Islam obyektif adalah sama. Penggunaan kata “subyektif” dan “obyektif” untuk memisahkan bukan untuk membeda-bedakan diantara keduanya. Perbedaan keduanya tergantung kepada tingkat pemahaman, wawasan dan praktek di antara sesama muslim. Jadi perbedaan ini menunjukkan aspek keihsanan  dari pengalaman Islam. Walaupun adanya perbedaan tingkat pemahaman, wawasan dan praktek diantara sesama orang muslim, namun mereka semua adalah orang-orang muslim, hanya ada satu Islam, dan yang dimiliki oleh mereka semua adalah Islam yang sama.
[12] Ibid., h. 54-55
[13] Telah banyak upaya yang dilakukan pemikir Muslim untuk mendefinisikan ilmu baik secara filsafat maupun epistimologi, defeinisi paling baik- menurut al-Amidi dalam karyanya yang dikutip  dan juga pada karya lainnya; al-ihkam fi Usul al –Ahkam- dibuat oleh Fakhr al –Din al-Razi. Ibnu Hazm, dan juga al-Ghazali dalam Maqasid al-Falasifah, telah membedakan makna definisi sebagai wujud dalam dua bentuk, yang satu merujuk kepada penggambaran akan hakikat sesuatu objek yang didefinisikan (rasm); dan yang lain terkait dengan ringkasan mengenai karakteristik khusus dari objek yang didefinisikan (hadd). Disini kita tidak menyinggung definisi ilmu baik secara filsafat maupun epistimologi, anun lebih pada klasifikasi umumnya yang ditetapkan untuk dugunakan dalam sebuah sistem aturan dan disiplin dalam sistem pendidikan.
[14] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan……, h. 179
[15] Ibid.,
[16] Ibid …,h.97-98.
[17] Ibid., h. 99
[18] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam….,h. 338
[19] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 168
[20] Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan Agama Perspektif Mulla Sadra, (Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010), h. 72
[21][21] Mulla Sadra, Kitab Al-Masha’ir, penerjemah:Henry Corbin, (Tehran: Departement d’Iranologie l’Institut Franco-Iranean, 1964), h. 35
[22] Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu…, h.74
[23] Syed Muhammad Naquib Al_Attas, Islam dan……., h. 168
[24] Ibid., h. 169.
[25] Ibid.,
[26] Ibid., h.20.
[27] Ibdi., h. 173
[28] Ibid., h.198
[29] Ibid., h. 200
[30] Ibid.,
[31] Ibid., h. 202
[32] Ibid.,
[33] Ibid., 203

2 komentar: